Monday, July 16

APA KABAR KALSEL ...



Jika pernah menempuh perjalanan ke Kalteng melalui darat, apakah ciri pertama yang dirasakan ketika memasuki provinsi tetangga itu? Tidak perlu sekolah tinggi, jawabannya mudah sekali. Jalan raya yang terpelihara. Di kiri kanan jalan Kabupaten Kapuas yang berbatasan langsung dengan daerah Anjir Barito Kuala itu rumput-rumput dipotong rapi dan dipinggir jalan ditanami pohon-pohon. Kondisi badan jalan pun relatif mulus di bandingkan dengan jalan di wilayah Anjir yang rusak parah. Para sopir sulit memilih jalan sehingga sesekali bagian sasis atau bagian bawah mobil lain harus beradu dengan tanah. Itu menunjukkan lobang dijalan sudah sangat dalam.
Sulit mencari alasan mengapa jalan di Anjir (baca: Kalsel) harus kalah dengan Kapuas (Baca : Kalteng). Notabene jalan di Anjir sama dengan jalan di Kapuas. Dua jalan itu sama statusnya jalan lintas provinsi. Anehnya, jalan di wilayah Kalsel sangat buruk dan di wilayah Kalteng sangat baik.
Ternyata, kenyataan itu tidak hanya di Anjir. Cobalah melintasi jalan menuju daerah Tanjung. Sejak Martapura yang meraih Adipura Kalsel, kerusakan jalan mulai di rasakan. Kita jangan berharap sepanjang jalan terlihat rumput yang dipotong rapi atau pohon-pohon yang di tanam di pinggir jalan. Sebaliknya, jalan yang rusak adalah sesuatu yang lumrah ditemukan. Pemerintah Kalsel bukan tidak peduli. Setiap tahun jalan-jalan itu diperbaiki dengan dana milyaran rupiah tetapi tak berselang setahun jalan itu rusak kembali. Apa yang salah di banua ini? Padahal mayoritas penduduk banua adalah muslim yang konon jujur dan senantiasa memelihara ciptaan Tuhan.
Jika Kalsel harus berhadapan (vis a vis) dengan Kalteng, itulah kekalahan pertama. Tanpa menggunakan teori-teori yang kadang tidak dipahami, itulah ketertinggalan Kalsel dari Kalteng, sebuah provinsi yang pantas disebut “adik”. Argumen-argumen bisa diungkapkan pagustian di tanah Banjar tetapi kaum jaba hanya bisa melihat kenyataan.
Dalam Seleksi Tilawatil Quran (STQ) yang baru berakhir (02 s.d 08 Juni 2007) di Jakarta, perolehan medali Kalsel, konon, berada di bawah Kalteng. Sayang, saya tidak menemukan hasil lengkapnya di website. Kalimantan Selatan yang konon terkenal Islam-nya, agamis, dan symbol kejayaan Islam harus bertekuk lutut di hadapan Kalteng yang bukan bercirikan Islam. Itulah kekalahan kedua tanah Banjar. Dimana kesalahannya? Pembinaan mungkin sudah cukup intens. LPTQ Kalsel dan pihak berwenang jelas telah bekerja keras seperti halnya daerah lain. Kalteng mengangkat pelatih asal Kalsel itu pertanda kualitas Banjar tidak bisa diremehkan.
Kekalahan itu jangan-jangan karena para juara di tingkat provinsi adalah hasil permainan kotor. Dengan kata lain, uang yang menentukan siapa yang menjadi juara di tingkat provinsi. Dengan demikian, sesungguhnya yang mewakili Kalsel di tingkat nasional tidak berhak dan tidak pantas menjadi wakil Kalsel karena kualitasnya rendah. Mereka menang karena keputusan telah dikpengaruhi uang haram jadah.
Jika demikian, alangkah kotornya banua ini. Alquran yang untuk disentuh saja harus berwudhu dengan tega dikotori “uang haram” hanya untuk mendapat pengakuan semu. Pengakuan bahwa kabupaten/kota yang bersangkutan adalah tempat yang sangat peduli dengan perkembangan Islam dan Alquran. Jika benar, itulah tragedi terbesar dalam perjalanan sejarah banua ini. Semoga itu salah dan tidak terjadi.
Alquran saja bisa dikotori dengan uang haram apalagi hal lain. Jalan, rumah sakit, pertambangan, lapangan udara, pelabuhan laut, pasar, polisi, dan semua bidang tidak mustahil merupakan tempat beredar uang-uang haram. Kita pantas heran melihat sikap bangsa ini yang sama sekali tidak tergerak untuk menyudutkan koruptor. Masyarakat kita memang cenderung hormat pada setiap orang kaya yang suka membantu sekitarnya, apalagi jika menyentuh soal “agama”. Dari mana asal kekayaan itu bukan hal yang dianggap penting. Masyarakat kita juga masyarakat yang gampang menerima, bahkan juga meminta. Kemajuan macam apa yang akan diperoleh dari mentalitas seperti itu?
Budayawan Muchtar Lubis di akhir 1970-an dihujat karena menulis 'Ciri Manusia Indonesia'. Ia tak ingin bangsa ini berpuas-puas memandang potret baiknya sendiri. Sebaliknya, ia menilai bahwa sungguh penting untuk mau pula melihat potret buruknya sendiri. Hanya dengan jalan itu kita dapat memperbaiki diri buat melangkah maju. Hanya dengan jalan itu kita dapat terbebas dari kehipokritan, kemalasan, dan banyak penyakit mental lainnya. Jadi maafkan.Tulisan ini sekedar bertanya.


Selengkapnya...

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home