Monday, July 16

HUT BHAYANGKARA 2007

TERPESONA DI HADAPAN BRIGADIR
(UNTUK POLISI BAIK HATI)

Polisi di mata masyarakat merupakan sosok mempesona sekaligus harus dijauhi. Menurut asumsi mereka, dua hal yang harus dihindari dalam berurusan adalah rumah sakit dan polisi. Hasil bacaan masyarakat terhadap polisi dapat digambarkan bahwa, pertama, tidak bisa dipungkiri polisi, sebagai pribadi dan sebagai lembaga, merupakan figur yang mempesona. Oleh karenanya, tidak mengherankan setiap penerimaan calon bintara baru, Sekolah Polisi Negara selalu kebanjiran pelamar. Meskipun harus bertaruh nyawa karena tak ada penjahat yang sukarela ditangkap, gaji dan status sosial sebagai seorang polisi dinilai lebih baik dari pada pegawai negeri lain. Oleh karena itulah, para orang tua pragmatis dan banyak uang rela membayar agar anaknya diterima bersekolah di sekolah polisi itu. Mereka lebih memjadikan anaknya polisi daripada harus membiayai kuliah yang tak tentu masa depannya.
Pernah saya mendengar kabar burung tentang tarif untuk menjadi seorang brigadier yang berkisar 15 sampai 40 juta. Mungkinkah polisi yang masuk dengan jalan itu akan dapat menjadi pelayan masyarakat yang baik kelak, ataukah justru menjadi benalu masyarakat? Realitas seperti ini merata hampir di seluruh wilayah negeri ini. Sebuah wajah yang, saya percaya, hendak diubah oleh Jenderal Sutanto dan seluruh polisi di negeri ini, meskipun mereka telah merasakan nikmat menjadi ''polisi''.
Terlepas dari hal itu, polisi tetaplah dianggap sebagai seseorang yang mempunyai power. Dia disegani bukan karena kewibawaannnya tetapi lebih cenderung karena kekuatannya, senjata, dan jabatannya sebagai seorang polisi. Jika meminjam istilah Joseph S. Nye, Harvard University, polisi merupakan sosok yang memiliki hard power. Instrumen hard power bisa hukuman, sanksi, uang, kekerasan, juga bayaran.
Kedua, meskipun mempesona, polisi sekaligus juga menuai stigma (dinilai negatif). Polisi baik hati dianggap masyarakat telah hilang di tanah ini. Setiap berhubungan dengan institusi bernama polisi, masyarakat mengaitkan dengan sikap korup. Argumen apapun untuk menyangkal itu, masyarakat tetap saja mengatakan bahwa polisi adalah kumpulan orang-orang korup. Polisi yang baik hati tentu saja masih ada tetapi hanya beberapa orang saja. Mereka hanya bisa hidup sederhana jauh dari kemewahan. Di asrama, polisi jujur dan baik hati membuka toko keperluan sehari-hari sementara dia pergi ke kantor mengendari motor dinas.
Mengapa opini negatif selalu melekat dengan korps kepolisian? Sejak penerimaan polisi baru sebenarnya citra polisi telah dipertaruhkan. Proses penerimaan yang sarat kepentingan, korup, dan permainan kotor lain akan berpengaruh kepada citra polisi-polisi produk sekolah itu. Hal itulah yang selalu disebut-sebut masyarakat. Spanduk yang bertulisan “tidak dipungut biaya” semakin menegaskan bahwa penerimaan itu memungut bayaran. Tentu saja, membuktikan adanya “uang haram” dalam proses penerimaan siswa adalah hal mustahil.
Usai pendidikan, citra polisi pun kembali dipertaruhkan. Kabar buruk mengenai polisi yang main tembak, mengkonsumsi bahkan menjadi bandar Narkoba, dan tindak lain melawan hukum menjadikan korps itu bertambah cemar. Misi polisi melindungi dan melayani masyarakat tidak lagi relevan di saat mereka menjadi raja tega menembak rakyat jelata karena alasan sepele. Polisi yang semestinya berlaku adil tanpa diskriminasi melayani rakyat, kerap tidak tegas kepada orang-orang yang berduit. Polisi kadang tegas menangkap rakyat kecil tetapi sangat tidak tegas terhadap prilaku kriminal orang kaya.
Di situlah tampak bahwa polisi telah kehilangan keikhlasan dalam melayani dan melindungi masyarakat. Semua diukur dengan uang, uang, dan uang. Ketika gaji tidak cukup lagi, akhirnya polisi yang semestinya menumpas bandar Narkoba, menjadi bandar atau hanya sekedar beking pelaku kriminal. Tentu saja itu adalah gambaran sebagian kecil dari polisi-polisi kita. Mereka adalah anomali (penyimpangan) yang sedang diberantas oleh korps kepolisian.
Polisi baik hati masih ada dan hidup di tengah kita. Mentor saya adalah seorang polisi yang dermawan berpangkat Komisaris Besar Polisi. Di waktu luang, kami kadang berbincang tentang banyak hal sampai tengah malam. Persoalan pendidikan bagi kaum jaba sering menjadi topik diskusi. Rupanya dia tidak hanya pandai bicara, uang jutaan rupiah pun dia sumbangkan untuk pendidikan tanpa publikasi. Itulah bedanya dengan pejabat-pejabat lain yang sangat senang jika sumbangannya diekspos besar-besaran di media massa. Sayangnya, beliau sekarang tak lagi bertugas di tanah Banjar ini.
Menjadi polisi baik hati dan jujur memang perkara sulit dan harus siap untuk lambat mendapat jabatan. Bagaimana bisa ikhlas dan jujur melindungi dan melayani jika kebutuhan keluarga masih belum tertutupi. Setiap manusia, tidak hanya polisi, ketika tuntutan hidup semakin sulit dipenuhi keimanan pun diuji. Menjadi polisi baik hati dan jujur atau menjadi polisi korup adalah dua pilihan yang sulit. Akan tetapi, disitulah keimanan dan pengabdian di uji. Siapa yang istiqamah, tidak hanya dihargai didunia tetapi kelak di akhirat. Mengenai perkara ikhlas dan jujur, jangankan polisi, para ulama saja sangat sulit melaksanakannya. Tidak mengherankan jika ada ulama yang tega membatalkan ceramah, padahal sudah dijadwalkan, hanya karena mendapat undangan ceramah ditempat lain yang lebih tebal amplopnya.
Polisi yang ikhlas, jujur, dan baik hati disegani bukan karena senjata atau tanda pangkatnya. Akhlaknya diteladani, tutur katanya dituruti, dan sikapnya menjadi panutan. Meskipun telah purna tugas, dia tetaplah dihormati oleh masyarakat. Itulah bedanya dengan polisi korup yang dicibir masyarakat ketika sudah sepuh, sakit-sakitan, diserang stroke atau tak punya kekuasaan lagi. Di hari Bhayangkara 2007 ini, tentu polisi bisa memilih.
Selengkapnya...

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home