Monday, November 24

UNTUK ALIMAN SYAHRANI: KAU BERJUANG TAK SENDIRIAN

Tulisan ini disiapkan sebagai pengantar buku "Menangkis Jampi-Jampi Agama Memaknai Kembali Ritus, Ajaran dan Seremoni Agama", hujaman pena saudara saya ALiman Syahrani

Membaca buku ini, Menangkis Jampi-Jampi Agama Memaknai Kembali Ritus, Ajaran dan Seremoni Agama, tulisan Aliman Syahrani (AS), kawan saya, serasa melihat mozaik-mozaik keberagamaan di tanah Banjar ini, khususnya Kandangan. Zoom out keberagamaan yang terbaca dalam buku ini bukan dalam kerangka normatif saja tetapi merupakan analisis panjang dalam perspektif yang sangat luas. Akan tetapi, zoom in yang dilakukan AS dapat mempresentasikan kepada pembacanya sebuah sikap kritis. Kritis terhadap sesuatu yang dianggap established (tidak bisa dipungkiri) dan dianggap sebagai bagian dari agama (Alquran dan hadis).

Pada gilirannya, AS membuat pemaknaan baru terhadap Agama transedental dan sakral, sembari bertarung melawan orang-orang yang menjadikan hasil kerja nalar manusia seolah-olah sebagai ajaran agama (Alquran dan hadis). AS yakin, penafsiran terhadap Agama (baca: Islam) itu tentu saja bukan “Islam” dan tidak diharamkan untuk dikritik dan dilawan apalagi jika itu merugikan bagi masyarakat dan Agama sendiri.
SUBSTANSI ATAU SIMBOL
AS ingin membedakan yang mana kelopak dan yang benar-benar bunga. AS ingin mengatakan kepada kita, pembaca, bahwa dalam agama ada sesuatu yang memang ajaran agama dan “hanya” sebagai bagian dari kultur masyarakat. Agama apapun tentu saja tidak hadir di dunia dengan hampa nilai. Agama menawarkan nilai-nilai kemanusiaan. Itulah yang menjadi substansi ajaran agama. Dalam kajian tasawuf, meski sering menjadi kritikan, mereka menyelami substansi ajaran agama dalam hal ini spritualisme. Yang penting bagi mereka, kesucian hati dan kedekatan dengan Tuhan dengan mengabaikan aspek simbol. Padahal dalam agama ada dua aspek yang tidak bisa ditinggalkan: nilai substansi dari ajaran agama dan simbol.
Menyikapi sebuah kultur sebagai sebuah ajaran agama tentu saja sangat dilarang. “Memberhalakan” tradisi sangat kontra produktif dan apabila didekati dengan pendekatan hitam putih jawabannya sangat jelas. Hal itu, tergambar dalam tulisannya, Tarbang, Dari Tradisi, Diskusi Hingga Ambisi ketika mengkritik fenomena maulid habsyi. Di saat, mayoritas masyarakat meyakini itu sebagai kebenaran, karena bersumber dari seorang ulama terkenal, dengan berani, AS mengkritik kegiatan “keagamaan” dan mengemukakan hal lain yang lebih substansi dari ajaran agama Islam itu sendiri. Dengan sederhana, AS menawarkan reorientasi kegiatan “keagamaan” menjadi yang lebih bermanfaat dan menyentuh substansi. Bukankah dana jutaan rupiah yang dihamburkan untuk maulid lebih bermanfaat jika digunakan untuk memperbaiki masjid, madrasah dan lain-lain? (Lihat! Di Masjid Taqwa, Tuhan dan Setanpun Marah)
AS, kawan saya, ingin mengatakan bahwa ajaran agama harus dilihat dari sumbernya: Alquran dan hadis. Bukan justru menerima sesuatu ajaran hanya dengan melihat siapa yang menyampaikannya. Ajaran tuan guru besar dan terkenal pun semestinya harus dilihat keabsahan dalil yang digunakannya. Mengakui kemutlakan kebenaran pendapat seorang tuan guru tanpa membuka pintu kritik, berarti telah mengambil otoritas Tuhan. Dengan kata lain, itu bermakna pula pemberhalaan “tuan guru”. Ketika agama sudah berada dalam penafsiran, semua orang berhak untuk mempertanyakannya. Bukankah kebenaran hanya berasal dari Tuhan. Saya terkesima ketika AS mengkritik klasifikasi bid’ah. Dengan gamblang dia mengatakan bahwa klasifikasi itu hanya buatan manusia dan tentu saja kebenarannya tidak mutlak.
Itulah, AS mungkin bertarung sendirian melawan segala ketidakrasionalan dan keberagamaan masyarakat yang emosional feodal. Sebagai seorang yang “paham” dengan baik kitab klasik (kitab kuning), saya sangat yakin dengan keabsahan dalil-dalil yang digunakannya. Tanpa ingin memuji berlebihan, dengan basis pengetahuan agama yang baik serta didukung sikap kritis dan logis dia mengekspresikan pemikirannya begitu membumi dan menyentuh sesuatu yang menyangkut orang banyak. Saya yakin, pembaca yang mau sedikit berpikir akan membenarkan apa yang ditulis AS.
Itulah bedanya AS dengan yang lain. Dia bisa bersikap kritis kepada dalil dan kitab kuning, kemudian merujuk kepada Alquran dan Hadis. Meskipun, yang mengatakan dan melakukan sebuah “ajaran” adalah ulama besar di tanah Banjar ini.
Sayangnya, masyarakat kita masih melihat sesuatu dari pembungkusnya. KeAS seseorang dilihat dari simbol agama yang dipakainya: sarung, kopiah, sorban, dan simbol lain sehingga AS, kawan saya, belum dianggap benar-benar alim. Dengan segala kualitas keilmuannya, jika dia mau memakai gamis, bersarung, dan selalu berkopiah, dan menjadi penggiat maulid habsyi, AS niscaya akan dianggap sebagai benar-benar “alim”. Dengan sedikit bercanda, mungkin saya, yang pertama mencium tangannya.
PERSELINGKUHAN ULAMA/HABIB DENGAN KEKUASAAN?
Bagi sebagian kalangan muslim, Islam hanya dapat berperan dalam negara dengan masuk ke ranah politik. Istilah Islam politik bisa dijelaskan melihat dua hal. Pertama, partai yang berbasis Islam atau parpol-parpol yang berbasis masyarakat Islam. Parpol-parpol Islam dan muslim itu merupakan arus utama Islam politik yang memperjuangkan kepentingan-kepentingan Islam dan muslim melalui sistem dan kerangka politik.
Kedua, Islam politik bisa dilihat dari gerakan para habib, ulama, tuan guru, dan para pemilik otoritas agama (baca: Islam) dalam memainkan peran politiknya meskipun mereka tidak bergabung dalam Parpol. Mereka dengan jelas mendukung salah satu calon dan menggunakan simbol-simbol agama dalam setiap kampanye. Tampak yang sering digunakan dalam kampanye Islam politik antara lain: ceramah oleh habib/ulama, habsyi, dan menggunakan pakaian “Islam” (baju koko, kopiah, bahkan bergamis).
Jika meminjam analisis antropolog Dale Eickelman dan James Piscatori dalam Muslim Politic (1996), tampak pertarungan politik dimanapun merupakan pertarungan dan pergumulan menyangkut “penafsiran makna-makna Islam dan penguasaan atas lembaga-lembaga politik formal dan informal yang mendukung pemaknaan tersebut”. Tidak mengherankan disitu ada sebuah relasi antara para ulama dengan politisi. Ulama mendapat dukungan atas tafsiran makna Islam dan segala aspeknya sedangkan politisi mendapat keuntungan politis dari ulama serta pengikutnya. Sebagai ulama, juga mendapat keuntungan material dari perselingkuhannya dengan politisi/kekuasaan.
AS dengan sangat kritis menyoroti dimainkannya “Islam” dan segala simbolnya dalam wilayah politik. AS tidak ingin agama (baca:Islam) dipakai hanya sebagai alat untuk memenuhi syahwat kekuasaan. (Lihat! Ulama dan Siluman dan Dualisme Ulama dalam Godaan Politik)
Dia mengkritik habib-habib yang diposisikan sangat ekslusif dan tanpa reserve dalam keberagamaan masyarakat. (Lihat Habib) Kritik tersebut patut diacungi jempol apalagi jika melihat pola gerakan para habib di Nusantara yang kadang bercampur dengan kepentingan ekonomi. Sebagai contoh gerakan Front Pembela Islam. Gerakan itu mencerminkan peran para habib yang pada awalnya adalah juru dakwah dan pemimpin majlis taklim. Beberapa diantaranya adalah pedagang yang tidak memiliki modal besar. Kebanyakan mereka adalah pedagang minyak wangi, pedagang klontong, dan pedagang kain untuk perlengkapan ibadah. (Al-Zastrouw NG, 2006: 116)
Tak bisa dipungkiri, mereka, habaib berada dalam posisi elit ditengah masyarakat dan menjadi panutan. Darah Arab dan secara genelogis mempunyai kaitan darah dengan Rasulullah menguntungkan mereka disamping secara keilmuan mereka pada umumnya adalah lulusan Timur Tengah dan menguasai bahasa Arab dengan baik. Posisi yang strategis tersebut sangat disadari dengan baik oleh habaib. Dengan posisinya itu, para habib dapat dengan mudah masuk ke wilayah politik/kekuasaan.
Pada titik tertentu, habib, ulama, dan masyarakat, serta Islam lebih luas, akan menjadi bagian dari politik peliharaan. Mereka akan dipelihara oleh suatu kelompok atau penguasa politik tertentu yang bisa digerakkan setiap saat untuk mencapai tujuan politik mereka.
Pola hubungan itu menunjukkan adanya pertukaran sosial. Peter M. Blau menyatakan bahwa sebuah hubungan sosial merupakan hasil gabungan dari dua tindakan individu, di mana keberadaan setiap tindakan tergantung pada tindakan lain. Merujuk itu, hubungan antara ulama/habib bisa saja merupakan pertukaran sosial bukan karena dorongan ideologi. Sumbangan serta berbagai keistimewaan ulama/habib yang bermain politik menunjukkan dengan sangat jelas adanya pertukaran sosial itu.
AS benar. Argumen saya, sangat sulit mencari justifikasi “Islam” ketika dua orang ulama/habib mendukung partai/calon dalam Pilkada yang berbeda. Jika memang benar mereka mempresentasikan dan menyuarakan Islam mengapa harus berbeda pilihan. Di situ sangat jelas pragmatisme dan petualangan politik para ulama/habib. Bagaimana mungkin mereka meyakini satu partai/calon lebih Islami daripada yang lain? Bukankah semua hal kini dapat dipoles dan menggunakan personal branding yang seolah sangat Islam. Dengan kata lain, penggunaan dalil agama lebih sebagai retorika untuk mengambil simpati dan legitimasi publik sehingga menguntungkan secara politik.
Terkait dengan pertukaran sosial itu pula, dalam bagian lain buku ini, Bakul Santri vs Mobil Kiai, dengan sangat baik, AS membuka pandangan pembaca bahwa ada kontradiksi dalam kehidupan beragamaan kita. Di saat, ulama/habib hidup dalam middle class atau bahkan high class, justru santri mereka harus meminta sumbangan kepada masyarakat. Padahal, ulama, tulis AS, sejatinya adalah anak kandung dari penderitaan dan rasa cinta kasih dalam nilai-nilai agama dan berempati kepada setiap penderitaan umat.
CERMIN
Hal lain yang selalu menarik saya untuk membaca tulisan AS adalah kajian-kajian yang bertolak dari fenomena lokal, terutama Kandangan, kampung halamannya dan kampung halaman saya juga. Membaca tulisan-tulisan itu seperti melihat wajah sendiri dan mengkritik fenomena di masyarakat berarti mengkritik saya dan AS sendiri. Itulah yang membuat saya seperti tersadar begitu membaca buku ini. Buku ini, oleh karena itu, dapat menjadi bahan untuk introspeksi bagi semua bagian masyarakat.
Diantara pembaca, mungkin ada yang marah, memaki, atau bahkan mencap AS “katulahan”, tetapi bagi saya buku ini merupakan pencapaian besar urang Kandangan. Bagaimanapun juga ini menambah khazanah keragaman pemikiran dan membuka cakrawala berpikir masyarakat. Di tengah keseharian yang melelahkan karena tuntutan hidup, AS mendedikasikan diri berjuang memperbaiki apa yang dianggapnya tidak tepat, tanpa bayaran, bahkan mengeluarkan uang pribadi. AS mencontohkan kepada semua orang bahwa perjuangan bisa dilakukan melalui tulisan seperti dilakukan ulama-ulama masa lalu. Itulah yang tidak dilakukan oleh ulama-ulama sekarang. Buku ini semoga menjadi “kontroversi” sehingga muncul buku-buku lain yang sepakat atau mengkritik dari berbagai sudut pandang. Bukan hanya menjadi bahan ejekan pada ceramah para ulama yang tidak sepakat.
Saya yakin buku ini tidak bisa mengubah seluruh ketidaknyamanan dan ketidakbecusan di banua yang dipeluk Amandit dan tanah Banjar, pada umumnya. Akan tetapi, buku ini mengundang semua orang untuk melihat lebih mendalam dan berpikir lebih kritis. Sebagai seorang yang menghormati perbedaan, AS bukan ingin memaksa ”percayalah ini” tetapi dia berkata ”perhatikan ini”. Buku ini mengajak bercakap-cakap tentang salah satu sisi kehidupan yang sering luput dari perhatian.
Apabila kita menerima undangan buku ini, kita telah memasuki sebuah dunia yang terasa lain dan sepintas melawan “pemikiran keagamaan” yang setiap hari menjajah kita. Buku ini adalah refleksi. Seperti layaknya refleksi lain, buku ini tidak cantik dan kelihatan tidak pop serta memerlukan sedikit berpikir. Dia tidak pula bisa dibaca dalam mobil atau hiruk pikuk kantor karena memerlukan sedikit perenungan. Bukan karena itu congkak tetapi lebih karena ingin menawarkan sesuatu yang lain dan berbeda dengan apa yang sering didengar oleh masyarakat dari mimbar. Niscaya, buku ini mencerahkan.
Parisj van Java, 13 September 2008
~dd

Selengkapnya...

2 Comments:

At December 23, 2008 at 1:45 AM , Anonymous Anonymous said...

Salam kenal dari urang Kandangan di Banjarmasin (www.taufik79.wordpress.com).Kalau boleh tau,di mana saya bisa mendapatkan buku Bang Aliman Syahrani tsb?

 
At December 31, 2008 at 6:49 PM , Blogger JUHAIDI AHMAD AJ said...

masih dalam proses cetak.. kaina dihabari ok

 

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home