Monday, July 16

DINA SAFITRI, RAIHAN, DAN MTQ

Tak berselang lama sebelum Pemerintah Provinsi menggelar Musabaqah Tilawatil Quran Provinsi dan Pekan Olah Raga Provinsi dengan biaya yang tidak sedikit, Dina Safitri (19 bulan) dan Raihan (13 bulan), sedang berjuang mempertahankan hidupnya. Dia miskin, kurus, matanya cekung. Nyawanya akhirnya tak tertolong. Ketika pemerintah provinsi sedang mempertimbangkan mengeluarkan uang milyaran rupiah untuk landasan pesawat yang hanya dipakai setahun sekali, ada Kicut harus menderita dengan kakinya yang semakin membesar sementara, ada Sa’dilah yang tampak lemah. Kedua-duanya, seperti diberitakan Banjarmasin Post menderita penyakit yang berbeda tetapi penderitaan yang tak jauh berbeda. Sa’dillah konon menderita hepatitis dan Kicut menderita penyakit kaki gajah. Keduanya sama-sama dalam ketiadaan biaya.Bagaimana MTQ bisa dilaksanakan dengan gegap gempita sementara ada Sa’dillah, Kicut, Dina, Raihan, Nisa, Masriah, Aminah lain yang dan mungkin ratusan bahkan ribuan anak-anak lain yang menderita gizi buruk dan penyakit hanya karena kemiskinan? Beberapa dari mereka diekspos di koran kemudian pejabat berbondong-bondong memberikan pertolongan. Namun apa pun yang telah dilakukan, ada banyak orang tak berdaya, menderita, dan bahkan sedang meregang nyawa di sekeliling kita. Langkah media mengekspos penderitaan orang papa memang patut diacungi jempol dan terbukti telah turut punya andil meringankan. Mauladana (6 tahun), penderita luka bakar, telah dioperasi atas inisiatif koran ini. Dalam keadaan demikian, apa urgensinya dari MTQ itu sehingga harus mengeluarkan dana ratusan juta rupiah bahkan milyaran rupiah? Sebagai seorang muslim, kita tentu sepakat bahwa Alquran harus dijadikan bacaan, pedoman, petunjuk, pembeda serta sumber ajaran Allah. Akan tetapi, MTQ menjadi tidak penting disaat masih banyaknya orang miskin, gizi buruk, jalan dan fasilitas umum yang masih jauh dari harapan. Dana ratusan juta apalagi milyaran rupiah akan sangat berarti jika digunakan untuk memperbaiki jalan, sekolah atau membantu para dhuaafa yang masih ditemukan di provinsi ini. MTQ akan semakin kehilangan makna jika utusan yang ikut bertanding bukan hasil binaan kabupaten/kota tetapi hanya jemputan dari daerah atau pulau lain. Fenomena itulah yang selalu terjadi setiap MTQ dilaksanakan. Selama ini, MTQ telah terlanjur dijadikan sebagai sesuatu yang sakral dan merupakan bagian ajaran agama (baca Islam). Siapa yang tidak setuju dengan MTQ, dia layak dicap sebagai penentang Islam dan membenci Alquran. Oleh karena itulah, MTQ akhirnya dijadikan sebagai ajang pamer kedermawanan para orang kaya. Semakin banyak menyumbang untuk MTQ, semakin dermawanlah mereka. Orang kaya itupun dianggap sebagai orang kaya yang mencintai agama dan Alquran.Begitulah para pengusaha di banua ini. Tampaknya, lebih menyukai memberikan uangnya kepada masjid, ulama, atau menambah mobil mewah di garasi mereka. Sangat jarang para orang kaya di banua ini terdengar membantu orang sekolah, membantu dhuafa, atau menyantuni fakir miskin secara berkala. Kalau pun ada, mereka lebih senang membantu dalam momen tertentu dan tidak berkelanjutan. Tidak ada satu sekolah pun di banua ini yang berdiri atau dibantu oleh pengusaha sehingga menjadi besar dan unggul. Banyak orang kaya pintar memakai kedermawanan sebagai topeng dari sumber kekayaannya yang sebenarnya merugikan orang banyak. Pernahkah anda mendengar tentang seorang kaya yang menyumbang puluhan juta untuk pembangunan masjid atau membelikan mobil untuk ulama? Dengan kedermawanannya itulah publik tersihir seolah pengusaha itu adalah orang yang baik hati dan peduli kepada masyarakat. Publik lupa mempertanyakan dari mana kekayaannya itu diraup atau jangan-jangan itu semua bersumber dari eksplorasi sumber daya alam yang sebenarnya merugikan orang banyak. Uang puluhan juta itu memang sangat berarti bagi publik tetapi uang puluhan juta itu sangat sedikit jika dibandingkan harga dan pajak mobil mewah mereka yang sampai ratusan juta atau bahkan milyaran rupiah.Ribuan orang setiap tahun ke Tanah Suci berkali-kali. Ribuan orang pergi umrah --juga berkali-kali. Ribuan orang, di antaranya pejabat, anggota parlemen, politisi, dan pengusaha berpergian ke luar negeri. Ratusan ribu orang-orang kaya, yang di antaranya mungkin tak pernah meninggalkan shalatnya, menghabiskan jutaan rupiah untuk merebut kesenangannya. Banyak orang mengeluarkan uang untuk mendapatkan jabatan. Bayangkan jika uang itu orang kaya dikumpulkan untuk kaum dhuafa. Berapa banyak kaum dhuafa terbantu? Berapa banyak orang-orang miskin selamat dari gizi buruk, berapa banyak mereka tidak lagi terpaksa menggadaikan harga diri dan agamanya?Dina Safitri dan Raihan menderita. Ribuan lain juga bernasib sama. Mereka tak memerlukan politisi yang bertengkar, saling menyalahkan, dan mencari celah agar dianggap sebagai pahlawan. Mereka tak memerlukan Radja, Peter Pan, Samsons, Ello, infotainment dan cerita-cerita tentang perselingkuhan. Mereka tak membutuhkan mal-mal baru untuk orang-orang memamerkan kekayaannya. Mereka tak perlu pertandingan motocross atau sepakbola. Nanang dan Galuh Banjar sudah pasti tak mereka perlukan. Semua orang harus segera memberikan pertolongan karena kemiskinan dan ketidakberdayaan masih banyak di sekeliling kita. Ironisnya, pada saat bersamaan, sebagian dari kita dengan gagah mengeluarkan puluhan juta rupiah menyumbang untuk klub sepakbola, melaksanakan kejuaraan motocross atau melaksanakan ulang tahun BPK di kampungnya. Kita lebih suka bertengkar tentang RUU Antipornografi dan Pornoaksi, lebih suka menyalahkan pemerintah seakan pemerintah memiliki lampu Aladin yang dapat melakukan apa saja seketika.Dina dan Raihan serta puluhan ribu anak-anak remaja lainnya juga menderita. Mereka membutuhkan kepedulian, kasih sayang, dan cinta kita. Jangan biarkan mereka letih mengetuk-ngetuk pintu rumah kita, karena jemarinya sangat lemah: Bukalah pintu selebar-lebarnya untuk mereka, anak kita, yang kedinginan dan dalam gulita.
Selengkapnya...

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home