Monday, July 16

UNTUK DIHARGAI HARUSKAH MEMBERONTAK?

IBNU HAJAR : KENANGLAH (JUGA) SEBAGAI PAHLAWAN ?


Urang Banjar yang remaja di tahun 60-an, tentu mengenal nama Ibnu Hajar. Ibnu Hajar adalah figur ganda, di mata teman-temannya sesama pejuang dan urang Banjar, dia adalah pejuang yang gagah berani sekaligus sebagai pemberontak. Pemberontakan terhadap RI yang pernah dibelanya ternyata harus berakhir penuh tragedi. Konon, dia dikhianati oleh H. Dardi, saudara sendiri, sehingga bersedia keluar dari persembunyian dan tangkap penguasa (1963). Janji amnesti ternyata tidak ditepati oleh “Jawa” sehingga dia harus mati diujung bedil tentara.
Sebelum Proklamasi 17 Mei 1949, Ibnu Hajar (IH) adalah komandan pengawal Hassan Basry. Itu menandakan pertama dia adalah orang setia kepada komandan. Kesetiaan IH tentu jaminan mutu. Dia tak mungkin berkhianat dengan melaporkan kepada lawan, apalagi menikam pejuang dari belakang. Kedua, IH adalah orang yang pemberani. Sebagai komandan pasukan pengawal dia tidak hanya memiliki keberanian ekstra menyabung nyawa melindungi pimpinan, tetapi juga tentu memiliki kekuatan supranatural semacam kekebalan dan kesaktian lain. Bisa dipastikan, IH adalah orang yang disegani sekaligus ditakuti oleh sesama pejuang dan lawan.
Pasca Proklamasi 17 Mei 1949, IH mendapat hadiah pangkat Letnan Satu dan menjabat sebagai Komandan Brigade 2, di bawah panglima Divisi Lambung Mangkurat Letkol Hassan Basry. Rupanya, pangkat dan jabatan itu membuat dia kecewa dan memimpin gerakan melawan penguasa "Jawa". Mereka juga menuntut pejabat-pejabat yang dulu bekerja sama dengan Belanda diganti. Sulit mencari argumen bahwa pemberontakan itu secara ideologis adalah gerakan mendirikan negara Islam. Dalam opini yang berkembang di tengah masyarakat pemberontakan itu terkait balas jasa yang diterima IH dan kawan-kawan. Gerombolan IH dikenal nama Kesatuan Rakyat yang Tertindas (KRYT). Informasi dari masyarakat luas, tampaknya, persoalan negara Islam tidaklah menjadi alasan gerakan itu meskipun pada awal IH mengklaim sebagai bagian dari gerakan DI/TII.
Dominannya tudingan bahwa gerakan itu dikaitkan dengan negara Islam merupakan upaya mendiskreditkan umat Islam. Sehingga dengan demikian, Islam dianggap sebuah bahaya untuk kehidupan bernegara. Apalagi ketika itu, komunis menganggap Islam adalah saingan terkuat mereka. Setelah orde baru berkuasa, Islam juga dianggap musuh penguasa.
Pada masa Orde Lama di bawah Presiden Soekarno (1945-1966), Partai Komunis Indonesia (PKI) mendapat angin segar dipuncak kekuasaan. Sehingga PKI leluasa melakukan manuver-manuver untuk menyudutkan umat Islam. Apalagi setelah berhasil mendesak Presiden Soekarno untuk membubarkan Masyumi dan PSI (17 Agustus 1960). Tokoh-tokoh Masyumi dan PSI langsung ditangkapi dimasukkan penjara tanpa diadili. Jangankan tokoh-tokoh Masyumi yang langsung terlibat PRRI, seperti Moh.Natsir dan Syafruddin Prawiranegara, tokoh-tokoh Masyumi yang tidak terlibat pun -- bahkan mengecam pemberontakan -- seperti Buya Hamka, K.H. E.Z. Muttaqien, K. H. Isa Ansyori, Moh. Roem, Prawoto Mangkusasmito, dan Sumarso Sumarson. ikut dijebloskan. Ikut pula masuk penjara,tokoh Islam non-Masyumi K.H. Imron Rosyadi(NU) dan tokoh pers nasional Mochtar Lubis.Mereka dikerangkeng karena dianggap menentang kebijakan Presiden Soekarno yang cenderung pro komunis.Setelah rezim Orde Lama dan Presiden Soekarno tersingkir akibat dampak pemberontakan G30-S/PKI, stigma tersebut tidak ikut lenyap, bahkan semakin menguat. Rezim Orde Baru dibawah Presiden Soeharto (1966-1998), sangat represif terhadap Islam dan umat Islam.
Kenneth E. Ward, menyatakan, rezim Orde Baru (yang dimotori Jenderal Ali Moertopo, Kepala Opsus/Aspri Presiden) memandang Islam melulu identik dengan "Darul Islam" sehingga cenderung hendak menghancurkan Islam. Maka tidak mengherankan, jika kemudian kebijaksanaan politik pemerintah Orde Baru terhadap Islam, amat merugikan umat Islam sendiri, karena kelompok Ali Moertopo yang memegang kendali begitu besar dalam pendekatan kepada umat Islam, berintikan tokoh-tokoh yang tidak Islami bahkan diduga cenderung hendak memusuhi umat Islam
Untuk memperlemah posisi umat Islam, sekaligus mendiskreditkan Islam, lembaga Opsus Ali Moertopo, di satu pihak bergerak mengumpulkan tokoh-tokoh mantanDI/TII dan menghidupkan organisasi Gabungan Usaha Pendidikan Pesantren Indonesia (GUPPI). Di pihak lain merekrut tokoh- tokoh Nasrani dan Cina, seperti Harry Tjan Silalahi, Liem Bian Khoen (Sofyan Wanandi), Liem Bian Kie (Yusuf Wanandi), Murdopo, dan dihimpun dalam lembaga The Center for Strategic and International Studies CSIS).Di dalam GUPPI -- menurut Harry Cahyono -- bercokol orang- orang kepercayaan Ali Moertopo dan Soejono Humardani (Aspri Presiden).
Jika cermat melihat buku-buku sejarah, disitu IH dianggap makar mendirikan negara Islam di tanah Banjar. Buku-buku sejarah, kecuali buku Sejarah Banjar Pemprov Kalsel, tidak mengungkap kebijakan penguasa yang tidak berpihak kepada urang Banjar, pembela RI tak berselang lama.Buku sejarah yang cenderung mencap "Islam" sebagai biang tindakan makar, sangat mungkin, merupakan salah satu hasil kerja mereka.
Pemberontakan IH tampaknya tidak terkonsolidasi dengan baik. Anak buahnya, yang dikenal masyarakat dengan istilah "gerombolan" banyak melakukan perbuatan kriminal. Di daerah Longawang, Kandangan misalnya, mereka melakukan pembakaran pasar. Selain suka meminta bahan pangan, mereka juga gemar membunuh atau menculik anak gadis. Orang tua yang tinggal di Padang Batung niscaya dapat menyebut nama anggota gerombolan yang membunuh itu. Kebijakan belakangan, mereka akhirnya mendapat amnesti dari penguasa. Meskipun, anggota gerombolan itu adalah keluarga atau tetangga, secara politik, gerakan itu tidak mendapat simpati dari rakyat Banjar.
Rakyat pedesaan ketika itu mendapat tekanan dari "gerombolan" sekaligus selalu dicurigai sebagai anggota pemberontak. H. Kaderi, seorang ulama di Longawang terpaksa menghindari kekacauan itu dengan berhijrah ke daerah Kotabaru. Ternyata, menghindar dari mulut singa, masuk ke mulut buaya. Di Kotabaru justru gerombolan itu lebih banyak. Di situlah, beliau sempat bertemu dengan Ibnu Hajar. Kesan yang muncul, menurut beliau, Ibnu Hajar adalah baik. Setelah delapan tahun di tanah perantauan, H. Kaderi kembali ke tanah Longawang. H. Kaderi hanya salah seorang contoh korban perseteruan antara penguasa dengan rakyatnya yang kecewa. Selain H. Kaderi, banyak kaum jaba yang harus kehilangan anak gadisnya, harta, bahkan nyawa mereka sendiri.
Walaupun yang memberontak mayoritas mengatasnamakan Islam, tapi yang menjadi korban terbesar adalah umat Islam. Orang-orang pedesaan yang rata-rata taat beragama (Islam), hidup dalam kesulitan amat sangat. Oleh pihak Mobrig (sekarang: Brimob) dicurigai sebagai anggota atau simpatisan "gerombolan" karena sama-sama Islam. Oleh "gerombolan" disangka mendukung Mobrig karena tidak mau ikut "naik" ke gunung. Di tengah tekanan dari kedua belah pihak, masyarakat pedesaan hidup dalam kesengsaraan lahir batin. Akan tetapi, mereka tetap tabah dan tak (mampu) menyalahkan siapa-siapa.
Rakyat yang pulang dari pasar dirazia. Bahan pangan yang sudah dibeli akan dirazia oleh Mobrig. Jangan berharap bisa membawa pulang ke rumah iwak garih (ikan gabus asin), beras dan bahan pangan lain bila bertemu razia Mobrig. Mobrig beranggapan makanan itu akan dipasok kepada "gerombolan". Karena orang desa selalu dimintai makanan oleh "gerombolan" dengan disertai ancaman, mereka pun terpaksa mengakali aparat penguasa yang razia. Iwak garih disimpan dibawah tempurung yang dibawanya. Demikianlah, kaum jaba selalu dalam posisi yang terjepit dan terancam.
Begitulah, Ibnu Hajar mengajarkan kepada urang Banjar bahwa gerakan sosial mendobrak kekuasaan yang mapan selalu menyisakan penderitaan bagi rakyat jaba. Meskipun demikian, penguasa zalim kepada rakyat jelata harus terus dilawan, karena di negeri ini, daerah yang melawan penguasa akan diberi uang dan keistimewaan lain. Aceh, dulu Timor Timur, dan Irian adalah contoh yang nyata betapa mereka mendapat porsi lebih. Seperti kata Nyai Oentosorah, “kita harus melawan dengan sebaik-baiknya dan sehormat-hormatnya”.
Selengkapnya...

1 Comments:

At July 29, 2008 at 2:48 AM , Anonymous Anonymous said...

Tulisan tentang IH ini bagus sekali dan terkesan ditulis apa adanya dan beautifully cover both sides. Kalau anda berkesempatan mewawancara H. Mukri Didit yg sekarang bermukim di kawasan Kayu Tangi, Banjarmasin, rasanya akan memperkaya fakta-fakta sejarah lainnya yg dapat menambah lebih lengkap lagi tulisan tentang IH ini. Btw, beliau mati diujung bedil? Bukankah beliau seperti dikatakan orang-orang tua dahulu mempunyai jimat kebal "minyak bintang" ? (asyarwani@gmail.com)

 

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home