Thursday, January 15

MADRASAH... HOW ARE U?

Madrasah dalam sistem pendidikan Indonesia telah menempati posisi yang sejajar dengan sekolah lain. Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional menegaskan tentang hal tersebut pada pasal 17 dan 18. Dua pasal tersebut menyebutkan bahwa pendidikan dasar berbentuk sekolah dasar (SD) dan madrasah ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta sekolah menengah pertama (SMP) dan madrasah tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat. Pendidikan menengah berbentuk sekolah menengah atas (SMA), madrasah aliyah (MA), sekolah menengah kejuruan (SMK), dan madrasah aliyah kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat. Dua pasal tersebut dengan sangat jelas menunjukkan bahwa madrasah sejajar posisinya dengan sekolah umum di hadapan negara.

Dengan diberlakukannya UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, pendidikan dikelola secara otonom oleh kabupaten/kota (desentralisasi) sedangkan madrasah yang berada dibawah wewenang Departemen Agama masih dalam bentuk sentralisasi. Pada bab IV pasal 7, menegaskan bahwa wewenang pemerintah pusat hanya terbatas dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter, dan fiskal, serta agama. Hal itu menjadi dasar bahwa Departemen Agama masih berada dibawah wewenang pemerintah pusat. Meskipun wewenang Departemen Agama juga menyangkut masalah pendidikan didalamnya. Padahal disisi lain, bidang pendidikan, pengelolaannya menjadi wewenang pemerintah daerah.
Sebenarnya tidak ada alasan yang kuat untuk membedakan pengelolaan madrasah. Perlu ditegaskan bahwa kurikulum madrasah dan sekolah, pada prinsipnya tak berbeda. Tahun 1994 dapat disebut sebagai periode penting perkembangan madrasah di Indonesia. Pada tahun itu diberlakukan kurikulum baru yang dikenal dengan kurikulum 1994. Kurikulum 1994 mengharuskan madrasah untuk memasukkan semua pelajaran umum sebagaimana di sekolah-sekolah umum. Kurikulum 1994 kemudian disempurnakan kembali pada tahun 2004. Kurikulum 2004 dikenal sebagai Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Pada tahun 2006, kurikulum kembali mengalami perubahan. Kurikulum yang dikenal dengan istilah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Kurikulum itu pada prinsipnya sama dengan Kurikulum 2006, tetapi lebih memberi peluang kepada sekolah untuk membuat kurikulum dengan melihat standar nasional.
Pokok perkara berawal dari pengakuan negara terhadap eksistensi madrasah. Madrasah mendapat angin baru ketika eksistensinya diakui secara resmi oleh negara. Hal itu ditatapkan oleh Tap MPRS No. 2 tahun 1960 menetapkan bahwa: "Pemberian pelajaran agama pada semua tingkat pendidikan, mulai dari Sekolah Dasar sampai dengan Perguruan Tinggi Negeri", di samping pengakuan bahwa "Pesantren dan Madrasah sebagai lembaga pendidikan yang otonom di bawah pembinaan Depatemen Agama". (Muhaimin, 2003 : 13)
Pemisahan lembaga pendidikan Islam dari lembaga pendidikan umum tersebut juga menyuburkan dikotomi pendidikan. Dikotomi membuat menjadikan munculnya ambivalensi tujuan pendidikan. Tujuan pendidikan (agama dan umum) tidak tercapai secara maksimal. Selain itu, muncul pula kesenjangan antara lembaga pendidikan Islam dan sekolah umum sehingga ada inferioritas (rendah diri) di lembaga pendidikan Islam. Lebih jauh, tidak mustahil akan menyebabkan disintegrasi lembaga pendidikan. (Ikhrom, 2001 : 87-88)
Sentralisasi madrasah yang sekarang berlangsung merupakan anomali dari derasnya semangat desentralisasi dan otonomi. Diakui atau tidak sentralisasi itu Keberadaan madrasah di bawah Depag cukup berpengaruh terhadap kondisi dan perkembangannya. Pengaruh itu akan tampak jika dibandingkan dengan sekolah-sekolah umum di lingkungan Depdiknas. Kebijakan penganggaran dan pendanaan pemerintah terhadap subsidi per kapita bagi siswa madrasah dan sekolah umum, misalnya. Kebijakan ini tampak kepincangan yang cukup mencolok. Indeks biaya per kapita pendidikan per siswa di madrasah jauh lebih kecil dibandingkan dengan di sekolah umum. Pada tahun anggaran 1999/2002, misalnya, biaya pendidikan per siswa madrasah ibtidaiyah negeri (MIN) Rp 19.000 sedangkan per siswa sekolah dasar negeri Rp 100.000 (1 : 5,2), madrasah tsanawiyah negeri (MTsN) per siswa Rp 33.000 sedangkan per siswa SMPN Rp 46.000. (1:1,4).
Lebih jauh, pengelolaan madrasah yang sentralistis, madrasah bisa tidak diangap sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional, karena berdasarkan UU No.22 tahun 1999, pendidikan diserahkan ke Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Konsekuensinya, madrasah tidak akan mendapat perhatian (yang cukup) dari pemerintah daerah. Inilah yang dirasakan oleh mayoritas karyawan/guru madrasah sa’at ini, minimal di daerah tempat penulis bertugas. Mereka menganggap bahwa mereka hanya dijadikan “anak tiri” oleh pemerintahan daerah. Mereka masih tetap diingat dan diikutkan oleh pemda, tapi hanya untuk urusan yang “menguntungkan” Pemda, misalnya dalam hal pungut uang atau iuran untuk kegiatan pemda, namun untuk hal-hal yang sifatnya strategis pengembangan mutu pendidikan (madrasah), mereka cendrung diabaikan. Cukup banyak kegiatan-kegiatan pemda, seperti pelatihan guru, penataran, seminar, atau seleksi-seleksi tertentu, yang tidak melibatkan madrasah di daerahnya.
Masalah lainnya adalah terkait dengan birokrasi yang masih panjang berbelit dan cendrung tidak efisien di madrasah. Sebagai contoh, saya sendiri lulus tes CPNS di Departemen Agama Desember 2001, tapi baru menerima SK November 2002, berarti hampir satu tahun. Bandingkan dengan CPNS di Pemda, yang hanya menunggu SK pengangkatan satu atau dua bulan saja setelah kelulusan. Penyebabnya, karena proses administrasi di Depag belum sesederhana (administrasi) pemerintah daerah. Belum lagi kalau berbicara tentang kesejahteraan guru dan karyawan. Ada kesenjangan yang terlalu mencolok antara guru madrasah dengan guru sekolah umum selama otonomi daerah. Pembagian THR, misalnya, guru/karyawan sekolah umum yang berada di bawah pemda bisa menerima melebihi gaji satu bulannya, sementara guru/karyawan madrasah ada yang sama sekali tidak menerima THR. Padahal, secara de facto mereka sama-sama bertugas membina dan mendidik putra-putri daerah yang sama dengan beban tugas dan tanggung jawab yang relatif sama.

Desentralisasi Madrasah: Kado Ultah Itu
Gambaran singkat diatas menunjukkan bahwa sentralisasi madrasah menjadi trigger terhadap rendahnya kualitas madrasah. Mengatasi persoalan yang muncul sebagai dampak kebijakan pengelolaan yang masih sentralistik adalah desentralisasi madrasah. Mencermati filosofi dan ide dasar digulirkannnya kebijakan otonomi pendidikan, madrasah semestinya juga diotonomikan pengelolaannya sebagaimana sekolah umum. Dengan otonomi madrasah, diharapakan permasalahan madrasah bisa diminimalisir, bahkan, kalau bisa, dieliminir serta secara gradual, kualitas madrasahpun bisa ditingkatkan.
Fuad Fahruddin (2003 : 32) menyebutkan beberapa keuntungan yang akan diperoleh madrasah apabila diotonomikan. Pertama, madrasah akan dianggap menjadi bagian yang tak terpisahkan dari sistem pendidikan nasional, dan dengan pengakuan tersebut madrasah akan mendapat perlakuan yang sama dengan sekolah lainnya, baik dalam hal alokasi dana maupun kebijakan pengembangan lainnya.
Kedua, kepala madrasah dan guru akan dapat mengembangkan sumber daya yang ada dan mengembangkan program-program yang sesuai dengan kebutuhan masayarakat. Persoalan yang terkait dengan masayarakat dan sekolah akan dapat diselesaikan dengan segera karena struktur yang ada sudah sangat pendek (debirokratisasi).
Ketiga, iklim akademik akan tumbuh dengan baik karena adanya kebebasan sekolah dalam mengembangkan program dan sumber belajar. Masyarakat bisa langsung memberikan saran, kritikan, masukan, serta ususlan kepada kepala sekolah untuk kemajuan dan kebaikan sekolah.
Pada tataran praktis yang lebih jauh, ide otonomi madrasah ini bisa dimulai dengan mempertimbangkan kembali realisasi ide pendidikan satu atap yang sebenarnya sudah lama disuarakan oleh banyak pihak (Kompas, 26/06/2004). Artinya, urusan pendidikan di negeri ini cukup dikelola oleh satu departemen agar lebih focus dan lebih professional. Tentu saja departemen yang dimaksud di sini adalah Departemen Pendidikan Nasional. Ide desentralisasi madrasah ini, langsung tidak langsung, secara bertahap madrasah akan mengalami perbaikan, sehingga cita-cita awal pendirian madrasah sebagai laboratorium untuk membina para siswa agar punya keimanan yang kuat secara vertikal dan berwawasan luas secara horizontal bisa terwujud.
Akan tetapi, perubahan tersebut adalah persoalan yang sulit. Selalu ada perlawanan terhadap perubahan. Penolakan terhadap perubahan dapat bersumber dari individu (resistensi individual) dan dari kelompok. (Stephen P. Robbins, 2001) Resistensi bisa karena takut kehilangan jabatan, kekuasaan, atau kebiasaan yang telah berlangsung puluhan tahun. Oleh karena itu, diperlukan tindakan radikal dari pemerintah untuk reposisi pengelolaan madrasah dengan diiringi sosialasi tentang manfaatnya. Perlawanan terhadap reposisi ini hanya terjadi didataran elit Departemen Agama, tidak pada tingkat bawah: guru, siswa. Reposisi lembaga Pengadilan Agama ke Mahkamah Agung merupakan contoh paling tepat bagaimana reposisi dapat mendorong perbaikan dalam lembaga: kesejahteraan, fasilitas, dan pelayanan. Itulah yang kado Ultah terindah.
Selengkapnya...

2 Comments:

At January 16, 2009 at 5:56 PM , Anonymous Anonymous said...

Apa pun kebijakan yang akan diambil dalam menentukan nasib madrasah, setidaknya memperhatikan beberapa hal.

Pertama, tidak merugikan ciri khas Agama Islam baik jangka pendek maupun panjang. Misal, adanya perubahan sosial politik, pergantian menteri maupun presiden.

Kedua, tidak ada lagi diskriminasi perlakuan antara madrasah dan sekolah.

Ketiga, tidak ada lagi diskriminasi dalam anggaran.

 
At February 18, 2009 at 1:25 AM , Anonymous Anonymous said...

bawa ke mahkamah kontsitusi... uu sisdiknas dan uu pemerintahan daerahhh

 

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home