Tuesday, September 15

PEREMPUAN-PEREMPUAN SUPER DI PASAR TERAPUNG


Keeksotikan pasar terapung (Floating Market), ternyata, menyimpan kepiluan. Perempun-perempuan yang berkayuh menembus gelapnya dinihari, melintas ombak sungai Barito adalah cerminan ketiadaan pilihan lain dalam hidup mereka. Untuk sebuah riset, saya harus lebih dekat dengan mereka. Lebih dekat dengan mereka membuka banyak hal.

Para pedagang perempuan Pasar Terapung harus berkayuh dari rumah mereka sejak pukul tiga dinihari menembus dingin malam. Mereka tidak hanya harus melawan dinginnya malam, tetapi juga harus siap menerima konsekuensi tenggelam ditabrak klotok bahkan dirampok. Sdh (50-an tahun) bercerita tentang bagaimana dia harus berkayuh menyeberang sungai Barito di gelapnya malam. Pada saat angin bertiup kencang, jukung kecilnya nyaris tenggelam ketika melintas ombak. Bahkan, dia pernah ditabrak klotok yang melaju kencang. Uang dan muatannyapun tenggelam, masih beruntung jukungnya tidak hilang karena terbuat dari kayu yang bisa mengapung. Dia lebih beruntung daripada saudara Whdh (40-an tahun) yang jukungnya hilang tenggelam karena ditabrak klotok.
Perempuan-perempuan itu sebenarnya tidak ada pilihan lain untuk mencari nafkah. Mereka ingin menjadi petani, tetapi mereka tidak punya tanah. Berdagang hanya untuk belanja keperluan sehari-hari. Bayangkan hasil keuntungan sehari, hanya berkisar 10 sd 20 rb saja. Tidak mengherankan, pedagang yang agak muda akan memilih menjadi buruh tani ke Tabunganen ketika musim panen tiba. Itulah yang menyebabkan pasar terapung akan sepi dari pedagang. Kerap, wisatawan lebih banyak dari pedagagannya.
Rendahnya penghasilan itulah yang menyebabkan kehidupan mereka tidak begitu beruntung secara ekonomi.
Jangan ditanya mengenai pendidikan. Anak-anak mereka rata-rata hanya menamatkan sekolah dasar. Sekolah barangkali tidak bayar, tetapi untuk baju seragam dan perlengkapan sekolah mereka harus berpikir keras mencari uangnya. Lebih baik tinggal dirumah menjaga adiknya, ujar ARP. Melihat mereka, hidup keseharian mereka, saya tiba-tiba tidak percaya dengan klaim keberhasilan pembangunan di tanah ini.
Selengkapnya...