Saturday, May 23

UNTUK KARTINI DI TANAH BANJAR

Untuk mereka yang membenci perempuan,
Untuk yang menghormati perempuan,
untuk yang bangga menjadi perempuan
untuk perempuan yang telah melahirkan dan menjagaku
untukmu yang telah mengisi hatiku dan menjaga bidadari kecil kita

Mengingat Kartini, bagi banyak orang, berarti perjuangan penegakkan hak perempuan. Nama Kartini sangat melegenda dan seolah menjadi mitos dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Setiap 21 April, banyak even dari tingkat TK dilaksanakan untuk mengingat “Ibu Kartini”. Gadis-gadis kecil diberi pakaian kebaya, sanggul, dan aksesoris lain ala Kartini. Padahal, Kartini tidak sendirian. Dari sudut pandang geografis dan periodisasi ada perempuan-perempuan lain yang berjuang. Dewi Sartika, Tjut Nyak Dien, Cristina Martha Tiahahu, dan pejuang wanita lain tidak bisa dilupakan begitu saja.

Perjuangan Kartini yang melegenda tergambar pada surat-suratnya yang dikirim kepada keluarga JH. Abandanon dan sahabatnya di Belanda. Surat-surat itu atas prakarsa pemerintah Belanda diterbitkan dan diberi judul Habis Gelap Terbitlah Terang. Secara garis besar, surat-surat tersebut mengkritik kultur yang menempatkan perempuan lebih rendah daripada pria. Perempuan menurut Kartini, harus pula mendapatkan pendidikan yang layak, seperti halnya lelaki. Banyak kritik tentang kesahihan surat-surat itu. Ada keraguan surat-surat itu berasal dari Kartini. Jangan-jangan hanya rekayasa Abandanon yang memiliki kepentingan politik etis Belanda. Hal itu pernah pula saya cermati diharian ini beberapa waktu yang lalu. Ahh..biarlah itu menjadi perdebatan ahli sejarah.
Tanpa mengabaikan Kartini, yang perannya dalam perjuangan diperdebatkan, sesungguhnya masyarakat dan Tanah Banjar adalah tanah yang menempatkan perempuan sangat terhormat. Hikayat Banjar menggambarkan bagaimana “kemuliaan” seorang perempuan yang dikenal sebagai Puteri Junjung Buih. Dialah yang berhak menjadi Ratu Negara Dipa ketika Empu Djatmika, seorang saudagar pengelana dari Kaling, merasa tidak berhak menjadi raja karena bukan keturunan raja. Hikayat Banjar mungkin hanya dongeng dan sulit dicari buktinya. Akan tetapi, dalam perspektif Strukturalisme Levi Straus, segala dongeng atau mitos tidak hanya sekedar cerita saja. Dongeng dan Mitos, menurutnya, merupakan cerminan dari pola pikir masyarakat dimana dongeng dan mitos itu berkembang. Dengan demikian, legenda Junjung Buih menggambarkan bahwa masyarakat Banjar merupakan komunitas yang sangat menghormati perempuan.
Itu berbeda dengan dengan kultur Jawa yang sangat terpusat pada lelaki, perempuan Banjar relatif mendapat tempat di masyarakat Banjar. Ketika Islam menjadi agama kerajaan di masa Kerajaan Banjar, perempuan mendapat tempat pula dalam pengajaran agama Islam. Pada masa itu, Fatimah binti Syarifah binti Abdul Wahab Bugis, Cucu M.Arsyad Al Banjary, menjadi guru agama Islam bagi perempuan. Terlepas dari hal tersebut, sulit memahami ketika Fatimah binti Syarifah binti Abdul Wahab Bugis, Cucu M.Arsyad Al Banjary, yang menulis Parukunan Basar (sebuah kitab fikih), tidak disebutkan sebagai penulis kitab populer tersebut. Mengapa justru nama Mufti H. Jamaluddin lah, pamannya, yang lebih dikenal, bahkan parukunan itu dikenal sebagai Parukunan Jamaluddin?
Paling tidak ada dua kemungkinan mengapa itu terjadi. Pertama, pihak kerajaan hanya mengakui otoritas ilmu agama Islam hanya dipegang oleh mufti kerajaan yang dijabat oleh H. Jamaluddin. Fatwa keagamaan yang tidak dikeluarkan mufti tidak diakui dalam struktur kerajaan Banjar ketika itu. Bisa jadi, jika parukunan tersebut diklaim sebagai tulisan Fatimah, yang bukan mufti kerajaan, beragam hukum fikih dalam parukunan tidak diakui kebenarannya.
Kedua, Fatimah melihat kepentingan yang lebih besar dengan tidak ditulisnya namanya sebagai pengarang parukunan tersebut. Dengan nama Jamaluddin, kitab itu akan cepat diakui kerajaan dan masyarakat luas, seperti dijelaskan diatas. Fatimah, barangkali, sebagai keponakan merasa berkewajiban menghormati pamannya yang notabene pemegang otoritas Islam tertinggi Kerajaan Banjar.
Di sini dapat dilihat kepiawaian Fatimah yang dapat membaca situasi dengan logis sehingga lebih menguntungkan penyebaran ajaran Islam (baca: parukunan). Jika Fatimah lebih mengutamakan ego dan emosi demi popularitas seperti sekarang sering terjadi, dengan mengakui dia sebagai penulis, boleh jadi parukunan tersebut tidak akan diakui keabsahan fatwanya, tidak sepopuler sekarang, karena bukan berasal dari Mufti Kerajaan Banjar. Dengan kata lain, Fatimah adalah teladan intelektual aktivis dan intelektual perempuan Banjar.
Fatimah, Ratu Zaleha, Aluh Idut, dan pejuang perempuan lain di tanah Banjar adalah simbol peran perempuan terdekat dan selayaknya diingat. Mereka bukan “Kartini” yang begitu diagungkan bahkan dimitoskan. Akan tetapi, pengorbanan mereka jauh lebih besar daripada Kartini yang hidup sebagai seorang istri Bupati. Kepada merekalah kita semestinya juga menghormat
Selengkapnya...

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home