Monday, July 16

BUAT KAYI MAMBING

PAGUSTIAN DAN SUMAMBING


Banua ini memang penuh keanehan, setidaknya bagi saya yang tak begitu cerdas memahami fenomena. Keanehan pertama, para pagustian (termasuk politisi) sangat pandai berkilah dengan argumen yang tampaknya masuk akal. Persoalan batu bara yang sebenarnya telah jelas ada SK dari gubernur terdahulu kini tidak berlaku lagi menunggu Perda. Anehnya lagi, persoalan batu bara akan kembali lagi ditunda sampai sekitar dua tahun akan datang. Itu berarti setelah gubernur baru terpilih. Demikianlah, persoalan itu akan terus berlanjut dari masa ke masa. Setiap pagustian baru terpilih, penuntasan persoalan batu bara akan kembali diputar dari awal tanpa berujung. Ternyata, menjadi saudagar dan pagustian sungguh menyenangkan.
Keanehan kedua, meskipun telah diputuskan bersalah di depan hukum, pagustian tetap bisa bebas. Itu karena, vonis yang dijatuhkan telah dipotong masa tahanan, meskipun sebenarnya mereka masih berkeliaran. Mereka pun tetap bisa berkilah mereka tidak bersalah.
Keanehan ketiga, Perusahaan Listrik Negara sampai kekurangan batu bara untuk bahan pembangkitnya sehingga harus melakukan pemadaman. Dalam perspektif pada umumnya, tanah banjar ini adalah lumbungnya batu bara apalagi di daerah batu licin yang dekat pembangkit listrik. Mereka pun sangat pintar mencari alasan bukan pintar mencari cara agar listrik tetap menyala. Anehnya juga, meskipun mereka katanya masih kekurangan dana untuk menambah fasilitas pelayanan, mereka bisa menggaji dan honor lain bagi karyawan dan pejabat dengan jumlah yang sangat besar.
Itu menandakan pagustian di tanah ini adalah bubuhan (komunitas) yang sangat pandai berkilah. Mereka melindungi diri mereka dengan melempar kesalahan kepada pihak lain. Kesalahan bisa dialamatkan kepada sistem hukum, orang lain, bahkan kepada alam. Dengan demikian, mereka masih bisa memproklamasikan diri sebagai seorang suci dan hanya menjadi korban dari kebejatan masa lalu. Apalagi, pagustian bisa menjadi dermawan dan menjadi sangat alim.
Berbeda dengan mereka, Sumambing punya cara lain dalam membela diri. Siapakah Sumambing? Sumambing hidup sekitar tahun 70-an dan tinggal di sekitar Bilui (3 km dari kota Kandangan) ada pula yang menyebut dia tinggal di sekitar Ambarai (6 Km dari Kandangan arak ke Loksado). Dia bekerja sebagai seorang tukang (tukang semen).
Sumambing dengan cerdas membuat dalih agar tidak merasa malu. Seperti kebiasaan pada umumnya di daerah Kandangan, sore hari digunakan untuk berkumpul dengan pemuda kampung. Rupanya Sumambing sakit perut. Ketika asyik mengobrol, dia mencret di celana. Dia tidak berani berdiri takut ketahuan oleh pemuda-pemuda yang sering menjadi bahan olok-oloknya. Sumambing tak habis akal. Dia berkata, “Saudara-Saudara!, dalam hidup sekali-kali pasti ada merasa malu. Betul tidak?.
Para pemuda menjawab, “betul, wajar saja jika sekali-kali kita merasa malu”.
Sumambing lega dan berkata, ”saya mencret buhannya ai ”.
Dengan demikian, pemuda-pemuda itu tidak bisa mengolok-oloknya. Dalam kisah lain diceritakan Sumambing yang terjepit tangkai cangkir. Hampir setiap hari Sumambing pergi ke warung untuk minum teh dan kue. Pemilik warung pun menyajikan teh dalam cangkir yang bertangkai. Setelah sedikit berbasa-basi, Sumambing pun minum teh. Karena cangkirnya bertangkai, Sumambing memasukkan jarinya ke lobang tangkai cangkir. Setelah selesai minum Sumambing bermaksud meletakkan kembali cangkir. Akan tetapi, jari Sumambing yang besar tidak bisa dilepaskan dari lingkaran tangkai cangkir. Dia malu jika memberitahu pemilik warung bahwa tangannya terjepit di lobang tangkai cangkir.
Dia bertanya kepada pemilik warung sambil menunjukkan cangkir, ”harga cangkir ini berapa?”
Pemilik warung menjawab, ”seratus rupiah”.
Merasa punya uang untuk mengganti cangkir itu, Sumambing pun memukulkan cangkir ke tiang warung sehingga tangannya terlepas dari jepitan tangkai cangkir.
Di lain hari, Sumambing juga pernah tercebur ke selokan di sekitar Lapangan Pemuda. Tubuhnya yang tidak begitu tinggi menyebabkan dia sulit mengendarai sepeda sehingga dia jatuh ke selokan. Orang-orang yang melihat pun bertanya, ”ada apa Paman?”
Sumambing pun menjawab, ”saya hanya mengukur kedalaman kalian (selokan).
Prilaku Sumambing yang pandai menyembunyikan rasa malu, rasa kalah, atau rasa bersalah itu merupakan sesuatu yang unik. Dia menggunakan wacana yang elegan tanpa menyalahkan orang lain. Kebanyakan kita apalagi politikus lebih pandai membuat wacana yang menyalahkan orang lain bahkan menuding orang lain. Ada juga orang yang menggunakan kewanian agar orang tak mengolok-oloknya. Sumambing tidak menyalahkan orang lain atau membuat orang takut agar tak mengolok-olok. Dia dengan cerdas dan elegan memilih alasan sehingga orang tidak merasa disalahkan. Pendek kata, mekanisme pertahanan diri Sumambing sangat bermartabat dan terhormat.
Sumambing boleh jadi tidak bersama kita lagi tetapi banyak hal yang dapat diambil darinya. Akan tetapi, Sumambing tetaplah Sumambing. Dia mewariskan kelucuan, keluguan, dan pelajaran meskipun kerap satiris bagi orang-orang yang mau berpikir. Itu kadang lebih terhormat dari bubuhan Pagustian di tanah Banjar ini.
Selengkapnya...

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home