Wednesday, November 14

TRADISI LISAN

All sorrows can be borne if you put them into a story or tell a story about them. Pernyataan Isak Dinesen itu dikutip oleh Hannah Arendt dalam bukunya, The Human Condition yang terbit tahun 1958. ( Karlina Leksono-Supelli, 2002 : 98). Isak Dinesen dan Hannah Arendt percaya bahwa hanya melalui kisah tindakan manusia akan menjadi sejarah. Meskipun setiap orang datang ke kehidupan dunia dengan dirinya sendiri, tidak ada seorangpun yang bisa menulis kisah hidup sendirian, tanpa orang lain.
Pada awalnya, kisah hidup manusia disampaikan dengan tradisi lisan. Dengan mengutip Jan Vasina, Kontowijoyo beranggapan bahwa tradisi lisan adalah pernyataan lisan (oral) yang disampaikan dengan kata-kata verbal dari generasi ke generasi berikut atau lebih. Dalam perspektif sejarah, tradisi lisan bisa dijadikan sumber sejarah untuk merekan masa lampau. Di Amerika Serikat, sebuah proyek untuk menuliskan pengalaman para budak telah dilancarkan pada zaman New Deal pada tahun 1930-an. Orang-orang mantan budak itu tentulah tidak menyimpan dokumen tentang dirinya sendiri atau membuat catatan-catatan.
Sebagai gambaran, banyak sekali diketahui jenis pekerjaan penting dalam Kerajaan Banjar di masa lampau dan sekarang sudah punah. Lalawangan (Kepala Distrik) merupakan salah satu pekerjaan penting di Kerajaan Banjar. Akan tetapi, kisah tentang pekerjaan mereka, keahlian, hubungan sosial, keberagamaan, dan ekonomi mereka tidak lagi terdengar. Hal itu disebabkan oleh minimnya tradisi lisan, apalagi sumber tertulis dari lingkungan terdekat mereka. Bagaimana seorang Kepala Distrik merasakan hidupnya, pekerjaannya, dan pengabdiannya kepada Sultan tidak bisa dilukiskan dengan dokumen. Tradisi lisan dapat dengan cermat melukiskan kandungan emosional dalam kisah sejarah tersebut.
Tradisi lisan tidak hanya sebagai sumber sejarah. Tradisi lisan mengandung kejadian-kejadian nilai-nilai moral, keagamaan adat istiadat, cerita-cerita khayali, pribahasa, nyanyian, dan mantra (Kuntowijoyo, 2003 : 25) Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa tradisi lisan yang diwariskan dari generasi ke generasi selalu membawa pesan moral, meskipun tradisi lisan itu bersumber dari cerita-cerita khayali. Terlebih lagi, tradisi lisan yang bersumber dari kejadian nyata tentu membawa pesan moral atau sejarah manusia.
Dalam masyarakat Banjar bisa ditemukan beberapa bentuk kesenian yang disampaikan secara lisan, yaitu pertama, syair. Bentuk syair ini dapat dikelompokkan atas syair berdasarkan cerita (hikayat atau ibarat) misalnya syair Brahma Sahdan, Kesuma, dan Syair Siti Jubaidah. dan syair berdasarkan pendidikan agama Islam misalnya Syair Mayat dan Syair Tajul Muluk.
Kedua, tradisi lisan berbentuk pantun. Pantun dapat dikelompokkan antara lain atas pantun tarasul, pantun badatang, pantun panglipur, dan pantun insyaf.
Ketiga, tradisi lisan madihin. Madihin adalah bentuk pantun yang dinyanyikan dan iringi dengan tabuhan gendang (terbang). (Amir Hasan Bondan, 1953 : 126-137)
Selain tiga jenis tradisi lisan tersebut, dikenal pula tradisi bakisah atau dikenal juga dengan istilah balamut. Juru kisah atau palamutan menuturkan cerita dengan diselingi dengan tabuhan gendang (terbang). Kisah-kisah dalam masyarakat Banjar tidak hanya disampaikan dalam kesenian balamut tersebut tetapi diceritakan pula oleh satu generasi ke generasi berikutnya. Di antara kisah-kisah yang sering diceritakan adalah Pipit Dandung, Warik lawan Kura-Kura, Sangyang Gantung, dan Si Picak lawan Si Bungkuk.
Di samping kisah-kisah dongeng tersebut, dalam masyarakat Banjar, khususnya daerah Hulu Sungai Selatan (baca: Kandangan) sangat dikenal kisah tentang Sumambing. Berbeda dengan dongeng-dongeng di atas yang jelas fiksi, Sumambing adalah tokoh non fiksi. Dia real hidup di daerah Bilui, Kandangan di paruh awal abad 20. Salah satu cerita yang penulis ingat adalah tentang Sumambing yang tercebur ke selokan. Tubuhnya yang pendek menyebabkan dia sulit mengendalikan sepedanya yang relatif bersadel tinggi sehingga sedikit saja tertabrak batu menjadi hilang kendali. Ketika dia tercebur ke selokan, dia hanya enteng berkata, ”aku hanya ingin mengukur kedalaman selokan ini”.
Prilakunya itu menjadi ikon bagi orang-orang yang berprilaku tidak mau kalah dan banyak akal. Seperti Sumambing adalah term yang digunakan masyarakat untuk menyebut orang yang pandai berkilah dan banyak akal menghindar dari kesalahan.
Sumambing menjadi menarik tidak hanya karena prilakunya itu tetapi karena dia hidup dalam sistem nilai budaya yang sangat berbeda. Sistem nilai budaya adalah konsepsi-konsepsi abstrak yang hidup di alam pikiran sebagian besar dari warga suatu masyarakat mengenai apa yang dianggap mempunyai makna penting dan berharga tetapi juga apa yang dianggap remeh dan tidak berharga dalam hidup. (Koentjaraningrat, 1969 : 18) Nilai budaya daerah tentu saja bersifat partikularistik artinya khas berlaku umum dalam wilayah budaya masyarakat tertentu. Sejak kecil ”individu-individu telah diresapi oleh nilai-nilai budaya masyarakatnya, sehingga konsepsi-konsepsi itu telah menjadi berakar dalam mentalitas mereka dan sukar untuk digantikan oleh nilai budaya yang lain dalam waktu singkat. Koentjaraningrat, 1969 : 18)
Sehubungan dengan hal tersebut, dalam manifestasinya secara konkret nilai budaya mencerminkan streotip tertentu. Dengan demikian, Sumambing berada dalam sistem nilai budaya masyarakat Kandangan. Sistem nilai budaya yang identik dengan kekerasan. Kecenderungan umum masyarakat Kandangan sampai tahun 2000-an adalah penyelesaian masalah dengan kekerasan dan perkelahian. Oleh karena itu, kebiasaan membawa pisau di pinggang adalah kebiasaan yang dianggap lumrah.
Sikap yang bertolak belakang dengan sistem nilai budaya umum masyarakat Kandangan menjadikan Sumambing dan kisah hidupnya menarik untuk dicermati. Sebenarnya ada kesulitan dalam mengklarifikasi apakah cerita-cerita tentang Sumambing adalah benar telah dilakukannya karena informasi yang diperoleh kebanyakan tidak pernah berhubungan langsung, bertemu langsung, atau mengenal baik tokoh Sumambing. Oleh karenanya, ada kemungkinan cerita yang muncul bukan cerita nyata kehidupan Sumambing tetapi cerita fiksi komedi yang dikaitkan dengan Sumambing sehingga seolah itu benar terjadi.
Tradisi lisan tersebut dapat mewariskan nilai, pengalaman, dan kebijakan. (Kuntowijoyo, 2002 :46) Oleh karenanya, penelitian ini akan mendeskripsikan kisah-kisah keseharian Sumambing kemudian menganalisis nilai-nilai yang terkandung dalamnya.
Selengkapnya...

1 Comments:

At August 14, 2011 at 12:03 PM , Anonymous Anonymous said...

bagus gan postingannya, ulun buyut sidin jd tahu cerita tentang sidin bahari. makasih banyak

 

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home