Monday, July 16

UAN DAN QOU VADIS PENDIDIKAN KITA



Dari hari ke hari, Ujian Akhir Nasional (UAN) semakin dekat. Para siswa, orang tua, dan guru semakin gugup, cemas, kuatir dan perasaan lain yang tak menentu. Ujian penentuan kelulusan itu seolah menjadi hantu yang sangat menakutkan. Segala cara dan upaya dilakukan agar sekolah mereka berhasil meluluskan siswa. Semakin banyak siswa yang lulus, semakin tinggi pamor mereka di mata pemerintah dan juga masyarakat. Kalau sudah demikian, sekolah itu pun menjadi sekolah favorit yang menjadi rebutan para calon siswa.
Di situlah hukum ekonomi berlaku. Sekolah yang banyak diminati biayanya pun semakin mahal. Semakin banyak peminat, semakin mudah sekolah menaikan iuran sekolah. Benar kata Bupati Hulu Sungai Selatan ketika mengunjungi SMKN 2 Kandangan beberapa waktu lalu, katakana pada orang tuamu pendidikan yang berkualitas itu mahal. Lalu di mana anak-anak petani miskin, buruh, dan kaum jaba lain? Para orang tua mereka pun akhirnya semakin sulit memilih antara sekolah atau menyuruh anaknya bekerja di sawah, ladang, mambatang (menebang pohon), atau pekerjaan lain yang “tak berkelas”.
Dalam konteks itulah setidaknya ada tiga “keberhasilan” UAN dalam dunia pendidikan. Pertama, UAN telah berhasil menyempitkan makna pendidikan. Pendidikan yang dulu dipahami sebagai sebuah proses direduksi menjadi hanya sebagai sebuah pengetahuan tiga mata ujian. Dengan kata lain, proses educating (pendidikan) dalam lembaga sekolah telah berhasil diubah oleh UAN hanya sekedar teaching (pengajaran) dan training (pelatihan) Padahal, dalam teori pendidikan yang telah dikenal oleh mahasiswa program strata satu, pendidikan mencakup tiga ranah: kognitif, afektif, dan psikomotor sehingga keberhasilan beberapa siswa Indonesia dalam olimpiade fisika tidak bisa diklaim sebagai keberhasilan pendidikan di negeri ini. Pendidikan pada hakikat sebuah proses yang dilakukan untuk menjadikan manusia mampu menggali potensi dirinya sendiri sehingga bisa berinovasi dan berkreasi untuk hidup mandiri. Akan tetapi, UAN berhasil menggiring masyarakat kepada sebuah paradigma baru bahwa pendidikan dikatakan berhasil jika berhasil lulus UAN. Siswa yang gagal UAN pun dianggap gagal dalam pendidikan. Mereka akhirnya terpaksa mengikuti Paket B atau C. Meskipun telah diakui setara dengan SMP dan SMA, tetap saja lulusan Paket B dan C adalah second class.
Dengan kata lain, UAN telah sukses mengangkat dirinya sebagai tujuan pendidikan. Lulus UAN berarti dapat ijazah, kuliah, mendapat gelar, dan bekerja. Tampaklah bahwa siswa telah dikondisikan untuk belajar untuk mendapat ijazah dan gengsi sekolah. Siswa berhasil dijadikan sebagai seorang pemburu gelar, gengsi, dan atribut simbolis lainnya. Ketika semua itu telah diraih belajar pun usai.
Kedua, UAN menjatuhkan rasa percaya diri guru dan sekolah. Para guru yang telah puluhan tahun mengajar merasa tidak berarti apa-apa dihadapan UAN sehingga siswa pun dianjurkan mengikuti bimbingan belajar. Sekolah tidak percaya lagi dengan jadwal pelajaran yang telah disusunnya sehingga harus menambah jam pelajaran di luar jam sekolah. Di daerah perkotaan, bimbingan belajar pun menjamur dan menuai laba yang besar. Bahkan, ada pula bimbingan belajar yang bekerja sama dengan sekolah melaksanakan bimbingan menyongsong UAN. Di pedesaan tentu saja tidak seperti itu. Para guru berusaha seadanya. Mereka memberikan pelajaran tambahan di sore hari dan para siswa pun akhirnya pasrah menunggu nasib.
Ketiga, UAN telah membuka peluang bisnis baru. Selain para penyelenggara bimbingan belajar, kalangan pemerintah pun mendapat pekerjaan baru. Uji coba UAN dilaksanakan diseluruh kabupaten/kota dan roda bisnis bergulir. Pengusaha percetakan soal atau hanya sekedar pelaksana proyek, sunat sana sini menjadi tambah subur. Ratusan juta dikeluarkan untuk proyek bernama uji coba UAN. Saya kuatir keberhasilan pendidikan (baca:UAN) hanya dalih dari sebuah perkongsian bisnis para saudagar.
Terlepas dari keberhasilan UAN itu, tampaklah bagi kita bahwa pendidikan masih berada sebagai pembuat masalah bagi masyarakat, bukan sebagai pemecah masalah. Kurikulum dan UAN adalah contoh paling mudah. Ketika kurikulum diberlakukan para guru dan masyarakat dengan permasalahan dana, buku, kemampuan guru dan permasalah lain yang tak selesai dalam satu atau dua bulan. Demikian juga kebijakan UAN. Begitu UAN digulirkan, permasalahan serupa muncul.
Perubahan-perubahan yang dilakukan hanya dalam tataran kosmetik atau hanya sekedar di kucau (di obok-obok) tidak menyentuh kepada falsafah pendidikan. Pendidikan dipasung dalam kesamaan nalar, sikap, dan tutur sikap penguasa. Apa sumbangan pendidikan sejauh ini? Apakah ketidakmampuan berbuat jujur, berpikir sehat, bertutur sopan mulai rakyat sampai elit politik adalah bukti sumbangan pendidikan. Dengan sangat ekstrem, Winarno Surakhmad menulis bahwa hampir tidak ada sisa pengaruh yang menunjukkan bahwa bangsa ini telah besar atauu dibesarkan oleh pendidikan.
Evaluasi tingkat pendidikan dengan UAN tidak lah bisa sepenuhnya dikatakan keliru. Evaluasi penting untuk syarat naik tingkat dalam pendidikan. Persoalannya adalah parameter dalam UAN belum menyentuh sisi sikap, kreasi, inovasi, dan kemandirian siswa. Biarlah para ahli evaluasi pendidikan mencari solusinya. Pertanyaan filosofisnya mau kemana (qou vadis) pendidikan kita?
Selengkapnya...

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home