Sunday, July 22

BUAT BIDADARI KECIL KAMI


“Anakku, bermainlah dengan mainan buatanmu sendiri”

Dulu saya mengira menjadi ayah dan memiliki anak hanya sekedar bermain dan bermain dengan si kecil. Ternyata menjadi orang tua tidak hanya sebatas itu. Menjadi orang tua penuh konsekuensi. Sejak kehamilan, gundah gulana, gelisah tentang bagaimana si kecil lahir. Sehatkah dia atau jangan-jangan dia akan lahir tidak sempurna. Pertanyaan itulah yang kerap muncul. Setelah si kecil lahir, orang tua tidak lagi bisa nyenyak tidur siang dan malam hari. Tengah malam, mereka harus rela berbagi waktu dengan si kecil yang sering menangis karena popoknya basah. Belum lagi jika si kecil sakit. Orang tua hanya harus menyiapkan mental, uang pun wajib disediakan.

Tanggung jawab yang lebih berat kemudian menghadang tatkala si kecil beranjak besar. Food, fashion, fun, faith, fear, facts, fiction, dan formulation menjadi hal yang harus diwaspadai orang tua masa kini. Anak-anak kita sekarang dapat dengan mudah disuguhi ayam goreng Amerika, hamburger, pizza, kebab Turki dan beragam makanan import lain. Pendek kata, anak di pelosok banua telah turut merasakan globalisasi makanan. Coba tanya anak-anak sekarang apakah mereka masih mengenal cangkaruk, cucur, cincin atau wajik? Makan impor bukan hanya perkara globalisasi, tetapi ternyata juga menyangkut halal haram campuran dalam makanan itu. Mengetahui zat dalam makanan import tidak bisa dengan kitab kuning. Itulah tantangan kita sekarang.

Pakaian model bagaimana yang tak ada di tanah Banjar? Dari yang berjilbab sampai keliatan pusar dan “maaf” pangkal bokong sudah menjadi fashion di tanah ini. Soal malu jangan ditanya lagi. Pantat yang bisa di lihat sudah menjadi pemandangan umum. Itulah tantangan kedua anak-anak Banjar.

Bagaimana soal hiburan (fun) bagi anak-anak? Hiburan tidak hanya sebagai pengisi waktu dan pelepas lelah. Hiburan bisa juga menjadi agen demoralisasi atau menjauhkan dari nilai-nilai agama. Ketika sinetron percintaan, hantu, tahayul berkedok religi menjadi hiburan remaja nilai apa yang bisa diambil dari situ selain menjual mimpi? Anak-anak sudah mulai asing dengan permainan dari alat yang dibuatnya sendiri. Mereka lebih menyukai game play station dan film kartun atau daripada mengasah keterampilan membuat mobil-mobilan dari pelepah rumbia.

Tidak hanya itu, pandangan tentang Tuhan, agama, dan kepercayaan semakin beragam. Semakin terbukanya akses informasi, pendidikan yang semakin tinggi, mendorong lahirnya pandangan-pandangan keagamaan baru. Semuanya mengklaim sebagai sebuah kebenaran. Pendek kata, anak-anak harus siap menerima perbedaan. Bahwa perbedaan tidak harus dihindari tetapi diterima sebagai fakta yang tidak bisa dipungkiri.

Semua itu akan memunculkan “ketakutan” bagi masyarakat dunia. Ketakutan di satu bagian bumi juga akan berimbas ke bagian lain. Itulah globalisasi. Apalagi, antara fakta dan fiksi sangat sulit untuk dibedakan. Semuanya bisa diolah dan diformulasikan sehingga seolah benar.

Apa yang bisa dilakukan menghadapi tantangan itu? Pendidikan adalah jawabannya. Sayangnya pendidikan semakin sulit diraih oleh anak-anak kalangan jaba di pelosok manapun di negeri ini. Meminjam istilah Bpost, pendidikan telah menjadi barang superlux. Semakin menjamurnya anak-anak jalanan yang menadahkan tangan di pinggir jalan membuktikan hal itu. Orang berduit mudah saja berkata teganya orang tua membiarkan mereka. Para intelektual bisa saja mengatakan itu eksploitasi terhadap anak dan melanggar hak anak. Orang kaya atau intelektual itu bisa berkata demikian karena mereka sekolah. Bagi anak miskin perkara sekolah atau tidak bukanlah prioritas mereka. Soal makan atau tidak adalah yang jadi pikiran mereka setiap hari.

Anak-anak yang ketiadaan biaya menuntut ilmu mungkin adalah anak-anak kita. Anak-anak bangsa yang tumbuh di lahan yang tidak terlalu subur. Orangtua mereka tentu telah berusaha maksimal, namun kehidupan selalu tidak mudah di negara yang sesungguhnya diberi Allah kekayaan alam ini.

Orang miskin kaum jaba hanya dianggap sebagai deretan angka-angka dalam sensus penduduk: angka ekonomi lemah sekian persen, angka pengangguran sekian persen, angka kemiskinan sekian persen, dan angka putus sekolah sekian persen. Berdasarkan angka-angka tersebut,pemerintah dengan gagah menganggarkan dana sekian triliun rupiah dan menyatakan berpihak pada rakyat. Namun jutaan pedagang kecil, petani penggarap, dan bubuhan jaba lain tidak pernah menerima dana pemerintah itu. Meminjam dana ke bank, harus ada sertifikat tanah sebagai agunan. Pagustian lupa, sebagian bubuhan jaba tak memiliki tanah. Belum lagi berbelitnya birokrasi, bahkan sengaja dipersulit. Bank lebih suka memberi kredit untuk konglomerat, meski tak sedikit konglomerat melarikan uang rakyat ke luar negeri. Pemerintah lebih suka berpihak kepada pengusaha meskipun mereka merugikan orang banyak.

Pemahaman akan peran dan kebutuhan anak dapat dikatakan bukanlah sesuatu yang mendapat perhatian besar masyarakat dalam strata apa pun, kaum jaba hingga pagustian. Anak diharuskan ''hanya mendengar, dan tidak untuk didengar'', sehingga tidak jarang ada pemaksaan-pemaksaan terhadap anak. Di kalangan orang berduit, orangtua memaksakan anaknya untuk ikut kegiatan yang sebenarnya tidak diminati anak. Mereka dipaksa untuk mengikuti les berbagai mata pelajaran, les tari, musik sampai ikut kursus model. Sementara di keluarga yang kurang beruntung anak dipaksa untuk ikut mencari uang. Artinya, anak harus mengikuti ambisi dan keinginan orangtuanya, sehingga praktis masa sosialisasi dan keceriaan dunia anak terganggu. Mereka sangat jarang dapat menyalurkan kreativitasnya sesuai dengan dunianya.

Terlepas dari hal tersebut, mayoritas anak-anak boleh jadi lahir dari keluarga sederhana. Mereka makan dari yang halal hasil keringat sendiri bukan hasil menelikung atau memanipulasi semen dan aspal. Mereka meraih prestasi tidak dalam cahaya lampu kristal, tapi di kamar dengan cahaya lampu seadanya. Ia belajar, mengaji, shalat, dan makan dari keringat orangtuanya, bersih dan toyyib. Mereka bermain dan bercanda di halaman rumah kita. Mereka cahaya bangsa ini. Tetapi mereka tidak tumbuh dengan mudah. Selain kemiskinan, mereka ibarat kembang dikelilingi ilalang--tayangan tahayul, seks, kekerasan, gosip, gaya hidup mewah di televisi. Mereka terkepung, dijepit, dan diisap setiap saat untuk rating. Semua itu merupakan kreativitas pagustian dan saudagar yang selalu tak puas menumpuk uang.

Uang memang penting. Akan tetapi bukankah mencari ilmu itu lebih penting dari pada mencari uang? Ilmu lah yang menjadi penerang bagi kaum jaba dan pagustian. Kata para tuan guru, tamaklah akan ilmu tetapi sederhanakan nafsumu kepada uang. Bukankah Allah sudah mencukupkan rezeki. Namun, sayangnya, merasa selalu cukup sangatlah sulit. Itu adalah kepintaran yang amat sulit tetapi menantang untuk dipelajari. Oleh kita dan anak-anak kita. Jika ilmu telah menjadi barang yang mahal dan langka untuk anak-anak jaba, siapakah orang yang paling berdosa? Saya tidak punya banyak uang. Lantas pagustian atau saudagar?

Selengkapnya...

2 Comments:

At July 22, 2007 at 6:23 AM , Blogger Nasrullah said...

Raja Guru nih, harat abahnya nih.

 
At July 23, 2007 at 2:29 AM , Blogger Nasrullah said...

www.friendster.com/lantingbarito

 

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home