Monday, July 16

MAULUD : ANTARA RITUS DAN TRADISI


Di beberapa daerah, bulan Rabiul Awwal (bulan maulud) merupakan yang penuh dengan kesibukan. Dapatlah dianggap bulan maulud sebagai bulan paling meriah sepanjang tahun. Jika Ramadhan meriah karena puasa dengan pasar wadainya, bulan maulud semarak karena upacara peringatan yang disertai makan-makan. Tidak mengherankan, Rabiul Awwal sering diplesetkan menjadi bulan mulud (baca:mulut).
Di daerah Barabai, peringatan maulud dilaksanakan di rumah-rumah penduduk serentak satu kampung. Undangan telah datang untuk makan sejak sore sehari sebelum upacara inti yang disertai bacaan syair maulud. Banyaknya orang yang harus diundang ternyata menimbulkan persoalan. Para tuan rumah menjadi sulit mencari orang-orang yang bisa membaca syair maulud. Mereka harus berbulan-bulan lebih awal mengundang para pembaca syair itu. Kesulitan itu lah yang menjadi pendorong didirikannya perkumpulan maulud di de
Di Kandangan demikian juga. Bedanya, upacara dilakukan hanya sehari. Kampung-kampung bergiliran melaksanakan maulud. Di situ ada semacam konvensi kesepakatan tak tertulis tentang kampung mana yang akan melaksanakan maulud. Kampung-kampung tetangga sudah mengetahui jadwal itu. Minggu pertama yang melaksanakan maulud adalah kampung A, minggu kedua kampung B, dan Rabu pertama kampung C. Begitulah seterusnya. Kebanyakan dalam peringatan itu dibaca syair Barzanji dan Habsyi.
Dalam upacara maulud itu makanan yang disajikan sangat beragam. Pertama datang, para undangan disuguhi katupat atau lamang. Kemudian dilakukan pembacaan syair. Usai membaca syair yang kerap sangat nyaring rupanya undangan menjadi lapar. Hidangan berikutnya adalah kue-kue. Lalu semua undangan dari rumah-rumah di kampung itu berkumpul di masjid/mushala. Disitulah kembali dilaksanakan upacara pembacaan syair maulud dan ceramah agama. Setelah salat Zuhur berjamaah, undangan kembali ke rumah dan makan siang.
Bisa dibayangkan berapa biaya yang telah dihabiskan oleh satu kampung untuk menjamu tamu-tamu itu. Jika dihitung, total jenderal uang yang dihabiskan sebuah kampung untuk peringatan itu bisa mencapai puluhan juta rupiah. Semakin besar kampungnya, semakin banyak yang melaksanakan maulud, semakin besar pula cost (biaya) yang harus dikeluarkan.
Di lain tempat di tanah Banjar ini, peringatan maulud dilaksanakan dengan terlebih dahulu membaca syair maulud habsyi diiringi tabuhan terbang (rebana). Acara dimulai setelah salat Isya dan selesai sekitar pukul sepuluh malam. Sering terjadi, para undangan yang tidak tahu panjangnya acara sehingga mereka tidak makan terlebih dahulu sebelum berangkat. Mereka pun “kelaparan” menunggu disuguhi makan malam oleh tuan rumah.
Fenomena-fenomena itu, tampaknya, menunjukkan dua hal. Pertama, masyarakat kita (Banjar) masih punya keterikatan dengan “agama”. Suatu ritus (upacara suci keagamaan) yang dianggap punya nilai pahala akan dilaksanakan meskipun itu menghabiskan uang jutaan rupiah. Janji yang ditebar adalah sorga. Jamak sudah terjadi, seseorang yang rela menghabiskan jutaan rupiah untuk maulud belum tentu mau menghabiskan untuk membantu orang lain. Tidak mengherankan jika dalam sebuah kampung yang sangat meriah mauludnya masih ada tetangga yang hidup papa, tidak sekolah, rumah reot, dan kepapaan lain.
Mengapa maulud harus diperingati dengan semeriah itu? Peringatan maulud adalah pertanda kecintaan kepada Rasulullah SAW. Mengeluarkan satu rupiah untuk maulud, konon, akan mendapat balasan jutaan rupiah di masa akan datang. Tanpa bermaksud memperdebatkan persoalan hukum melaksanakan maulud, dalam konteks kecintaan kepada Rasulullah tentu saja maulud perlu terus dilakukan. Akan tetapi, dalam konteksnya dengan cost (biaya) yang harus dikeluarkan maulud perlu ditinjau ulang.
Kedua, kemeriahan maulud menjadi perlambang masih dipegang kuatnya tradisi dalam masyarakat kita. Tradisi yang berkembang secara turun temurun tampak terus berusaha dipelihara. Memang bisa diamati dibeberapa daerah mulai tidak semeriah dulu, tampaklah penurunan itu terkait dengan kondisi ekonomi kampung yang bersangkutan. Bisa saja di kampung A tahun ini tidak melaksanakan maulud disetiap rumah, tetapi tahun depan mereka kembali melaksanakan. Itu bisa terjadi karena kondisi ekonomi mereka sudah membaik setelah panen padi di sawah atau kebun mereka. Meskipun secara substansi peringatan maulud sama yaitu sama diisi dengan pembacaan syair maulud, peringatan maulud juga menegaskan perbedaan tata cara peringatan berdasarkan tradisi setempat seperti disebut di awal tulisan ini.
Belakangan, tradisi maulud tidak hanya peringatan saja tetapi juga diisi dengan baayun maulud. Upacara ini kebanyakan dilaksanakan oleh pemerintah daerah sebagai sebuah even budaya. Dalam perspektif memelihara tradisi/budaya lokal Banjar, peringatan maulud atau baayun maulud sangat perlu untuk dipelihara dan dilestarikan.
Dalam konteks tradisi pula, perdebatan tentang bidah dan tidak bidah peringatan maulud tidak perlu ditakutkan. Menurut Abu Ishaq asy Satibi (w.1388), sesuatu kegiatan disebut bidah jika kegiatan/cara baru itu menyerupai syariat, dilaksanakan dengan motivasi ibadah kepada Tuhan, dan bukan menyangkut hal muamalah.
Jika merujuk kepada pendapat itu, tentu saja, memakai mik di masjid, berkendaraan mobil, dan hal baru lain yang tidak dilaksanakan Nabi Muhammad SAW bukanlah bidah. Karena cara-cara baru itu, tidak sama sekali terkait dengan cara-cara ritus keagamaan yang diatur syariah apalagi itu semua bukan kita anggap sebagai bagian ritual ibadah. Maulud yang dianggap sebuah tradisi lokal, bukan dianggap sebagai ritual ibadah, sepatutnya, terus dilaksanakan dan dilestarikan. Meskipun maulud pertama dirayakan sekitar 300 tahun setelah Nabi Muhammad wafat oleh Malik Muzafar Abu Said, penguasa Irbil Irak, niscaya itu niscaya bukan bidah. Wallahu’alam
Selengkapnya...

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home