Monday, July 16

SEKOLAH UNTUK JABA



Setelah usai UAN/UAS, para orang tua kembali dihadapkan persoalan pelik. Bagi orang kaya, itu tidak menjadi persoalan. Tinggal menyediakan uang beberapa juta rupiah, anak-anak kaya dengan mudah memilih sekolah yang berkualitas. Akan tetapi, anak-anak tak berada, kaum jaba harus ekstra berpikir keras mencari sekolah murah. Kualitas bagi mereka nomor dua. Jika orang kaya bangga bisa menyekolahkan anak ke sekolah favorit, mereka melihat memakai seragam saja mereka sudah merasa bangga.
Pilihan kaum jaba akhirnya kepada madrasah. Sekolah agama atau perguruan tinggi agama (PTA) akhirnya diisi oleh anak-anak yang relatif kurang beruntung secara materi di banding sekolah umum/perguruan tinggi umum. Mengapa madrasah/perguruan tinggi agama menjadi pilihan mereka? Pertama, madrasah/PTA dianggap sebagai tempat yang dapat membawa anak mereka ke sorga. Di madrasah/PTA, anak-anak belajar agama sambil belajar ilmu umum sehingga mereka mengetahui larangan/suruhan Tuhan sehingga dapat terhindar dari perbuatan-perbuatan dosa. Itu, menurut mereka, tidak akan diperoleh di sekolah umum/perguruan tinggi umum. Sekolah dimanapun sekarang sangat sulit mencari kerja. Karenanya, kalau sama-sama menganggur lebih baik sekolah agama ada pengetahuan agama. Itu dapat dipakai untuk diri sendiri. Kira-kira begitulah pandangan golongan ini.
Kedua, biaya pendidikan di madrasah/PTA relatif lebih murah daripada sekolah umum/perguruan tinggi umum (PTU). Di akui atau tidak madrasah/PTA adalah tempat pendidikan yang murah. Di saat sekolah umum/PTU memungut ratusan ribu rupiah, madrasah/PTA masih takut memungut biaya dari para peserta didiknya. Menaikkan biaya sepuluh ribu saja harus mempertimbangkan ribuan hal dalam sejuta perspektif. Ada pertimbangan lain yang harus mereka pikirkan.
Meskipun demikian, memilih madrasah/PTA tetaplah pilihan yang sulit. Sementara yang lain lebih memilih menyuruh anak mereka bekerja menjadi buruh, pemulung, pencuri, atau menjadi peminta-minta di lampu merah. Kalau sudah demikian, mungkin, penguasa yang tidak bisa menyediakan pendidikan yang murah mendapat dosa. Apalagi di saat yang sama, para pagustian itu sedang menghabiskan uang rakyat untuk kepentingan pribadi.
Pemerintah sangat tegas ketika berhadapan dengan kaum jaba. UAN sebagai syarat kelulusan tetap sebagai syarat kelulusan diacungi jempol. Itu dengan berbagai argumen tentunya. Perdebatan tentang UAN biarlah kita lewatkan dalam tulisan ini karena bukan momentnya lagi. Sayangnya, pemerintah tidak bisa tegas dalam menetapkan standar fasilitas pendidikan, kesejahteraan guru, dan semua yang memudahkan orang bersekolah. Orang-orang kaya dan pintar bisa dengan mudah bicara pendidikan penting untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia. Begitulah kira-kira pandangan kaum hartawan (pagustian) di banua ini.
Bisa dipastikan, tidak ada seorangpun pagustian di tanah ini yang berkata pendidikan tidak penting. Akan tetapi, dalam praktiknya, pagustian tidak punya kepedulian yang nyata bagi pendidikan. Berapa sumbangan mereka untuk pendidikan? Fasilitas apa yang bisa disediakan untuk pendidikan? Samakah kesempatan bersekolah jaba dan pagustian di tanah ini? Itulah pertanyaan yang mesti dijawab.
Jika pagustian hanya manis dibibir saja bila bicara pendidikan, kaum jaba akhirnya hanya bisa pasrah. Tak mengherankan jika seorang siswa jaba tak peduli dengan pendidikannya. Tidak sekolah bukan persoalan baginya meskipun mereka menyadari sekolah penting. Bisa berhitung dan membaca cukuplah sudah. Bagaimana mereka bisa sekolah jika perut lapar. Rasanya belum ada pemerintah kabupaten/kota yang mengerahkan sekuat tenaga membantu anak miskin agar bisa sekolah. Akan tetapi, bandingkan dengan gebyar STQ/MTQ/Pekan Olahraga. Milyaran rupiah dikeluarkan untuk kegiatan gemerlap itu.
Di sekolah-sekolah favorit yang nota bene mahal itu, memang ada orang miskin tetapi hanya beberapa orang. Mereka hanya dijadikan sebagai tameng agar sekolah dinilai terbuka bagi semua kalangan. Akhirnya, orang-orang pintar di negeri ini adalah anak-anak orang kaya. Memang ada beberapa anak dari kaum jaba yang pintar tetapi itu hasil kerja keras mereka sendiri. Beasiswa sekolah dan pemerintah hanya diberikan setelah mereka juara sehingga seolah itu adalah hasil kerja keras sekolah dan pemerintah.
Sebenarnya, kerja keras pemerintah meningkatkan kualitas pendidikan tak bisa dianggap remeh dan pemerintah tidak menutup mata tentang persoalan pendidikan ini. Departemen Pendidikan Nasional telah menetapkan tiga pilar utama pembangunan pendidikan: peningkatan pemerataan dan perluasan akses, peningkatan mutu, relevansi, dan daya saing, serta peningkatan tata kelola (good governance), akuntabilitas, dan citra publik. Oleh karenanya, rakyat negeri ini bisa tersenyum lega. Angka partisipasi kasar dalam pendidikan meningkat dari tahun ke tahun, siswa yang putus sekolah pun menunjukkan kecenderungan menurun. Bantuan operasional telah mampu membebaskan 70,7 persen anak miskin dari pungutan operasional sekolah, menurunkan angka putus sekolah, serta peningkatan kesejahteraan guru.
Sayangnya, sekali lagi, sekolah-sekolah bagus bertaraf nasional bahkan internasional hanya untuk orang-orang kaya. Urang jaba selalu kebagian sekolah seadanya. Di sinilah perlu kepedulian pemerintah provinsi/kabupaten/kota untuk mendampingi dana yang dikeluarkan pemerintah pusat melalui BOS. Anehnya, sekali lagi, pagustian dan saudagar di tanah Banjar ini lebih menyukai membantu klub sepak bola puluhan juta rupiah, menaikan haji para ulama, membeli mobil milyaran rupiah, melaksanakan pertandingan sepak bola dan kegiatan lain menghabiskan uang mereka. Kalau pun ada kepedulian terhadap pendidikan, tampaknya, itu terkait erat dengan kepentingan politik mereka. Sekolah mana yang punya dampak politis terbesar itulah yang mendapat bantuan dengan bendera merah, kuning, hijau, dan bendera politik lain. Padahal, jika mereka mau sedikit saja menyumbang untuk mendampingi BOS setiap saat, punya dampak politik atau tidak, niscaya, jaba dan pagustian mendapat kesempatan yang sama memperoleh pendidikan berkualitas. Itu hanya keinginan.
Selengkapnya...

1 Comments:

At November 13, 2008 at 6:22 AM , Anonymous Anonymous said...

Ya yang namanya bid'ah adalah segala sesuatu yang baru, diadakan sesudah masa nabi. Bid'ah tidak ada yang dilarang asal sejalan dengan Qur'an, tidak menentang Qur'an.

Untuk mengikuti sunnah kadang-kadang kita dianjurkan membuat bid'ah. Contohnya yang sederhana, nabi mensunnahkan gosok gigi. Untuk melakukan sunnah ini, kita boleh, bahkan dianjurkan menciptakan bid'ah, yaitu menggunakan media sikat untuk gosok gigi, bukan kayu sebagaimana yang dipakai oleh Nabi dan sahabtnya dulu.

Jadi membuat bid'ah di sini hukumnya sunnah, karena dilakukan dalam rangka mengikuti sunnah.
he he he

 

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home