Wednesday, October 12

MEMBANJARKAN BANJAR

Setiap tahun di tanggal 24 September selalu dijadikan momen penting untuk kembali menghidupkan ruh dan semangat budaya Banjar. Tanggal itu tidak hanya sebagai hari jadi Banjarmasin, tetapi juga dalam konteks yang lebih luas lagi, banua Banjar. Menghidupkan kembali “Banjar” merupakan entri point memunculkan identitas masyarakat yang dikenal dalam wilayah yang lebih luas.

Banjar di skala nasional hanya identik dengan pasar terapung sehingga seorang teman bertanya, “ada nggak jalan di sana”. Barangkali, dalam pikiran mereka, Banjarmasin masih menggunakan sungai sebagai alat transportasi darat, karena pasar ada yang di atas perahu. Saya pun menjawab, “mobil-mobil mewah berharga milyaran di tempat kami lebih banyak berkeliaran daripada di sini, di Bandung”.
Komentar tersebut, paling tidak itu menggambarkan bahwa Banjar (Kalimantan Selatan) tidak begitu di kenal di level nasional. Beberapa waktu lalu di Bandung Indah Plaza dilaksanakan pameran berbagai foto yang mempresentasikan Kalimantan Selatan. Pameran yang dilaksanakan komunitas penggemar fotografi tersebut patut diacungi jempol. Ajang itu paling tidak telah membuka mata publik tentang pesona alam Kalimantan Selatan dan akan menarik mereka untuk berkunjung ke Kalimantan Selatan. Hal itu tentu saja harus dibarengi oleh itikad semua pihak untuk menghidupkan tradisi Banjar di tengah masyarakat. Hemat saya, menghidupkan tradisi Banjar bukan berarti harus kembali ke zaman pemerintahan kerajaan, tetapi cukuplah memunculkan kembali penanda-penanda budaya Banjar.
Masalahnya, menjadi Banjar tidak menjadi sesuatu yang membanggakan bagi sebagian orang. Perhatikanlah pembicaraan di pusat perbelanjaan atau di pusat keramaian lain. Hampir semua orang lebih memilih menggunakan kata “mbak” dan “mas” untuk memanggil orang lain yang tidak dikenalnya, misalnya pembeli dan penjual. Padahal sudah jelas pembeli dan penjualnya adalah orang Banjar. Di bank-bank serta lembaga lain demikian juga. Para costumer service juga lebih menyukai berbahasa Indonesia meskipun nasabahnya urang Banjar. Anehnya, mereka menggunakan bahasa Banjar ketika berbicara dengan koleganya. Di bulan Ramadhan, media-media lokal : radio, televisi, dan cetak, juga ikut-ikut menggunakan istilah “ngabuburit” daripada frase yang asli banjar misalnya “malandungakan ari” atau “mahadang buka”. Ketika mendengar atau membaca istilah itu, perut saya tiba terasa digelitik. Khotbah Jumat demikian juga. Hampir dapat dipastikan, dimanapun di Kalimantan Selatan ini, bahkan dipelosok terdalam sekalipun, khotbah Jumat tetap menggunakan bahasa Indonesia. Hal itu berbeda dengan di pulau Jawa. Mereka bisa saja menggunakan bahasa daerah, jika di daerah pinggiran kota atau pedesaan. Bagi saya, untuk apa menggunakan bahasa Indonesia kalau lawan bicara kita atau pendengar adalah orang Banjar.
Di sisi lain, pelestarian bangunan-bangunan kuno oleh pemerintah patut pula diacungi jempol. Bangunan-bangunan di tepi sungai dapat menjadi landmark kota yang berpotensi menambah pemasukkan bagi daerah. Sayangnya itu tidak dibarengi dengan perhatian masyarakat terhadap tempat ibadah tua. Sudah banyak langgar, mushala, masjid di pelosok banua yang dirubuhkan untuk diganti dengan bangunan masjid baru. Tidak ada upaya untuk merenovasi atau mempertahankan tempat ibadah tersebut sebagai warisan (heritage) masa lalu.
Penanda-penanda Banjar tidak terbatas kepada hal-hal besar tetapi juga hal yang dianggap sepele. Pemerintah harus mendorong hotel-hotel di Banjarmasin, terutama, untuk menjadikan wadai-wadai Banjar sebagai bagian dari sajian untuk tamu-tamu mereka. Selain itu, instrumen musik panting live, seperti yang dilakukan sebuah hotel di Banjarmasin, dapat dijadikan musik selamat datang di lobi. Demikian juga di rumah makan, seperti yang telah dilakukan sebuah warung soto di Banjarmasin. Hal itu akan berdampak positif bagi para seniman musik panting dan musik panting itu sendiri. Jika semua hotel besar di Banjarmasin menggunakan musik panting sebagai suguhan selamat datang, seniman musik panting akan mendapat keuntungan finansial dan keuntungan lain yang tidak bersifat materi.
Mempertahan Pasar Terapung
Sementara itu, Pasar Terapung sebagai ikon penting Banjar nyaris tergusur oleh pasar-pasar di darat yang mengekspansi sampai ke daerah pinggiran sungai. Hal itu tidak terlepas dari perkembangan pembangunan fasilitas jalan darat yang semakin baik. Oleh karena itulah, konsekuensi pembangunan tersebut tidak dapat dihindari. Riset kami di tahun 2008 menunjukkan bahwa Pasar Terapung mengalami kemunduran yang signifikan adalah sejak runtuhnya kerajaan perusahaan kayu di pinggiran Barito sekitar tahun 1997-an. Sejak itulah, penghasilan pedagang menurun drastis. Para karyawan perusahaan kayu yang merupakan langganan mereka sangat jauh berkurang. Mau tidak mau para pedagang mencari mata pencaharian lain yang lebih baik. Ketika musim tanam dan panen, mereka lebih memilih menjadi buruh tani di sekitar tamban, tabunganen, dan aluh-aluh. Oleh karena itulah, pada musim tanam/panen, jumlah pedagang di pasar terapung sangat sedikit, lebih sedikit daripada wisatawan.
Melihat itu, rekayasa menghidupkan kembali Pasar Terapung tidak cukup dengan berbagai bantuan dan insentif untuk para pedagang. Sektor yang jadi pemicu berkembangnya transaksi di pasar terapung juga harus dicermati. Saya yakin, industri/pabrik/perusahaan di sekitar sungai Barito (seberang Trisakti) akan memberikan dampak bagi tumbuhnya dan berkembangnya pasar Terapung. Perkara itu menjadi sulit, karena melibatkan banyak instansi pemerintah dan banyak pihak serta membutuhkan investasi yang sangat besar. Alternatif kedua adalah membangun pusat keramaian/toko2 yang menghadap ke sungai yang hanya bisa dicapai dengan transportasi sungai seperti halnya di Thailand. Itu akan mendorong aktifnya kembali transportasi sungai dan pedagang di sekitar toko-toko tersebut. Tentu saja, harga yang ditawarkan harus bersaing dengan harga di pasar darat. Rekayasa semacam itu akan berdampak jangka panjang dibandingkan dengan memberi perahu dan insentif jangka pendek untuk pedagang.
Menghidupkan kembali penanda Banjar tersebut membutuhkan kerja semua pihak, pemerintah, pengusaha, dan terutama masyarakat luas. Pertanyaannya adalah maukah kita tetap menjadi Banjar? Atau jangan-jangan kita lebih memilih menjadi “orang lain”?
Selengkapnya...

2 Comments:

At November 7, 2011 at 6:25 PM , Blogger Qurthobi said...

beilang ke blog ulun pak lah http://qurthobi.wordpress.com/

 
At October 18, 2014 at 12:03 PM , Blogger BENUAPKR said...

YUK JOIN SITUS POKER ONLINE AMAN DAN TERPERCAYA WWW.ROYALFLUSH99.COM

 

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home