Monday, July 16

QOU VADIS NU KALSEL



Sebagai anak kampung, saya hidup dalam keberagamaan “urang bahari” (orang terdahulu). Ketika saya pergi ke kota untuk menuntut ilmu, nasihat penting yang selalu disampaikan orang tua adalah ikutilah “urang bahari”. Term urang bahari itu kurang lebih sama dengan kaum tuha (baca NU). Orang kampung, seperti orang tua saya, dan saya ketika itu tidak memahami apa itu Nahdlatul Ulama (NU), namun secara tradisi mengikuti corak NU. Gambaran itu, mungkin, dapat mewakili mayoritas penganut Islam di tanah Banjar ini.
Belakangan, saya banyak bergaul dengan kalangan Ormas lain, Muhammadiyah, Al Washliyah, dan Al Irsyad, juga orang-orang yang mengaku tidak ikut kemana-mana. Dari situlah, NU menjadi menarik untuk dibincangkan dan disandingkan dengan Ormas Islam lain. Kadang-kadang dibumbui anekdot, saling sindir, debat, tetapi tetap dibarengi senda gurau. Menyenangkan tanpa saling menyalahkan. Itulah mungkin keberagamaan yang dikehendaki Tuhan. Ketika di hadapan Tuhan, anggota NU, Muhammadiyah, Al Washliyah, dan organisasi Islam lain, sama-sama pantas mendapat surga.
Ketertarikan kepada NU semakin bertambah karena dalam peta politik Kalimantan Selatan NU berada dalam posisi penting. Hal itu dibuktikan dengan kemenangan Rudy Arifin dalam Pilkada Kalsel. Konon, itu merupakan kemenangan tokoh NU struktural pertama dalam perebutan kursi gubernur di Indonesia. Itu menandakan bahwa budaya politik di banua ini menggunakan traditional-religio-political-system (sistem politik tradisional berlandaskan keagamaan).
Oleh karena itulah, NU menjadi selalu menarik untuk ditarik-tarik ke wilayah politik yang selalu berujung dengan syahwat kekuasaan. NU memang memiliki modal besar, yakni keberadaan sistem teologi yang mengakar ke relung tradisi. Hanya saja, seberapa kuat religiopolitik semacam itu ketika berhadapan kondisi masyarakat yang sudah memiliki rasionalitas politik. Potensi besar NU kemudian dimasukkan dalam logika pasar, dengan determinisme kualitas menjadi kuantitas. Sah-sah saja para aktor politik itu memanfaatkan apapun demi keberhasilan agenda politiknya, termasuk politisasi agama (taudzif al-din fi al-siyasah). Dalam masyarakat Indonesia, di mana posisi agama masih menjadi faktor penting, memisahkan agama dari politik merupakan kemustahilan.
Padahal, secara hakiki, NU merupakan organisasi keagamaan (jam’iyyah diniyyah) yang tentunya berorientasi pada pendidikan dan dakwah. Dalam Qanun Asasi li Jam’iyyati Nahdlatul Ulama, K.H Hasyim Asy’ari menegaskan posisi NU yang berdiri di “tengah” (tawasuth) sebagai penjaga tradisi keagamaan masyarakat lokal dari ancaman gerakan puritanisme Islam. Fungsi utama NU bukanlah pada ranah politik, tapi pada pengembangan rekayasa sosial-kemasyarakatan melalui pendidikan dan dakwah.
Menariknya dunia politik di mata Nahdliyyin, mungkin, karena mereka beranggapan bahwa hanya dengan masuk dunia politik (baca: partai) NU bisa berjaya. Mereka lupa bahwa NU pernah mengalami masa kejayaan di luar politik praktis, yakni ketika sebagai jam’iyyah diniyyah, NU mampu melindungi tradisionalisme Islam dari praktik puritanisasi (1926). Di samping itu, NU juga turut berkontribusi besar dalam kemerdekaan Indonesia serta menjadi kekuatan pertama yang menerima Pancasila sebagai asas tunggal. Bahkan selama Orba, NU menjelma sebagai kekuatan civil society yang ditakuti negara karena oposisi kulturalnya (1984-1998).
Sesuatu yang suci dan sakral bagi NU adalah tugas dakwah, menegakkan nilai-nilai agama, serta pengabdian terhadap pemberdayaan masyarakat. Tugas inilah yang melatarbelakangi pendirian organisasi (jam’iyyah) di atas bangunan kultur-massa (jama’ah). Penyelewengan fungsi jam’iyyah sebagai penggerak civil society, pada agenda politisasi juga disebabkan oleh “doktrin” Islam sebagai din wa siyasah (agama dan politik).
Karena doktrin itulah, mungkin, mendorong ulama-ulama NU terjun ke poltik. Mereka yang memilih sebagai politisi selain harus tahan mental - bahkan "tebal muka" - juga harus siap ditelanjangi masyarakat yang dulu mencium tangannya. Karena itu, jika syarat-syarat tersebut tak dipenuhi sebaiknya tak usah menjadi politisi. Alhasil, ulama yang terjun ke politik harus tahan banting dan siap dicampakkan. Seperti kata KH. Hasyim Muzadi, NU berpolitik akan bahaya. Resiko berikutnya, ia tentu akan sulit menjaga muru'ah, baik dalam perspektif keulamaan maupun agama. Meski demikian ia akan mendapat reward yang lain. Ia akan mengalami transformasi ekonomi luar biasa. Lihat saja ulama yang aktif di politik atau hanya sekedar menjadi juru kampanye. Hanya dalam sekejap, gaya hidup mereka langsung gemerlap. Mobilnya mewah dan keluaran terbaru. Begitu juga rumahnya, bagai istana.
Itu berbeda jika para ulama NU memilih sebagai ulama kultural. Secara ekonomi, mereka kultural tak bisa berkembang drastis seperti ulama politik. Malah bisa jadi ia tak punya mobil. Hidupnya bersahaya, kemana-mana jalan kaki dan sepeda motor. Ini memang resiko dari sebuah pilihan. Secara ekonomi dan popularitas ia lamban beranjak.
Meski demikian ia bisa menjaga muru'ah. Ia bahkan akan semakin dihormati dan disegani. Apalagi kini populasi ulama makin berkurang akibat banyak yang hengkang menjadi politisi. Ulama murni eksistensinya semakin sentral terutama dalam mendidik dan mengayomi masyarakat.
Hanya saja sikap zuhud ini menuntut keteguhan iman luar biasa. Siapa yang tak ingin melihat ulama fulan tiba-tiba pakai mobil keluaran terbaru Apalagi, bila ia menduduki posisi strategis dalam partai atau dewan . Praktis, ia akan menjadi raja di raja yang penuh pesona.
Demikianlah, pilihan menjadi ulama kultural sangat berat dan harus tahan godaan. Namun di balik kesederhanaannya tentu semakin mengundang simpati masyarakat. Bahkan bisa jadi Tuhan akan semakin memberi maqam tinggi, baik dalam arti sosial maupun ketakwaan. Buktinya, kini banyak sekali masyarakat kota bingung dan ingin mencari penyayoman spriritual ulama. Namun begitu ditunjukkan kepada ulama fulan mereka tak mau karena dianggap telah terkontaminasi politik. Mereka ingin mencari kiai yang sufi, bersih hati, tak terlibat politik dan konflik. Itulah mungkin yang di inginkan KH. Hasyim Asyari dan tentu juga KH. Supian dan K.H. Sarbaini Haira. Selamat bekerja.
Selengkapnya...

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home