Monday, July 16

AGAMA : IMAN DAN RASIONAL

Beberapa waktu lalu, tersiar kabar bahwa Rasulullah SAW yang telah wafat ribuan tahun lalu telah datang ke sebuah rumah nun jauh di sana dan jejak itu meninggalkan bau harum semerbak. Cerita itu pun menyebar dan sebagaimana kebiasaan selalu dibumbui dengan cerita lain. Sebagai seorang muslim yang lahir dari keluarga muslim, tentu, saja mayoritas urang Banjar percaya keberadaan Nabi Muhammad SAW dan itu salah satu dari rukun iman. Berdosakah tidak mempercayai itu?
Dalam kehidupan beragama kita, kerap ada hal-hal yang sebenarnya bukan ajaran agama (Islam) diharuskan bagi kita untuk mempercayainya. Berdosalah bila tidak percaya itu. Meskipun tidak rasional, bila disampaikan oleh ulama sebagai kebenaran akan berpengaruh dan dianggap bukti sebuah kekuasaan Tuhan. Pengajian yang dihadiri banyak umat Islam di sebuah masjid tiap minggu selalu menghadirkan ulama yang sangat pandai bercerita, lucu, dan pula menasihati umatnya. Tema pengajian tentang fikih, tasawuf, serta tauhid saja sangat baik untuk peneguh iman, tidak akan menjadi sorotan tulisan ini. Memang sudah menjadi keyakinan umat Islam, ceramah yang berisi ilmu atau nasihat dari para ulama harus diterima sebagai penambah keimanan.
Namun, di antara ceramah kegamaan itu beliau menjelaskan suatu hal yang mengejutkan. Memang, hal tersebut merupakan pengetahuan yang berada di luar ilmu agama, yakni masalah janin dalam kandungan ibu. Dalam salah satu ceramah tadi beliau menjelaskan bahwa Imam Syafii adalah seorang yang sangat alim tidak dapat disaingi oleh orang pintar zaman sekarang. Bahkan saking alimnya, menurut beliau, Syafii mengarang kitab Al Umm di dalam kandungan ibunya. Oleh karena itu, Syafii janganlah dikritik.
Sebagai seorang yang pernah belajar biologi di sekolah setingkat SMA, saya jadi masygul dan khawatir juga. Bagaimana jadinya apabila penjelasan yang salah itu dipahami sebagai kebenaran masyarakat awam? Apalagi yang memberikan penjelasan itu seorang yang sangat berpengaruh?
Hal itu sangat menyedihkan jika pengetahuan yang salah tersebut sudah dianggap sebagai kebenaran umum di kalangan umat yang cukup luas. Dan tentu saja hal ini tidak boleh dibiarkan. Karena pengetahuan yang “salah” dan tidak rasional bukan hanya memalukan melainkan juga menyesatkan. Adalah benar dalam agama ada persoalan yang tidak rasional tetapi apakah dua hal itu merupakan ajaran agama yang bersumber dari Alquran dan hadits atau sekedar pelajaran sejarah yang salah kaprah?
Dulu pada tahun 1970-an, seperti diceritakan Ahmad Thohari, Jakarta geger setelah diberitakan ada bayi dalam kandungan sudah bisa membaca Alquran dengan bagusnya. Si ibu yang bernana Cut Sahara Fona mendadak menjadi sangat terkenal. Banyak tokoh Islam merasa takjub, membaca tasbih, dan menganggap hal itu merupakan keajaiban yang luar biasa. Memang, bayi dalam kandungan itu jadi sangat terkenal dengan sebutan bayi ajaib. Demikian besar kepercayaan masyarakam umum sampai-sampai beberapa ulama kelas satu di Indonesia ikut yakin. Juga Mantan perdana menteri Malaysia Tengku Abdul Rahman Putra. Banyak orang menempelkan telinga ke perut Cut Sahara Fona demi mendengarkan suara si bayi ajaib yang sedang melantunkan ayat suci.
Tapi apa nyatanya? Bayi ajaib yang bisa membaca Alquran ketika masih dalam rahim ibunya adalah bohong bin dusta belaka. Cut Sahara Fona menipu masyarakat termasuk para ulama. Suara bayi membaca Alquran ternyata hanya sebuah rekayasa. Cut Sahara meletakkan pemutar kaset (yang waktu itu masih langka) di selangkangannya. Putarannya dipercepat sehingga mirip suara anak kecil. Foto rontgen yang menunjukkan ada bayi diperutnya adalah foto rontgen kandungan yang telah keguguran. Cut Sahara masuk penjara. Tapi pelajaran apa yang dapat kita peroleh?
Bagi kita, apalagi ulama yang sering berbicara dihadapan umum dan mengaku banyak pengikut, perlu untuk sedikit melapangkan dada membaca pengetahuan umum setidaknya dalam tingkat dasar. Cut Sahara tidak akan bisa melakukan penipuannya bila masyarakat, terutama ulamanya, punya pengetahuan umum tingkat dasar tentang bayi dalam kandungan. Dia, bayi itu, belum bernafas karena oksigen yang dibutuhkannya masih dipasok oleh ibunya melalui tali pusar, demikian juga makanannya. Kalau bayi belum bernafas, bagaimana dia bisa ngaji apalagi bisa menulis kitab? Jangankan untuk mengarang kitab, untuk bersuara saja dia belum bisa.
Namun rasanya tidak mudah mengubah situasi ini. Karena tingkat pengetahuan umum masyarakat belum memadai. Lagi pula ucapan tokoh agama sudah dianggap sebagai kebenaran. Jadi, mungkinkah orang seperti saya yang tidak pernah duduk di bangku pesantren akan dipercaya oleh masyarakat ketika dia mencoba meralat atau menyalahkan sesuatu yang diucapkan oleh ulama? Mungkin, contoh kasus bayi ngaji di dalam perut ibunya sudah cukup jadi pelajaran. Bahwa ada yang perlu penjelasan rasional dan ada pula yang hanya perlu diimani.
Selengkapnya...

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home