Monday, July 16

UNTUK PEREMPUAN BIASA
(Catatan Hari Kartini, 21 April 2007)

Raden Ayu Kartini (1876-1904) boleh wafat diusia yang sedang mekar, 25 tahun, tetapi semangatnya tetap hidup sampai sekarang. Kartini ibarat bunga yang sudah mulai mekar tetapi patah digugurkan angin yang keras. Kartini wafat empat hari setelah melahirkan anak pertamanya. Tragis, seorang perempuan harus meninggal disaat berjuang dalam kodrat perempuan. Ia meninggal sebagai seorang ibu. Dalam lagu yang saya hapal sejak taman kanak-kanak, Kartini dipanggil sebagai “ibu kita Kartini”, bukan sang pejuang atau pelopor. Rupanya “ketuaan” adalah perlambang sesuatu yang baik. Menurut Goenawan Mohamad, dia bukan lagi sebagai sesuatu yang progresif tetapi sebagai pengayom yang konservatif. Tak mengherankan Hari Kartini adalah hari perempuan berpakaian kebaya dan bersanggul atau pakaian adat bukan berpakaian pilot atau dokter.
Sebagai istri muda seorang Bupati, Kartini terperangkap dalam sebuah sistem maskulin yang dianggap adiluhung ketika itu. Sampai usia 12 tahun, Kartini diperbolehkan bersekolah di ELS (Europese Lagere School). Di sini antara lain Kartini belajar bahasa Belanda. Tetapi setelah usia 12 tahun, ia harus tinggal di rumah karena sudah bisa dipingit. Ketakmampuan Kartini melepas belenggu adat Jawa tampak pada saat mau dikawinkan dengan Bupati Rembang, Raden Adipati Joyodiningrat, yang sudah pernah memiliki tiga istri. Kartini menikah pada tanggal 12 November 1903. Pada pertengahan tahun 1903 saat berusia sekitar 24 tahun, niatan untuk melanjutkan studi menjadi guru di Betawi pun pupus. Dalam sebuah surat kepada Nyonya Abendanon, Kartini mengungkap tidak berniat lagi karena ia sudah akan menikah. "...Singkat dan pendek saja, bahwa saya tiada hendak mempergunakan kesempatan itu lagi, karena saya sudah akan kawin..." Padahal saat itu pihak departemen pengajaran Belanda sudah membuka pintu kesempatan bagi Kartini dan Rukmini untuk belajar di Betawi.
Dalam suratnya yang belakangan (1911) diterbitkan penjajah Belanda berjudul Door Duisternis tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang), Kartini juga mempertanyakan tentang agama yang dijadikan pembenaran bagi kaum laki-laki untuk berpoligami. Bagi Kartini, lengkap sudah penderitaan perempuan Jawa yang dunianya hanya sebatas tembok rumah dan "tersedia" untuk dimadu pula. Gugatan-gugatan Kartini ditampilkan untuk menggambarkan kekritisannya sebagai perempuan Jawa.
Kritik-kritiknya kepada tradisi Jawa itulah yang tertuang dalam surat-suratnya itulah kemudian menjadikannya sebagai seorang pahlawan nasional. Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No.108 Tahun 1964, tanggal 2 Mei 1964, yang menetapkan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional sekaligus menetapkan hari lahir Kartini, tanggal 21 April, untuk diperingati setiap tahun sebagai hari besar yang kemudian dikenal sebagai Hari Kartini.
Kebenaran surat-surat Kartini kepada teman korespondensinya di Belanda, Mr. J.H. Abendanon dan isterinya. Ada dugaan J.H. Abendanon, Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan saat itu, merekayasa surat-surat Kartini. Kecurigaan ini timbul karena memang buku Kartini terbit saat pemerintahan kolonial Belanda menjalankan politik etis di Hindia Belanda, dan Abendanon termasuk yang berkepentingan dan mendukung politik etis. Hingga saat ini pun sebagian besar naskah asli surat tak diketahui keberadaannya. Menurut almarhum Sulastin Sutrisno, jejak keturunan J.H. Abendanon pun sukar untuk dilacak Pemerintah Belanda.
Selain itu, penetapan tanggal kelahiran Kartini sebagai hari besar juga agak diperdebatkan. Mengapa tidak dirayakan pada Hari Ibu saja tanggal 22 Desember? Perayaan Hari Kartini mencerminkan pilih kasih dengan pahlawan-pahlawan wanita Indonesia lainnya, karena masih ada pahlawan wanita lain yang tidak kalah hebat dengan Kartini. Cut Nya Din, --patut juga disebut--Aluh Idut, Laksmana Keumalahayati, Nyi Ageng Serang, Martha Cristina Tiahahu, dan pahlawan wanita lain yang berjuang menyabung nyawa melawan penjajah tidak pernah dirayakan hari lahirnya. Padahal, beberapa pahlawan perempuan itu wafat di ujung senjata penjajah sedangkan Kartini hidup nyaman dalam rumah besar dan “mewah” tanpa takut ancaman bedil penjajah. Menurut yang berpendapat semacam itu, perjuangan Kartini itu hanyalah di Jepara dan Rembang saja. Pendek kata, menurut mereka, Kartini adalah pahlawan untuk kaum bangsawan Jawa saja.
Dapat dikatakan Kartini terus hidup dalam sejarah bangsa kita berkat prakarsa seorang pendukung politik etis, Menteri (Direktur) Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda,Mr JH Abendanon, yang pada 1911 (tujuh tahun sesudah wafatnya RA Kartini), menerbitkan surat-suratnya. Perlu direnungkan bagaimana nasib memorabilia Kartini, andaikata keluarga Abendanon tidak mengadopsi Kartini sebagai anak angkat rohani mereka, andaikata Abendanon tidak menerbitkan surat-surat Kartini, andaikata Abendanon bukan Direktur Dikbud dan andaikata kemudian tidak didirikan “Sekolah Kartini”. Tanpa pengaruh tuan menteri itu, mustahil, Kartini bisa disanjung seperti sekarang.
Terlepas dari perdebatan itu, semangat emansipasi yang digulirkan Kartini telah menuai hasilnya. Gubernur, Menteri, bahkan Presiden pun pernah dijabat oleh kaum perempuan. Kesetaraan itu rupanya telah menghancurkan belenggu-belenggu nilai yang selama ini dipegang teguh oleh masyarakat. Di kalangan artis atau seniman perempuan memamerkan anak yang lahir tanpa ayah merupakan hal biasa saja. Sibuk bekerja tetapi anak-anak tidak dipedulikan. Seperti lagu Rhoma Irama, begitukah yang disebut emansipasi?
Semangat emansipasi dan kesetaraan tergambar pula dalam tulisan Ayu Utami “hanya lelaki yang boleh menghampiri perempuan. Perempuan yang mengejar-ngejar lelaki pastilah sundal. Perempuan akan memberikan tubuhnya pada lelaki yang pantas, dan lelaki itu akan menghidupinya dengan hartanya. Itu dinamakan perkawinan. Kelak, ketika dewasa, aku menganggapnya persundalan yang hipokrit. (Utami, 1998). Akhirnya Ayu Utami pun tidak mengakui adanya institusi bernama pernikahan.
Melihat itu tiba-tiba saya rindu dengan perempuan biasa yang tetap tersenyum menerima hak dan kewajibannya sebagai perempuan. Cut Nya Din dan pahlawan perempuan lain tidak pernah peduli dengan kesetaraan, emansipasi atau apapun namanya, tetapi mereka tetap menyabung nyawa melawan penjajah. Menuntut hak adalah penting tetapi seiring dengan pemenuhan kewajiban. Mereka saling melengkapi dengan lelaki karena lelaki tak bisa hidup tanpa perempuan. Perempuan tak lengkap tanpa lelaki. Itulah perempuan biasa.
Selengkapnya...

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home