Monday, July 16

KAMI TAK PERLU KUBURAN
(Catatan Memperingati Proklamasi 17 Mei 1949)


Hari ini, 17 Mei 2007 Kandangan kembali menjadi logos (tempat) terpenting dalam perjuangan melawan penjajah di Tanah Banjar. Upacara pun digelar untuk mengenang pahlawan, para veteran diundang untuk menghormati mereka. Ritual rutin itu kadang diikuti oleh kegiatan berjalan kaki menelusuri rute perjalanan perjuangan. Bahkan, diiringi pula oleh pemberian ”bingkisan” untuk para pejuang. Setelah itu, para mantan pejuang itupun kembali hidup dalam dunia nyata, tanpa perhatian dari penguasa menunggu bingkisan di tahun depan.
Tahun ini, para pejuang mendapat hadiah besar: kuburan pahlawan. Itulah salah satu pertanda penghargaan terpenting penguasa kepada pahlawan. Pentingkah kuburan pahlawan itu? Bagi orang-orang yang menyukai simbol tentu saja kuburan yang megah adalah sebuah penghargaan maha penting. Biarlah orang yang sudah wafat bahagia di sisi Tuhan tanpa menjadi beban yang masih hidup. Mereka wafat meninggalkan pesan, bukan meninggalkan beban bagi yang hidup. Bagi urang Padang Batung, kuburan itu barangkali sebuah ”kebanggaan” karena kuburan pahlawan terletak di kampung mereka. Namun, tanpa disadari, kuburan, pemakaman, atau apapun namanya, kuburan pahlawan sekalipun, selalu menjadikan wilayah itu kehilangan daya saing. Harga tanah murah dan orang-orang enggan melakukan kegiatan ekonomi di sekitarnya. Paling-paling orang berkumpul hanya terjadi sekali atau dua kali dalam setahun di dekat kuburan.
Begitulah, Urang Padang Batung dan daerah pinggiran lain jangan berharap mendapat rumah sakit besar atau fasilitas publik lain di bangun di kampung mereka. Padahal, itu semua dapat memutar roda ekonomi rakyat. Pagustian ternyata lebih menyukai membangun fasilitas publik atau proyek besar di kota bukan menyebar ke pelosok. Jangankan itu, petani karet di Padang Batung saja masih mencari bibit ke Paringin (Balangan) dan ke Rantau. Pengembangbiakan duku Padang Batung pun dilakukan tanpa bantuan maksimal penguasa. Namun, di mana-mana di negeri ini, setiap kerja keras kaum jaba berhasil, pagustian pun kemudian tampil seolah itu adalah kerja keras mereka.
Saya yakin, Hasan Basry, Aberani Sulaiman, Hasnan Basuki, dan pejuang lain sama sekali tidak menginginkan kuburan yang megah atau tanda jasa lain yang sebatas simbol belaka. Apa artinya kemerdekaan dari penjajah jika hidup rakyat masih serba susah. Mereka ingin rakyat Banjar bebas dari penderitaan, kemiskinan, dan kebodohan.Itulah yang diinginkan pejuang urang Kandangan dulu dan pejuang lain di tanah Banjar ini.
Terlepas dari hal ituu, paling tidak ada dua hal penting dalam proklamasi itu. Pertama, Urang Banjar adalah komunitas yang setia kepada Proklamasi 17 Agustus 1945 Republik Indonesia. Proklamasi semacam Proklamasi 17 Mei satu-satunya terjadi di Indonesia. Para pejuang dengan ikhlas mempertaruhkan nyawa dan tidak ada sedikitpun niat untuk mendirikan negara baru. Kalimantan Selatan adalah bagian yang tak terpisahkan dari Indonesia yang berusia tidak lebih dari lima tahun ketika itu. Hassan Basry tokoh penting perjuangan di Kalimantan mendapat perlakuan yang tidak selayaknya hanya karena sikap politiknya berbeda dengan penguasa orde baru. Mantan bawahannya, Aberani Sulaiman, dalam struktur ketentaraan, belakangan diangkat jadi Gubernur Kalimantan Selatan, sedangkan beliau tak mendapat apa-apa selain di sekolahkan ke Mesir. Sebuah kebijakan yang sangat bertolak belakang dengan Hassan Basry yang tentara.
Bagi Hassan Basry, itu tidak menjadi persoalan karena dia berjuang tanpa menginginkan imbalan. Akan tetapi, bagi pejuang lain itu adalah persoalan. Bayangkan, setelah dulu berjuang mengorbankan nyawa dengan ikhlas tanpa membayangkan imbalan, begitu selesai tiba-tiba datang orang lain yang tidak tahu apa-apa datang memperoleh hasil. Sementara, diri yang mulai menua hanya bisa menggigit jari. Sehari, seminggu, sebulan kekecewaan bisa ditutupi, tetapi polah ”kaum pendatang” itu akhirnya menyulut emosi.
Akhirnya, ”gerombolan” Ibnu Hajar, seorang pejuang yang kecewa, memberontak kepada ”Jakarta”. Salah satu cerita yang saya ingat tentang pemberontakan itu, ketika gerombolan menyergap pasukan Mobrig (sekarang : Brimob) yang kebanyakan dari pulau Jawa. Peristiwa itu terjadi di Gunung Kumpah sekitar enam kilometer dari Desa Mawangi, Padang Batung. Konon, hanya satu orang anggota Mobrig itu yang selamat. Namun, pemberontakan yang pada awalnya merupakan presentasi atas kekecewaan terhadap kebijakan Jakarta itu dinodai oleh prilaku anggota gerombolan liar. Beberapa orang yang mengaku anggota gerombolan melakukan pembunuhan, perampokan, atau hanya sekedar minta jatah makan kepada penduduk. Bahkan, mereka juga menculik gadis-gadis kampung yang diinginkan.
Di Desa Pagat Batu kecamatan Padang Batung misalnya, seorang tua yang telah berumur tujuh puluhan tahun dibunuh karena gerombolan itu menginginkan anak gadisnya. Dari rumah nenek saya di kaki gunung Batu Bini, malam itu terdengar teriakan minta tolong dari rumah Pa Sarah (ayah Sarah) korban kekejian gerombolan. Selesai membunuh, salah seorang anggota gerombolan, yang juga tinggal tidak jauh dari rumah nenek, berteriak, ”jangan dilaporkan, awas bila ada yang melaporkan”. Nenek saya yang bersembunyi di kolong rumah tidak sadar berteriak, ”ayuha! (iya), tidak akan dilaporkan”. Sayangnya, beberapa anggota gerombolan itu kini mendapat gaji sebagai seorang pejuang. Tragis.
Gerombolan itu akhirnya bisa ditumpas dengan tipu muslihat berkat bantuan adik Ibnu Hadjar, Dardi. Sampai sekarang, keberadaan beliau masih tak jelas. Itulah penghargaan bagi pejuang Banjar. Ibnu Hajar mungkin mati dipenjara atau diujung senjata tentara. Tragis, pejuang yang dulu gagah berani menghadapi penjajah harus mati ditangan penguasa di Jawa yang dulu dengan setia dibelanya.
Dari dulu sampai sekarang, rakyat, selama ini dijadikan sebagai ”tumbal” dari pembangunan negara. Di mana-mana, masyarakat diminta untuk berkorban demi kepentingan perjuangan dan pembangunan. Dulu harta dan nyawa dikorbankan untuk negara, sekarang tanah rakyat dibeli murah, membayar pajak ini dan itu untuk pembangunan. Akan tetapi, hasilnya tidaklah dinikmati oleh mereka. Rakyat membayar pajak, kemudian dibuatkan jalan untuk para pengusaha, kawan penguasa, tanpa peduli kepentingan rakyat banyak. Padahal negara, pemerintah provinsi, kabupaten/kota hadir untuk kesejahteraan hidup rakyat bukan menjadi benalu bagi rakyatnya.
Kedua, membaca tentang perjuangan dulu saya bangga, tetapi hari-hari ini saya kerap merasa kehilangan kebanggaan sebagai urang Kandangan. Di bidang apapun Kandangan kotaku manis, selalu kalah bersaing. Perlombaan mengaji (MTQ), olah raga, atau perlombaan lain selalu kalah dengan daerah lain. Bahkan, dalam penelitian seorang mahasiswa fakultas Syariah IAIN Antasari menyebutkan bahwa perempuan Kandangan termasuk salah perempuan yang tidak populer untuk diambil sebagai menantu oleh orang tua di Martapura. Alasannya mereka melihat, mungkin dari kasus keluarga mereka yang menikah dengan perempuan Kandangan, perempuan Kandangan, mereka anggap adalah perempuan yang tidak taat kepada suami. Hasil penelitian itu, mungkin, tidak perlu ditanggapi serius dan jangan dianggap sebagai kesimpulan. Saya merasa bangga hanya ketika kawan-kawan saya, Arjuna Singakarsa, menjadi juara Bagarakan Sahur dan Kejuaraan Musik Panting tak berselang lama.
Apa yang salah dengan Kandangan? Padahal Kandangan berada di posisi strategis pertengahan Kalimantan Selatan. Biarlah persoalan itu dipikirkan oleh Tuan Bupati dan orang-orang yang ingin menjadi Bupati. Atau jangan-jangan urang Kandangan telah kehilangan keikhlasan dalam berjuang. Tidak seperti Hassan Basry yang berjuang dengan penuh keikhlasan, kaum pagustian (penguasa dan kroninya) dan jaba (rakyat jelata) selalu mengukur segala hal dengan materi. Proyek-proyek ”dirancang” agar menguntungkan. Tanah kuburan dibeli oleh saudagar, kawan pagustian, dengan harga murah seolah disitu tidak akan dibangun kuburan pahlawan. Tak berselang lama, pagustian pun membeli tanah itu dengan harga lebih mahal dengan uang rakyatnya tentunya. Itulah perselingkuhan yang boleh jadi menyebabkan pembangunan di tanah Banjar ini tak dibarakahi Tuhan walaupun tuan guru menjadi sahabat baik para pagustian.
Hari ini, proklamasi itu kembali dibacakan. Entah, dalam gelak tawa atau sedu sedan tangis veteran pejuang. Jika Hassan Basry dan kawan-kawan masih hidup, mungkin, dia gembira dan mungkin pula dia sedih melihat tanah Banjar sekarang. Dia mungkin gembira melihat penghormatan orang-orang dalam upacara hari ini. Akan tetapi, melihat kerusakan lingkungan, korupsi, dan ketakbecusan lain, mereka niscaya lebih bersedih dan memilih untuk kembali menutup mata selama-lamanya.
Selengkapnya...

1 Comments:

At July 20, 2007 at 9:04 PM , Blogger Nasrullah said...

bamamai banar pinanya guru nih.

 

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home