Monday, October 17

KERAMAHAN PALSU (PSEUDO HOSPITALITY)

Jika Ayu Ting Ting masih bingung gara-gara alamat palsu, para pejabat/orang kaya pun sering mendapat sesuatu yang palsu.

Hampir dalam sepanjang hidup mereka, kepalsuan terus menghampiri. Ketika ke bank, mereka diterima dengan senyum termanis costumer service karena tahu ini adalah nasabah kakap. Berkunjung ke kolega, disambut dengan penghormatan karena dia yakin itu akan berdampak bagi bisnisnya. Naik pesawat kelas eksekutif, pramugari tersenyum dan siap melayani. Ke dokter, dilayani dengan dokter yang super ramah. Pada detik itu, beda kepalsuan dengan keramahan yang lahir dari hati tidak bisa dibedakan.
Diam-diam, orang biasa dan jelata lebih beruntung. Mereka tidak disuguhi oleh sandiwara orang-orang bermuka dua, baik diluar, busuk didalam. Sepintas menyakitkan. Pelayan bermuka judes dan pemarah atau dokter yang tak bersahabat karena pasien "Jamkes". Akan tetapi, pada sisi lain mereka bisa melihat apa yang sebenarnya. Bahwa indah diluar, tak pasti indah di dalam.
Selengkapnya...

Friday, October 14

HD vs scooter

Pada tingkatan tertentu, alat transportasi telah berubah fungsi menjadi simbol. Jika kita perhatikan rombongan pengguna moge Harley Davidson yang konvoi dan dikawal oleh vojrider, pada saat itulah sepeda motor telah berubah menjadi simbol status, bukan lagi alat transportasi.

Puluhan HD yang berharga mahal itu,dan saya jamin tidak semua orang bisa membeli, melaju dan dikawal oleh polisi dengan sirene meraung-meraung. Itu pertanda bahwa Moge tersebut berkaitan dengan siapa yang mengendarainya. Mereka ingin menunjukkan bahwa mereka memiliki hak istimewa di jalan publik. Maaf kami pengen lewat, yang lain harap minggir. Itulah kira-kira makna dari sirene pengawal. Pada saat yang sama dipresentasikan bahwa orang kaya, pemiliki Moge tersebut, mendapat hak istimewa di negara ini. Hak istimewa untuk orang berduit itulah yang memunculkan apatis publik terhadap penegakkan hukum dan bisa menjadi pemicu konflik ditengah masyarakat. Kata Rendra, "kita adalah rumput kering", mudah terbakar.
Itulah saya jauh lebih menghormati kawan-kawan klub scooter yang tidak menggunakan pengawalan. Scoter mungkin harganya jauh lebih murah daripada HD, tetapi nilai kebersamaan mereka disaat touring jauh lebih mahal daripada para penggemar HD yang selalu dikawal dan dibekali banyak uang.

Selengkapnya...

Wednesday, October 12

LANTING (BAMBOO RAFTING)

Pesona apakah yang dapat dijadikan ikon Kalimantan Selatan, di percaturan parawisata global? Tidak bisa terus berharap pada Pasar Terapung saja. Dari hari ke hari Pasar Terapung semakin tertekan oleh hadirnya pasar-pasar di darat seiring terbukanya akses jalan darat. Tanpa usaha rekayasa, lambat laun, Pasar Terapung akan semakin sepi. Penjualnya berkurang dan pembelinya tidak ada lagi. Pada masa tertentu, tampak, wisatawan lebih banyak daripada penjual/pembeli di Pasar di muara sungai Alalak tersebut.
Pada kondisi demikian, Loksado lah yang menjadi harapan Kalimantan Selatan di tengah percaturan wisata global. Alam dan masyarakat asli menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan mancanegara. Balai adat (long house) yang berjumlah sekitar 43 buah dapat menjadi point penting tujuan wisata. Perlu diingat bahwa wisatawan mancanegara juga sangat menyukai “berjalan kaki” (hiking) di alam yang masih asli. Beberapa bule yang ke Kalimantan Selatan ternyata mengenal Loksado sebagai surganya hiking.

Belakangan arung jeram dengan lanting (bamboo rafting) juga menjadi primadona wisata di Loksado. Ini mungkin satu-satunya di Indonesia, bahkan di dunia. Sebelum tahun 1990-an, lanting digunakan masyarakat Loksado dan desa sepanjang sungai Amandit untuk mengangkut hasil bumi: karet dan kayu manis ke Kandangan. Tidak hanya mengangkut kayu manis dan karet, lanting yang terbuat dari bambu berkualitas tinggi itupun menjadi komoditas bernilai ekonomi di Kandangan. Tidak mengherankan, pada waktu itu, banyak lanting yang memilir sungai Amandit menuju Kandangan. Lama kelamaan, tempat berkumpulnya lanting tersebut di Kandangan dinamakan kampung “Palantingan”.
Kini balanting menjadi sebuah objek wisata yang cukup memacu adrenalin. Setiap melalui riam (jeram) yang besar lanting akan tenggelam meluncur di dalam air beberapa saat , kemudian kembali ke permukaan. Lanting tidak terbalik, penumpang akan basah tetapi tetap sehat wal afiat. Selain tidak terbalik, bambu lanting digaransi tidak akan lepas bercerai berai, kecuali, tukang tanjak (joki) tidak berpengalaman.
Metode pembuatan lanting diwarisi dari nenek moyang penduduk Loksado sehingga lanting tidak akan hancur meskipun menabrak batu yang besar.
Lanting dibuat dari sekitar tujuh belas batang bambu yang sudah tua. Batang bambu itu disusun dan disatukan dengan sebuah bambu yang lebih kecil sebesar lampu neon. Bambu tersebut dinamakan “panggar”. Pada setiap lanting jumlah panggar berbeda-beda, tergantung panjang lanting. Paling tidak jumlah panggar tiga buah, semakin panjang lanting semakin banyak pula panggar dipasang.
Bambu-bambu itu diikat ke panggar dengan tali yang mereka buat dari kulit bambu muda. Mengikat bambu ke panggar disebut dengan istilah “manyirap”. Proses manyirap merupakan proses penting dalam pembuatan lanting. Ikatan yang tidak kuat akan menyebabkan lanting mudah hancur dan membuat penumpang basah kuyup, bahkan bisa gegar otar karena tercebur kena batu besar. Meskipun, manyirap dilakukan dengan baik dan benar, lanting bisa saja hancur, jika dikemudikan oleh orang yang tidak berpengalaman. Lanting hancur bukan karena ikatannya lepas, tetapi karena tali bambu putus atau panggar lepas akibat terlalu sering menabrak batu besar.
Lanting yang sudah diberi panggar kemudian diberi bangkilas atau pambahuan. Pada tiap sisi, kiri dan kanan, bangkilas terdiri dari dua buah bambu yang tidak jauh berbeda dengan batang bambu yang lain. Pada bagian depan, bangkilas juga diikat (manyirap) pada dua buah panggar. Sementara di bagian belakang tidak perlu diikat pada panggar. Bangkilas pada bagian buritan bisa berayun-ayun karena tidak diikat ke panggar. Bangkilas inilah yang berfungsi menjadi peredam benturan dengan batu sehingga lanting tidak mudah hancur.
Bangkilas kiri dan kanan diikat dengan sebuah tali bambu yang disebut dengan “sumawi”. Sumawi dibuat pada beberapa bagian bisa mencapai empat buah tergantung panjang lanting. Sumawi dibuat agar bambu bangkilas tidak terpisah dari bambu lain yang diikat ke panggar. Dengan metode pembuatan semacam itulah, pada masa lalu, lanting loksado bisa mencapai Banjarmasin melewati banyak cabang sungai.
Mengemudikan lanting tidak dengan pengayuh seperti layaknya perahu karet atau jukung. Mengendalikan lanting cukup dengan sebilah bambu berukuran sekitar dua setengah meter, sebesar genggaman orang dewasa. Alat untuk pengendali itu dinamakan pananjak. Pada kondisi arus sangat deras, pengemudi (joki) dapat terangkat diatas pananjak karena harus merubah arah lanting agar tidak tertabrak batu atau kayu besar. Ahhh.... eksotis.
Perubahan tidak bisa ditahan dihalangi. Pada pertengahan 1990-an, lanting sudah mulai jarang dimilirkan ke Kandangan. Hasil bumi sudah diangkut dengan mobil dan bambu pun sudah bisa diangkut dengan mobil truk. Meskipun demikian, lanting tetaplah menjadi pesona yang terlalu sulit untuk tidak dirasakan.
Selengkapnya...

MEMBANJARKAN BANJAR

Setiap tahun di tanggal 24 September selalu dijadikan momen penting untuk kembali menghidupkan ruh dan semangat budaya Banjar. Tanggal itu tidak hanya sebagai hari jadi Banjarmasin, tetapi juga dalam konteks yang lebih luas lagi, banua Banjar. Menghidupkan kembali “Banjar” merupakan entri point memunculkan identitas masyarakat yang dikenal dalam wilayah yang lebih luas.

Banjar di skala nasional hanya identik dengan pasar terapung sehingga seorang teman bertanya, “ada nggak jalan di sana”. Barangkali, dalam pikiran mereka, Banjarmasin masih menggunakan sungai sebagai alat transportasi darat, karena pasar ada yang di atas perahu. Saya pun menjawab, “mobil-mobil mewah berharga milyaran di tempat kami lebih banyak berkeliaran daripada di sini, di Bandung”.
Komentar tersebut, paling tidak itu menggambarkan bahwa Banjar (Kalimantan Selatan) tidak begitu di kenal di level nasional. Beberapa waktu lalu di Bandung Indah Plaza dilaksanakan pameran berbagai foto yang mempresentasikan Kalimantan Selatan. Pameran yang dilaksanakan komunitas penggemar fotografi tersebut patut diacungi jempol. Ajang itu paling tidak telah membuka mata publik tentang pesona alam Kalimantan Selatan dan akan menarik mereka untuk berkunjung ke Kalimantan Selatan. Hal itu tentu saja harus dibarengi oleh itikad semua pihak untuk menghidupkan tradisi Banjar di tengah masyarakat. Hemat saya, menghidupkan tradisi Banjar bukan berarti harus kembali ke zaman pemerintahan kerajaan, tetapi cukuplah memunculkan kembali penanda-penanda budaya Banjar.
Masalahnya, menjadi Banjar tidak menjadi sesuatu yang membanggakan bagi sebagian orang. Perhatikanlah pembicaraan di pusat perbelanjaan atau di pusat keramaian lain. Hampir semua orang lebih memilih menggunakan kata “mbak” dan “mas” untuk memanggil orang lain yang tidak dikenalnya, misalnya pembeli dan penjual. Padahal sudah jelas pembeli dan penjualnya adalah orang Banjar. Di bank-bank serta lembaga lain demikian juga. Para costumer service juga lebih menyukai berbahasa Indonesia meskipun nasabahnya urang Banjar. Anehnya, mereka menggunakan bahasa Banjar ketika berbicara dengan koleganya. Di bulan Ramadhan, media-media lokal : radio, televisi, dan cetak, juga ikut-ikut menggunakan istilah “ngabuburit” daripada frase yang asli banjar misalnya “malandungakan ari” atau “mahadang buka”. Ketika mendengar atau membaca istilah itu, perut saya tiba terasa digelitik. Khotbah Jumat demikian juga. Hampir dapat dipastikan, dimanapun di Kalimantan Selatan ini, bahkan dipelosok terdalam sekalipun, khotbah Jumat tetap menggunakan bahasa Indonesia. Hal itu berbeda dengan di pulau Jawa. Mereka bisa saja menggunakan bahasa daerah, jika di daerah pinggiran kota atau pedesaan. Bagi saya, untuk apa menggunakan bahasa Indonesia kalau lawan bicara kita atau pendengar adalah orang Banjar.
Di sisi lain, pelestarian bangunan-bangunan kuno oleh pemerintah patut pula diacungi jempol. Bangunan-bangunan di tepi sungai dapat menjadi landmark kota yang berpotensi menambah pemasukkan bagi daerah. Sayangnya itu tidak dibarengi dengan perhatian masyarakat terhadap tempat ibadah tua. Sudah banyak langgar, mushala, masjid di pelosok banua yang dirubuhkan untuk diganti dengan bangunan masjid baru. Tidak ada upaya untuk merenovasi atau mempertahankan tempat ibadah tersebut sebagai warisan (heritage) masa lalu.
Penanda-penanda Banjar tidak terbatas kepada hal-hal besar tetapi juga hal yang dianggap sepele. Pemerintah harus mendorong hotel-hotel di Banjarmasin, terutama, untuk menjadikan wadai-wadai Banjar sebagai bagian dari sajian untuk tamu-tamu mereka. Selain itu, instrumen musik panting live, seperti yang dilakukan sebuah hotel di Banjarmasin, dapat dijadikan musik selamat datang di lobi. Demikian juga di rumah makan, seperti yang telah dilakukan sebuah warung soto di Banjarmasin. Hal itu akan berdampak positif bagi para seniman musik panting dan musik panting itu sendiri. Jika semua hotel besar di Banjarmasin menggunakan musik panting sebagai suguhan selamat datang, seniman musik panting akan mendapat keuntungan finansial dan keuntungan lain yang tidak bersifat materi.
Mempertahan Pasar Terapung
Sementara itu, Pasar Terapung sebagai ikon penting Banjar nyaris tergusur oleh pasar-pasar di darat yang mengekspansi sampai ke daerah pinggiran sungai. Hal itu tidak terlepas dari perkembangan pembangunan fasilitas jalan darat yang semakin baik. Oleh karena itulah, konsekuensi pembangunan tersebut tidak dapat dihindari. Riset kami di tahun 2008 menunjukkan bahwa Pasar Terapung mengalami kemunduran yang signifikan adalah sejak runtuhnya kerajaan perusahaan kayu di pinggiran Barito sekitar tahun 1997-an. Sejak itulah, penghasilan pedagang menurun drastis. Para karyawan perusahaan kayu yang merupakan langganan mereka sangat jauh berkurang. Mau tidak mau para pedagang mencari mata pencaharian lain yang lebih baik. Ketika musim tanam dan panen, mereka lebih memilih menjadi buruh tani di sekitar tamban, tabunganen, dan aluh-aluh. Oleh karena itulah, pada musim tanam/panen, jumlah pedagang di pasar terapung sangat sedikit, lebih sedikit daripada wisatawan.
Melihat itu, rekayasa menghidupkan kembali Pasar Terapung tidak cukup dengan berbagai bantuan dan insentif untuk para pedagang. Sektor yang jadi pemicu berkembangnya transaksi di pasar terapung juga harus dicermati. Saya yakin, industri/pabrik/perusahaan di sekitar sungai Barito (seberang Trisakti) akan memberikan dampak bagi tumbuhnya dan berkembangnya pasar Terapung. Perkara itu menjadi sulit, karena melibatkan banyak instansi pemerintah dan banyak pihak serta membutuhkan investasi yang sangat besar. Alternatif kedua adalah membangun pusat keramaian/toko2 yang menghadap ke sungai yang hanya bisa dicapai dengan transportasi sungai seperti halnya di Thailand. Itu akan mendorong aktifnya kembali transportasi sungai dan pedagang di sekitar toko-toko tersebut. Tentu saja, harga yang ditawarkan harus bersaing dengan harga di pasar darat. Rekayasa semacam itu akan berdampak jangka panjang dibandingkan dengan memberi perahu dan insentif jangka pendek untuk pedagang.
Menghidupkan kembali penanda Banjar tersebut membutuhkan kerja semua pihak, pemerintah, pengusaha, dan terutama masyarakat luas. Pertanyaannya adalah maukah kita tetap menjadi Banjar? Atau jangan-jangan kita lebih memilih menjadi “orang lain”?
Selengkapnya...

Tuesday, November 10

LIHAN=SKEMA PONZI DI TANAH BANJAR?

Masih ingatkah tentang penipuan voucher pulsa sebuah provider telpon seluler beberapa tahun yang lalu? Atau kasus penipuan investasi yang melibatkan oknom staf sebuah bank di kota ini? Atau gonjang ganjing investasi pada bisnis yang dikelola Lihan? Terulangnya kasus investasi tersebut menunjukkan bahwa pada dasarnya masyarakat punya semangat berusaha yang sangat besar. Semangat untuk mendapatkan keuntungan besar tanpa bekerja, hanya menyerahkan uang, kemudian mendapat bagi hasil yang besar itulah justru menjadi kelemahan. Begitu banyak urang Banjar menjadi korban penipuan berkedok investasi dan berulang-ulang. Mungkin itulah yang disebut Mochtar Lubis, mental menerabas, ingin cepat kaya tapi tidak mau bekerja keras, ingin punya jabatan tapi tidak menunjukkan prestasi.

Penipuan berkedok investasi dikenal dengan skema Ponzi. Nama Ponzi diambil dari seorang penipu ulung bernama Charles Ponzi yang tinggal di Boston, AS. Ponzi mendirikan 'The Security Exchange Company' pada 26 Desember 1919, yang menjanjikan investasi dengan balas jasa 40% dalam 90 hari. Padahal kala itu bunga bank pada saat itu hanya 5% per tahun. Tidak sampai satu tahun, diperkirakan sekitar 40,000 orang mempercayakan sekitar US$ 15 juta atau sekarang senilai US$ 140 juta dalam perusahaannya.
Ternyata keuntungan yang dibayar oleh Ponzi kepada investor adalah hasil tambal sulam, alias dari investor lain yang baru bergabung. Pada pertengahan Agustus 1920, audit oleh pemerintah terhadap usaha Ponzi menemukan bahwa Ponzi sudah bangkrut. Total aset yang dimilikinya sekitar US$ 1,6 juta, jauh di bawah nilai utangnya kepada investor.
Skema penipuan ini juga sering terjadi di Indonesia. Ada sebuah perusahaan menjanjikan keuntungan besar, namun sebenarnya keuntungan itu dibayar dengan dana yang masuk dari anggota baru. Bukan dari bisnis yang dijalankan dari modal para investor. Tidak pernah ada investasi riil.Kasus besar yang pernah terjadi di Indonesia adalah penipuan PT Qurnia Subur Alam Raya atau QSAR yang menggelapkan dana nasabah melalui investasi agribisnisnya.
Kasus terbaru dan paling menghebohkan adalah penipuan yang dilakukan oleh investor kawakan Wall Street, Bernard Madoff. Sejak tahun 1991, Madoff menggunakan dana dari investor baru untuk membayar bunga investor lama. Nilainya terus bertumpuk-tumpuk hingga mencapai US$ 50 miliar. Jumlah itu hampir setara dengan cadangan devisa Indonesia US$ 50,180 miliar. Penipuan Madoff baru terungkap setelah para investor menarik dananya sehubungan dengan krisis finansial. Disitu baru diketahui bahwa Madoff sudah kehabisan dana. Akhirnya, Maddof si Raja Tipu itu divonis penjara Pengadilan New York selama 150 tahun penjara. Hukuman itu mungkin tidak akan mengembalikan uang investor yang hilang, tetapi paling tidak dapat memberikan pelajaran kepada semua orang tentang penipuan investasi. Di Indonesia?
Pada artikel-artikel tentang investasi dijelaskan dengan sederhana cara mengidentifikasi penipuan berkedok investasi tersebut. Pertama, hati-hati apabila the offer sounds too good to be true. Penawaran investasi yang memberikan keuntungan yang sangat tinggi melebihi kelaziman pasar dalam waktu singkat, kemungkinan besar penawaran tersebut memang hanyalah “janji-janji surga”.
Kedua, taktik penjualan yang memaksa (high pressure sales tactics). Jangan langsung termakan bujuk rayu penjual yang memaksa Anda untuk membuat keputusan saat itu juga, sekalipun penjual itu adalah orang yang Anda kenal baik sejak lama. Hati-hati pula dengan penggunaan term “menolong” sesama agar juga menikmati hasil yang tinggi. Pada beberapa kasus para pengumpul investasi itu akan mengatakan kalau tidak mau ikut tidak apa-apa, ketika calon investor menanyakan bagaimana bisa bisnis itu bisa untung besar.
Ketiga, perusahaan investasi maupun basis investasinya (underlying investment) tidak jelas. Perusahaan investasi tipuan biasanya akan menunjukkan profil perusahaan yang tampak profesional atau berlimpah aset dan segala hal yang menumbuhkan kepercayaan dengan harapan dapat meyakinkan akan kredibilitas mereka. Namun, akan ditemukan banyak kejanggalan, jika diteliti lebih jauh. Kejanggalan itu antara lain ketidakjelasan manajemen pengurus, kinerja investasi, maupun laporan keuangan bisnis yang lengkap dan sudah diaudit.
Keempat, ketiadaan izin penawaran investasi dari lembaga pengawas. Bank Indonesia bertindak sebagai regulator perbankan, sedangkan Bapepam-LK bertindak sebagai regulator lembaga keuangan bukan bank. Dua lembaga tersebut memiliki kewenangan untuk mengawasi investasi yang ditawarkan melalui lembaga keuangan nonbank maupun perbankan. Sayangnya, dua lembaga di atas tidak memiliki kewenangan atas produk investasi yang ditawarkan oleh lembaga nonkeuangan sehingga muncullah no man’s land yang rentan digunakan untuk penipuan berkedok investasi.
Penipuan berkedok investasi akan sangat menguntungkan yang paling pertama bergabung, karena masih banyak orang yang berminat bergabung. Akan tetapi, “investor” yang lebih belakangan terancam merugi, karena investor yang bergabung semakin sedikit bahkan tidak ada lagi. Praktik tipuan ini akan ketahuan belangnya jika terjadi dua hal. Pertama, semua investor menarik uangnya serentak serta tidak ada lagi orang yang berinvestasi. Kedua, dilakukan audit aset dan keuangan perusahaan. Dua hal tersebut menjadi dua poin penting dari usaha perlindungan terhadap masyarakat.
Terlepas dari hal tersebut, berusaha untuk menjadi kaya adalah penting dan tentu saja berisiko. Semakin tinggi keuntungan semakin tinggi pula risiko yang harus perhitungkan. Kerugian dalam bisnis akan elegan jika merupakan akumulasi dari permasalahan bisnis yang digeluti. Itu merupakan jatuh bangun seorang interpreneur sejati. Itu berbeda dengan kerugian yang berasal nafsu ingin meraih untung besar tanpa berusaha sehingga mudah ditipu-tipu. Wallahualam
Selengkapnya...

Thursday, October 8

JINGAH


Pernahkah mendengar nama pohon “Jingah”? Pohon itu sangat ditakuti., terutama oleh anak-anak, karena dia bisa membuat “kajijingahan”. Orang yang “kajijingahan” ditandai muka yang merah-merah dan bengkak. Biasanya itu terjadi setelah mereka bermain di sekitar pohon Jingah. Bila sudah “kajijingahan”, pengobatannya sangat mudah. Secarik kain kuning dililitkan di pohon Jingah penyebab kajijingahan tersebut. Biasanya, anak-anak pun di larang bermain di sekitar pohon itu. Celakanya, Jingah banyak tumbuh dipinggiran sungai yang merupakan tempat favorit anak-anak bermain. Meskipun, pohon itu berbahaya, sangat jarang orang berani menebang pohon itu.

Sekarang semua berubah. Desakan kebutuhan akan bahan baku untuk kayu bangunan pohon-pohon yang dulu dianggap angker dibabat habis. Pohon Lowa, Kapuk, Sangkuang, dan Jingah menjadi langka. Para pengusaha “kecil” tidak mempedulikan keangkeran pohon-pohon itu. Pohon apapun, asal lurus dan bisa dibentuk untuk papan, atau balok ditebang. Soal makhluk penunggu pohon, bukan persoalan. Makhluk penunggu pohon besar tidak kuasa lagi mengganggu mereka yang mengusik rumah mereka.
Penebangan pohon-pohon yang tumbuh di sekitar pemukiman penduduk itu, saya sebut hutan kampung, secara hukum sepertinya tidak melanggar. Jika dibandingkan dengan penegakan hukum terhadap para pembabat hutan, upaya mengurangi penebangan pohon di sekitar pemukiman bisa dikatakan tidak ada. Gerobak-gerobak pengangkut kayu yang ditarik sepeda motor dengan bebas melintas di jalan raya. Meskipun, kualitas papan/balok dari pohon Jingah, Lowa, Durian, Kapuk, Tarap, Sangkuang,bahkan Pohon Karet dan Rambutanpun digunakan, tidak bagus, para pengusaha kayu kampung itu tetap bernafsu membeli. Kualitas nomor sekian, yang terpenting, pohon rata dan ukurannya bisa dibuat papan atau balok terkecil.
Harus diakui, penebangan tersebut tidak berdampak begitu besar bagi lingkungan, karena pohon itu tidak tumbuh di hutan. Sehingga habisnya pohon Jingah, Sangkuang, dan pohon lain, tidak akan mengakibatkan banjir atau erosi, seperti habisnya pembalakan hutan. Oleh karena itulah, pemerintah sulit mencari alasan melarang penebangan tersebut, apalagi pohon-pohon itu tumbuh di tanah milik masyarakat.
Hal lain yang menyebabkan ketiadaan argumen adalah pohon-pohon itu kebanyakan tidak bermanfaat secara nyata. Lowa misalnya, tidak jelas manfaatnya bagi pemiliknya, selain buahnya untuk makanan Pelanduk. Demikian juga pohon Sangkuang. Buahnya yang lebih kecil dari Lengkeng dan berasa asam, tidak bisa dimakan. Memang dulu, saya dan anak-anak lain, suka memakan itu, tetapi hanya sebatas dikulum. Apabila ditelan, bijinya yang tidak bisa dicerna, bisa menyebabkan susah buang air besar. Kalaupun pohon-pohon besar itu tidak ditebang sampai detik ini, bisa diduga penyebabnya, pertama, penebang tidak berani karena “makhluk penunggu” sangat pemarah. Dan, kedua, pohonnya tidak rata.
Jika tidak berdampak yang signifikan bagi lingkungan, lantas apa dampak negatifnya bagi masyarakat. Paling tidak penebangan terhadap pohon kampung tersebut akan memiskinkan keanekaragaman hayati di lingkungan kita. Beberapa tahun kedepan, akan terjadi kemusnahan jenis-jenis tumbuhan tertentu karena penebangan. Sementara, perkembangan pohon-pohon tersebut sangat lambat, mencapai puluhan tahun. Sangkuang misalnya, untuk mencapai pohon berdiameter satu meter, lebih dari sepuluh tahun. Apalagi, pohon-pohon itu sama sekali tidak memiliki nilai ekonomis.
Oleh karena itulah, disini sangat diperlukan peran pemerintah dalam melestarikan beragam jenis tumbuhan yang semakin langka tersebut. Masyarakat tidak akan menanam pohon-pohon yang mereka sendiri tidak merasakan dampak ekonomis kepada mereka. Masyarakat akan lebih memilih menanam pohon karet daripada memilih pohon Sangkuang, atau pohon Lowa.
Di masa mendatang, daerah yang kaya beragam jenis tumbuhan akan menerima dampak positif. Pernahkah, dulu orang membayangkan Kebun Raya Bogor akan dikunjungi peneliti dan wistawan dari penjuru dunia hanya untuk melihat pohon-pohon yang tak jelas manfaatnya. Tentu saja, itu akan menjadi penanda kota yang akan mendatangkan keuntungan ekonomis yang sangat besar bagi masyarakat.
Di samping itu, perkembangan ilmu pengetahuan akan turut mendorong pengembangan medis yang bersumber dari tumbuhan. Dunia ilmu pengetahuan akan terus menggali dari sumber-sumber baru. Bukan suatu yang tidak mungkin, Lowa, Jingah dan pohon-pohon lain akan menjadi sumber dari sebuah senyawa baru untuk kepentingan medis atau lainnya yang bermanfaat. Jika Tokek bisa diteliti untuk pengembangan pengobatan dan berharga jutaan rupiah, tumbuhan tak mustahil juga akan dikejar para peneliti.
Selengkapnya...