Sunday, December 30

BAHASA POLITIK DALAM PILKADA HSS (Perspektif Strukturalisme Levi Straus)


Perkenankanlah aku mencintaimu seperti ini
tanpa kekecewaan yang berarti
harapan-harapan yang setiap kali dikecewakan kenyataan
biarlah dibayar oleh harapan-harapan baru yang menjanjikan


(A. Mustofa Bisri, Perkenankanlah Aku Mencintaimu )


Fenomena terpenting menjelang Pilkada adalah munculnya semboyan, slogan, pernyataan, istilah (term), yang disampaikan secara lisan atau tertulis. Pada dasarnya, semua itu punya tujuan menarik publik untuk mengikuti mereka. Meskipun harapan-harapan perubahan hanya berbuah kekecewaan, rakyat tetap punya harapan-harapan baru. Dengan semboyan, slogan, dan term itulah harapn-harapan baru kembali dibangun.

Sebagai gambaran berikut pernyataan-pernyataan yang sering dikatakan/ditulis menjelang Pilkada HSS untuk menjanjikan harapan baru, meskipun dulu mungkin telah dikecewakan


No

Pernyataan/term/slogan lisan atau tertulis



1

Mencintai ulama

Politik Identitas

Kekuasaan harus diraih bagaimanapun caranya

2

Term “umat” dan “umara”



3

Kami sudah buktikan

Pujian terhadap


4

Menggratiskan kesehatan mustahil, yang menggratiskan otak mereka didengkul

diri sendiri = pembelaan diri


5

Banjir adalah kiriman kabupaten lain

atas kritik


6

Hanya ingin satu periode menjadi Bupati

Pencitraan tidak haus kekuasaan
















Pernyataan-pernyataan tersebut mayoritas bersumber dari informasi-informasi yang diterima secara lisan, bukan dari dokumen-dokumen sehingga untuk mencari data tertulis menjadi hampir bisa dikatakan mustahil. Statemen-statement tersebut juga tidak hanya dilontarkan oleh seorang saja. Dengan kata lain, bersumber dari hampir semua bakal calon dalam masa tebar pesona ini. Bahkan, pernyataan itu juga dikatakan oleh ulama, yang mendukung seseorang, dalam ceramahnya.

Membaca bahasa politik diatas, meskipun tidak sepenuhnya, saya ingin menggunakan analisis strukturalisme Levi Strauss. Pada awalnya, Levi membuat analisis terhadap mitos dan dongeng. Model analisis itu digunakannya dalam membaca kisah Oedipos. Mitos atau dongeng, menurutnya, merupakan sebuah kisah atau ceritera yang lahir dari hasil imajinasi manusia, dari khayalan manusia. Meskipun demikian, unsur khayalan tersebut berasal dari apa yang ada dalam kehidupan manusia sehari-hari.

Dalam dongeng, mitos, atau cerita sering ditemukan kesamaan dan kemiripan. Menurut Levi, itu tidak merupakan sebuah kebetulan. Semua itu merupakan produk dari kreativitas, khayalan, atau nalar manusia. Oleh karenanya, kemiripan-kemiripan itu merupakan hasil dari sebuah mekanisme nalar manusia. (Heddy Shri Ahimsa Putra, 2001 : 78)

Meskipun pada awalnya, model analisis itu digunakan untuk dongeng dan mitos, bisa pula digunakan untuk membaca term-term, statement, atau pidato-pidato politik menjelang Pilkada. Karena pada intinya, titik tolak dari analisis tersebut adalah bahasa.

Dari skema di atas tergambar bahwa telah terjadi penggunaan identitas “Islam” menjelang Pilkada HSS April 2008 mendatang (Pernyataan nomor 1 dan 2). “Ulama”, “umara”, dan “umat” merupakan istilah yang sangat identik dengan Islam atau bisa juga “Arab”. Menjadi sangat “Islami” dalam tataran simbol sangat penting dalam pertarungan politik di negeri ini. Simbol itu akan semakin kuat pengaruhnya jika ditambah sedikit dengan sumbangan jilbab, baju koko, atau uang kepada majlis talim, pesantren, atau masjid. Meskipun bisa saja itu bersumber dari bukan uang pribadi. Akan tetapi, yang tampak di mata publik tetaplah kedermawanan. Berbeda dengan di Amerika Serikat yang sumbangan kepada institusi agama dilakukan dengan sembunyi-sembunyi, di sini sumbangan malah dipublikasikan sedemikian rupa. Untuk memotivasi orang lain menyumbang seperti mereka. Demikian alasannya.

Kemudian dalam pernyataan nomor 3 dan 4, tergambar sebuah pembelaan diri atas kritik orang lain terhadap ketidakberhasilan. Tampak pula muncul sikap menyalahkan pihak lain atas kegagalan memuaskan publik. Di satu sisi argumen membela diri bisa benar, namun disisi lain bisa memunculkan dugaan adanya sikap narsis dalam diri mereka. Drakula narsis merupakan metafora dari sikap serakah. Mereka menyedot emosi publik sampai tak berdaya. Theodore Millon, seperti dikutip Felix Lengkong, arogansi drakula narsis dilukiskan sebagai seorang yang lihai melanggar norma, hukum, dan aturan sosial. Hukum dan aturan hanya berlaku pada orang lain, tidak pada diri sendiri. Mereka mencari keuntungan diri sendiri. Sangat peka akan hak sendiri tanpa peduli hak orang lain. Diri dianggap penting, orang lain tiada artinya.

Drakula narsis senang membayangkan diri sebagai super dibanding orang lain. Merasa paling pintar, paling benar, dan semua hal melebihi orang lain. Seolah semuanya adalah hasil karyanya, terbaik, dan terhebat. Suka menerawang ke alam kuasa, uang, dan cinta. Tidak malu berdusta demi kebesaran diri.

Hal demikian tergambar pula dalam peryataan nomor 5. Pernyataan nomor 5 lebih ingin menggambarkan diri yang suci dan tidak haus kekuasaan. Menjadi pejabat sesungguhnya hanya pengabdian kepada masyarakat luas. Namun, itu menjadi kontradiktif dengan kondisi praktis bagaimana gerakan-gerakan yang dilakukan untuk meraih kuasa. Dengan demikian, dapat ditemukan kesenjangan antara pernyataan dengan prilaku.

Semua pernyataan-pernyataan tersebut mencerminkan sebuah mekanisme nalar politik. Sebuah paradigma ada dibenak kita bahwa identitas agama (baca: Islam) adalah cara terbaik untuk dijadikan jalan menuju kekuasaan. Tak haus kekuasaan mencerminkan sikap Islami pula yang dalam bahasa agama bisa digolongkan sebagai sikap rendah hati dan tidak serakah. Kekuasaan memang menggiurkan karena dia menawarkan uang dan penghormatan, dan kadang-kadang “wanita”. Mekanisme nalar telah tertanam bahwa untuk meraih kekuasaan, segala cara sah digunakan meskipun harus bersilat lidah, “sedikit berbohong”, memberi sedikit uang, atau menggunakan simbol-simbol agama. Semoga Tuhan tidak marah.

Selengkapnya...