Monday, May 5

ISLAM POLITI OR PRIMORDIALISME

Dalam proses Pilkada Hulu Sungai Selatan, Islam politik tampaknya dimainkan begitu besar oleh para kontestan. Apakah Islam politik yang berperan besar dalam kemenangan Tuan Safi’i dan Ardiansyah. Istilah Islam politik bisa dijelaskan melihat dua hal. Pertama, partai yang berbasis Islam atau parpol-parpol yang berbasis masyarakat Islam. Parpol-parpol Islam dan muslim itu merupakan arus utama Islam politik yang memperjuangkan kepentingan-kepentingan Islam dan muslim melalui sistem dan kerangka politik. Kedua, Islam politik bisa dilihat dari gerakan para habib, ulama, tuan guru, dan para pemilik otoritas agama (baca: Islam) dalam memainkan peran politiknya meskipun mereka tidak bergabung dalam Parpol. Mereka dengan jelas mendukung salah satu calon dan menggunakan simbol-simbol agama dalam setiap kampanye. Tampak yang sering digunakan dalam kampanye Islam politik antara lain: ceramah oleh habib, habsyi, dan menggunakan pakaian “Islam” (baju koko, kopiah, bahkan bergamis). Jika meminjam analisis antropolog Dale Eickelman dan James Piscatori dalam Muslim Politic (1996), tampak pertarungan politik HSS dan dimanapun merupakan pertarungan dan pergumulan menyangkut “penafsiran makna-makna Islam dan penguasaan atas lembaga-lembaga politik formal dan informal yang mendukung pemaknaan tersebut”. Tidak mengherankan disitu ada sebuah relasi antara para ulama dengan politisi. Ulama mendapat dukungan atas tafsiran makna Islam dan segala aspeknya sedangkan politisi mendapat keuntungan politis dari ulama serta pengikutnya. Dalam beberapa kasus, penggunaan politik identitas (Islam) tersebut berhasil mendongkrak popularitas di tingkat pedesaan. Akan tetapi, bagi masyarakat yang sedikit mau merenung tampaknya penggunaan Islam (simbol dan identitas) dapat dikatakan tidak berperan dalam pertarungan politik, terutama kasus Hulu Sungai Selatan. Keunggulan Arifin-Anwar di tujuh kecamatan menunjukkan Islam politik yang digulirkan Safii-Ardi tidak bisa dominan mempengaruhi pemilih. KUASA PRIMORDIALISME? Jika melihat peroleh suara (Senin, 29 April 2009) tampaknya keunggulan SA ditentukan sepenuhnya ikatan emosionalnya, sebagai urang Nagara, dengan tiga kecamatan: Daha Utara, Daha Selatan, dan Daha Barat. Dari situlah SA mendulang suara meskipun di kecamatan lain kalah. Dari 146.506 pemilih di HSS, 52.648 diantaranya adalah “urang Nagara” dan yang memilih pasangan SA di Nagara mencapai 33.118 pemilih (Senin, 28 April 2008). Perolehan SA di tiga kecamatan itu hanya beda tipis dengan perolehan AA diseluruh kecamatan: 34.310 suara. Tanpa dipilih oleh seorang pun di tujuh kecamatan, dengan suara di wilayah Nagara SA hanya kalah tipis. Kuatnya dukungan masyarakat Nagara kepada SA dapat dikatakan masih kuatnya ikatan primordialisme dalam Pilkada HSS. Salah satu yang menentukan pilihan adalah ikatan ”kesukuan”. Akhirnya yang terjadi adalah urang Nagara memilih urang Nagara. Untungnya, penduduk Nagara hampir separo penduduk Hulu Sungai Selatan. Mengapa urang Nagara (tiga kecamatan) merasa berbeda dengan urang kandangan (tujuh kecamatan)?Jika melihat sejarah tanah Banjar, Nagara punya hubungan yang erat dengan Nagara Daha, sebuah kerajaan penerus Negara Dipa. Negara Dipa memindah pusat kerajaan dari Amuntai ke Nagara sekarang sekitar tahun 1530 di era Pangeran Suryanata dan Junjung Buih. Kerajaan itulah yang menaklukan masyarakat di sekitar Batang Hamandit, yang sekarang mungkin wilayah tujuh kecamatan (Loksado, Padang Batung, Simpur, Sungai Raya, Kandangan, Kalumpang, dan Telaga Langsat). Dengan demikian, Nagara telah menancapkan hegemoni sejak era Negara Dipa. Oleh karena itulah, urang Nagara merasa dalam posisi yang lebih ”mulia” daripada urang Kandangan yang telah mereka jajah di masa lalu. Nagara yang berada dalam lingkaran kuasa kerajaan Negara Daha menciptakan perasaan berbeda, untuk tidak menyebut eksklusif, masyarakat Nagara dengan masyarakat Kandangan. Selain itu, secara garis keturunan, masyarakat Nagara merupakan keturunan masyarakat yang lebih beradab, masyarakat kota: Negara Dipa, dari pada masyarakat Kandangan wilayah pegunungan. Fragmentasi Nagara dan Kandangan dalam komunitas masyarakat HSS tersebut sangat jelas tergambar dalam organisasi mahasiswa di Banjarmasin dan bagamana mereka mengidentifikasi. Asrama mahasiswa selalu ada asrama HSS dan asrama Nagara. Dua asrama itu cukup menggambarkan betapa perbedaan telah diciptakan. Urang Nagara jika menjawab pertanyaan ”dari mana asal”, selalu menjawab ”Nagara”, bukan urang Kandangan. Jika melihat hal tersebut, HSS akan menjadi arena pertarungan semangat primordialisme Nagara vis a vis Kandangan beberapa tahun ke depan. Fragmentasi Nagara-Kandangan menjadi pekerjaan rumah bagi SA di era kepemimpinan yang kedua lima tahun ke depan. Pembuktian bahwa mereka memang tepat dipilih menjadi bupati bagi seluruh rakyat HSS bukan hanya Bupati Nagara. Memilih pejabat bukan karena dia urang Nagara atau tidak, pembangunan bukan karena di Nagara, dan segala Nagara dan bukan Nagara. Semua itu akan dinilai oleh masyarakat di tujuh kecamatan. Jika lima tahun ke depan yang tambah subur semangat Kandangan vis a vis Nagara, solusinya adalah ”kita manukar lamang lawan hintalu amun Nagara maulah kabupaten saurang”. Selamat Dr. H. M. Sapi’i, M.Si. dan Ardiansyah, S.Hut.
Selengkapnya...