Saturday, May 23

WAJIB BELAJAR DAN INVESTASI PENDIDIKAN

Pendidikan menempati posisi penting dalam pembangunan sebuah bangsa. Pendidikan memberikan kontribusi pemecahan terhadap persoalan yang tidak bisa dipecahkan oleh masyarakat modern. Oleh karenanya, salah satu kebijakan dasar bangsa yang progresif, harus membangun, menyediakan, dan mendukung kualitas pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan kekinian warga negaranya. (John & Edgard R.Morphet, 1975 : 2)
Oleh karena itu, dukungan finansial untuk pendidikan sebagai sebuah investasi yang ditentukan besarnya oleh benefit yang diterima negara atau pribadi. Pendidikan bagi negara akan menghasilkan benefit pertumbuhan ekonomi. Studi yang dilakukan menunjukkan bahwa hubungan antara pendidikan dan pertumbuhan ekonomi meninggi pada level terendah pendidikan, stabil pada level tengah, kemudian menurun pada level secondary dan postsecondary. (Tienken, 2008: 2)

Selain itu, pendidikan juga akan memberikan private benefit. Toth (2009) mengungkapkan pendidikan memberikan kontribusi peningkatan produktivitas tenaga kerja selama tahun 1990-an antara 19,5 sampai 2,5 %. Hal itu berdampak kepada meningkatnya penghasilan pekerja. Toth juga mengungkapkan, private return yang diterima setiap pertambahan sekolah satu tahun adalah dari 4,7 sampai 6,8%.
Gambaran singkat diatas memberikan argumen yang menunjukkan pendidikan sangat penting bagi pembangunan negara. Oleh karena itulah, kebijakan pemerintah selalu didorong untuk menempatkan pendidikan diposisi utama. Program Wajib Belajar 9 Tahun merupakan salah satu kebijakan yang mempresentasikan dukungan pemerintah terhadap pendidikan. Wajib belajar secara langsung atau tidak langsung akan berdampak kepada investasi yang harus dikeluarkan pemerintah dalam bidang pendidikan.
Oleh karena itu, menarik untuk menjawab dua pertanyaan dalam tulisan ini:
1. Apa tanggung jawab pemerintah dalam program wajib belajar?
2. Apa implikasi wajib belajar bagi investasi pendidikan?

B. Program Wajib Belajar
Hannum dan Buchman (2005), seperti dikutip Nishimoku (2007) berkeyakinan bahwa pendidikan memberikan kontribusi kepada perkembangan sosial, kesehatan, partisipasi dalam sektor ekonomi dan demokrasi. Negara-negara internasional telah menempatkan pendidikan, terutama pendidikan dasar, sebagai agenda terpenting pembangunan internasional, menghimbau negara donor untuk memeberikan bantuan agar negara penerima meningkatkan anggaran untuk pendidikan.
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (1948) mendukung adanya wajib belajar (compulsary education). Artikel 26 deklarasi tersebut menekankan bahwa “elementary education harus wajib”. Pada April 2000, 1100 orang delegasi dari 164 negara berkomitmen “Pendidikan Untuk Semua (Education For All)” pada the World Education Forum di Dakar, dengan the Dakar Framework for Action, yang bertujuan “free and compulsory education of good quality for all by 2015”. (E.G. West Centre, 2009). Lebih jauh, Dakar Framework for Action menyebutkan bahwa ada empat elemen pendidikan berkualitas
1. Media pembelajaran yang tepat mono atau multimedia
2. Kecukupan isi kurikulum secara kultural
3. Metode pembelajaran yang profesional
4. Finansial dan material yang cukup. (Nishimuka, 2007)
Wajib belajar, dengan demikian, tidak hanya menyangkut akses terhadap pendidikan dasar, tetapi pemerintah harus menjamin pendidikan yang disediakan adalah pendidikan yang berkualitas. Pendidikan yang berkualitas harus integral dengan wajib belajar. Dampaknya, wajib belajar yang tidak disertai kualitas tidak menghasilkan outcome yang positif. Lebih luas lagi, sekolah yang tidak menunjukkan hasil positif, orang tua tidak akan mengirim anaknya untuk menempuh pendidikan.
Di Indonesia, program wajib belajar tidak bisa dipisahkan dengan program pemberantasan buta huruf. Seperti ditulis Jalal dan Nina Sardjunani (2007), Sebelum Indonesia merdeka, program tersebut telah dilaksanakan dan dikenal dengan nama “Kursus ABC”. Saat itu, hanya 3% dari populasi yang terdaftar di sekolah formal. Pada tahun 1951, pemerintah merancang “Rencana Pendidikan Masyarakat 10 Tahun” yang akan memerangi buta huruf selama 10 tahun. Namun, pada tahun 1960 masih ditemukan 40% penduduk yang buta huruf. Pada tahun itu pula, Presiden memutuskan buta huruf akan tereliminasi di tahun 1964. Pada tanggal 31 Desember 1964, tulis Jalal dan Nina, diumumkan bahwa seluruh penduduk yang berusia 13-45 tahun, kecuali di Irian, telah bebas dari buta huruf. Mereka mampu menulis dan membaca kalimat-kalimat sederhana.
Akan tetapi, akses pendidikan usia 6-11 tahun masih terbatas dan angka buta huruf terus bertambah. Pada tahun 1966-1979, Indonesia mengadopsi “Melek Huruf Tradisional” (traditional literacy) dari UNESCO. Menurut metode ini, peserta diajarkan bagaimana membaca dan menulis juga keterampilan. Belakangan, metode itu dikenal sebagai “The Functional Literacy Program”. Program ini tidak untuk memberantas buta huruf sebanyak mungkin tetapi lebih kepada meningkatkan produksi kelompok peserta buta huruf. Pemerintah bekerja sama dengan perusahaan dan institusi lain yang pekerjanya masih ada buta huruf.
Pada tahun 1970-1990, Indonesia mengimplementasikan Program Paket A. Program ini diadopsi dari konsep “lingkaran spriral”. Menurut konsep “lingkaran spiral”, belajar dan mengajar diawali dengan isu kehidupan sehari-sehari pribadi, keluarga, dan masyarakat. Pada periode ini pula dicanangkan Wajib Belajar 6 Tahun. Indonesia berhasil memberantas buta huruf secara signifikan. Pada tahun 1994, Presiden RI menerima “Avicenna Award” dari UNESCO.
Sejak 1990 sampai 2000, menurut Jalal dan Nina (2007), pemerintah terfokus pada Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun. Program pemberantasan buta huruf yang dikenal dengan Program Paket A dan B menjadi penyelenggara wajib belajar jalur nonformal (PP Nomor 47 Tahun 2008 pasal 3 ayat 3).
Terlepas dari hal tersebut diatas, wajib belajar, pada hakikatnya memberikan pelayanan kepada seluruh masyarakat untuk memasuki sekolah dengan biaya murah dan terjangkau. Program Wajib Belajar dilaksanakan sejak tahun 1984 (Wajib Belajar Pendidikan Dasar 6 Tahun) kemudian setelah 10 tahun diluncurkan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun sejak 1994, melalui Instruksi presiden (Inpres) Nomor 1 tahun 1994. Wajib belajar merupakan program pendidikan minimal yang harus diikuti oleh warga negara Indonesia atas tanggung jawab Pemerintah dan pemerintah daerah. Setelah UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, terutama sebagai pelaksanaan 34 (4) pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2008.
Peraturan Pemerintah Nomor 47 Pasal 2 Tahun 2008 menjelaskan bahwa program wajib belajar berfungsi mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara Indonesia sedangkan tujuannya adalah wajib belajar bertujuan memberikan pendidikan minimal bagi warga negara Indonesia untuk dapat mengembangkan potensi dirinya agar dapat hidup mandiri di dalam masyarakat atau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Mengenai pendanaan Program Wajib Belajar, pada pasal 9 (1) PP itu menyebutkan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya program wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya. Dengan demikian, pembiayaan pendidikan setingkat pendidikan dasar yang diselenggarakan pemerintah merupakan tanggung jawab penuh pemerintah, tanpa memungut biaya dari masyarakat. Namun, pendidikan yang diselenggarakan masyarakat, pembiayaan untuk investasi lahan, sarana, dan prasarana lain merupakan tanggung jawab badan hukum penyelenggara satuan pendidikan. Terlepas dari hal tersebut, pemerintah atau pemerintah daerah wajib memberikan bantuan biaya pendidikan kepada orang tua yang tidak mampu menyekolahkan anak mereka.
Program wajib belajar, berdampak kepada meningkatkan akses terhadap pendidikan. Pada November 2008, Mendiknas mengungkapkan bahwa Angka Partisipasi Kotor (APK) SMP sudah mencapai 93,79 persen. Sementara untuk angka partisipasi murni (APM) SMP, ditargetkan pada tahun 2008 mencapai 71,83 persen. APM SMP sudah mencapai 75,33 persen, termasuk di tingkat madrasah tsanawiyah (MTs). Sedangkan untuk angka transisi, yaitu persentase anak SD yang melanjutkan ke SMP ditargetkan pada tahun 2008, mencapai 92,50 persen. Ternyata tahun ini saja, menurut Bambang, sudah mencapai 92,70 persen. Namun, angka putus sekolah masih 3, 01 persen dan ditargetkan turun pada tahun ini sudah bisa turun hingga 2,58 persen. Di samping itu, pada tahun 2004, tercatat sejumlah 15,41 juta orang buta aksara untuk usia 15 tahun ke atas atau 10,2 persen dan pada tahun 2008 angka buta huruf sudah turun menjadi 12,24 juta orang atau 7,49. Pemerintah menargetkan pada tahun 2009, angka buta huruf bisa turun menjadi 5 persen. (Ditptksd Diknas, 2008)

C. Wajib Belajar dan Investasi Pendidikan
Studi tentang investasi dalam pendidikan meyakini bahwa pendidikan merupakan sebuah proses menyiapkan human capital. Peran human capital dalam pertumbuhan ekonomi negara merupakan stimulus reformasi pendidikan di beberapa negara. (Stanley, 2007 : 91) Jika dikaitkan dengan ekonomi negara, John dan Edgard (1975 : 92) mengemukakan bahwa ekonomi sebuah negara dibangun melalui formasi modal. Investasi, tulis mereka, adalah menyediakan biaya untuk menambah modal tersebut. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa segala pengeluaraan biaya untuk pendidikan merupakan investasi pendidikan. Reformasi pendidikan tersebut antara lain kebijakan-kebijakan yang bisa mendukung proses pendidikan.
Di Indonesia, paling tidak ada peraturan perundangan yang terkait dengan investasi pendidikan pada wajib belajar, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 47 Tahun 2008, tentang Wajib Belajar, PP Nomor 48 Tahun 2008 tentang pendanaan pendidikan dan Undang-Undang (UU) Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan.
Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 tahun seperti disebutkan diatas merupakan amanat konstitusi yang dijalankan pemerintah dan tertuang dalam PP Nomor 47 Tahun 2008. Konsekuensinya, pemerintah harus menyiapkan anggaran untuk pelaksanaan program tersebut. Dalam PP tersebut pasal 10 dijelaskan bahwa pemerintah harus menyediakan dana investasi lahan, sarana, dan prasarana lain. Pada pasal 11, pemerintah dan pemerintah daerah juga menjamin tersedianya pendidik, tenaga kependidikan, dan biaya operasional setiap satuan pendidikan penyelenggara wajib belajar, dalam hal ini tingkat dasar.
Mengenai pendanaan itu, Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2008 dengan tegas menyebutkan bahwa pendanaan pendidikan tingkat dasar yang diselenggarakan pemerintah dan pemerintah daerah sepenuhnya ditanggung pemerintah. Biaya investasi lahan (pasal 7) dan investasi non lahan (pasal 10) lembaga yang diselenggarakan pemerintah menjadi tanggung jawab pemerintah dan dialokasikan dalam anggaran pemerintah.
Dengan demikian, konsekuensi logis dari wajib belajar adalah keharusan pemerintah untuk menyediakan dana untuk pendidikan tingkat dasar. Dalam istilah yang populer, pendidikan gratis ditingkat dasar. Pengertian Wajar Dikdas gratis versi pemerintah, dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), hanya mencakup biaya operasional sekolah seperti uang sekolah dan gaji guru, serta biaya investasi yang meliputi penyediaan sarana dan prasarana, pengembangan sumberdaya manusia, dan modal kerja tetap yang penggunaannya lebih dari satu tahun. (Depdiknas, 2008) Biaya transportasi siswa dari rumah ke sekolah masih dibebankan pada orangtua murid.
Pembiayaan merupakan salah satu persoalan dalam pemerataan akses pendidikan. Oleh karena itu, salah satu kebijakan strategis Departemen Pendidikan Nasional untuk pemerataan akses pendidikan adalah menghapus hambatan biaya (cost barriers) melalui pemberian bantuan operasional sekolah (BOS) bagi semua siswa pada jenjang Dikdas baik pada sekolah umum maupun madrasah yang dimiliki oleh pemerintah atau masyarakat, yang besarnya dihitung berdasarkan unit cost per siswa dikalikan dengan jumlah seluruh siswa pada jenjang tersebut. Di samping itu, dilakukan kebijakan pemberian bantuan biaya personal terutama bagi siswa yang berasal dari keluarga miskin pada jenjang Dikdas melalui pemanfaatan BOS untuk tujuan tersebut. Secara bertahap BOS akan dikembangkan menjadi dasar untuk penentuan satuan biaya pendidikan berdasarkan formula (formula-based funding) yang memperhitungkan siswa miskin maupun kaya serta tingkat kondisi ekonomi daerah setempat.
Dirjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Depdiknas, Suyanto (Depdiknas, 2008) mengungkapkan bahwa perkiraan kebutuhan biaya operasional per siswa per tahun untuk SD sebesar Rp 1.109.000, sedangkan untuk SMP sebesar Rp 1.595.000. Setiap tahun, pemerintah membutuhkan biaya Rp 29.790 triliun untuk 26.862.332 siswa SD, namun hanya mampu menyediakan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) sebesar Rp 6,823 triliun. Sedangkan untuk SMP, pemerintah membutuhkan biaya sebesar Rp 14,379 triliun bagi 9.015.069 siswa.
Sementara itu, hasil penghitungan yang dilakukan oleh pakar pendidikan dari Fakultas Ekonomi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Abbas Gazali, menunjukkan bahwa pemerintah memerlukan dana Rp 157 triliun untuk melaksanakan Wajar Dikdas 9 tahun secara gratis.
Dalam menetapkan anggaran sebesar Rp 157 triliun ini, pemerintah harus menghitung kapasitas fiskal dan kemampuan kelembagaan, baik di tingkat pusat maupun daerah, termasuk menghitung jumlah SDM yang memenuhi standar
Estimasi biaya operasional pendidik dan tenaga kependidikan untuk SD/MI sebesar Rp 38,3 triliun untuk tahun 2008 dan Rp 45,2 triliun untuk tahun 2009. Sedangkan estimasi biaya operasional pendidik dan tenaga kependidikan untuk SMP/MTs Rp 21,7 triliun untuk tahun 2008 dan Rp 26,4 triliun untuk tahun 2009. Estimasi biaya operasional bahan habis pakai dan alat aus pakai serta pemeliharaan di SD/MI sebesar Rp 14,6 triliun untuk tahun 2008 dan Rp 15,6 triliun untuk tahun 2009. Sedangkan untuk SMP sebesar Rp 7,6 triliun pada tahun 2008 dan Rp 8,4 triliun pada tahun 2009.
Selain itu, guna biaya investasi guru dan tenaga kependidikan tingkat SD/MI Rp 1,5 triliun pada tahun 2008 dan Rp 1,6 triliun pada tahun 2009. Sedangkan estimasi biaya investasi guru dan tenaga kependidikan tingkat SMP/MTs sebesar Rp 730 miliar pada tahun 2008 dan Rp 930 miliar pada tahun 2009. Estimasi biaya investasi sarana dan prasarana SD/MI sebesar Rp 21,4 triliun pada tahun 2008 dan Rp 24,9 triliun pada tahun 2009. Total dana yang diperlukan agar Wajar Dikdas bisa gratis adalah Rp 137 triliun pada tahun 2008 dan Rp 157 triliun pada tahun 2009. Dana tersebut di luar buku, transportasi, uang saku, dan seragam sekolah.
Terlepas dari belum idealnya alokasi untuk pendidikan, trend meningkatnya alokasi anggaran pendidikan dari tahun ke tahun patut dihargai. Alokasi dana yang semakin besar tersebut untuk pendidikan disemua jenjang. Akan tetapi, seperti disebutkan dalam Rencana Strategis Depdiknas 2005-2009, pendanaan biaya operasi Wajar Dikdas 9 Tahun; adalah kebijakan yang menempati urutan prioritas tertinggi.
Pada tahun 2009, pemerintah mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar Rp 207.413.531.763.000,00 yang merupakan perbandingan alokasi anggaran pendidikan terhadap total anggaran belanja negara sebesar Rp 1.037.067.338.120.000,00. (Depkeu, 2008) Tahun sebelumnya, APBN 2008, anggaran pendidikan sekitar Rp 48 triliun atau 12,3 persen dari APBN (Antara, 2007), sedangkan tahun 2007 sebesar 11,8 persen. (Suara Karya, 2007)

TABEL ALOKASI ANGGARAN PENDIDIKAN
Total Anggaran Pend BOS BOS/Siswa/Thn
TAHUN
2007 43.498.000.000.000,- (11,8%) 9.841.117.952.000,- 254.000,-(SD)
354.000,- (SMP)
2008 154.200.000.000.000,- (15,6%) 11.200.000.000.000,- 254.000,-(SD)
354.000,-(SMP)
2009 207.413.531.763.000,- (20%) 16.000.000.000.000,- 397.000.-(SD kab)
400.000,- (SD kota)
570.000,- (SMP kab)
575.000,- (SMPkota)

Sumber:
http://www.sinarharapan.co.id/berita/0701/13/nas04.html
http://www.republika.co.id/koran/35/23463/Anggaran_Pendidikan_dalam_Ancaman_Korupsi
http://www.anggaran.depkeu.go.id/web-content-list.asp?ContentId=565
http://pkln.diknas.go.id/program2008/news.php?id=2
http://www.mandikdasmen.depdiknas.go.id/situs/index.php?mod=bos&read=4

Jika dibandingkan dengan perhitungan Suyanto dan Abbas tersebut, terlihat anggaran 20% tersebut belum dapat memenuhi semua kebutuhan dana pendidikan pada semua level. Jika pendidikan dasar, dalam hal ini wajib belajar, menjadi tanggung jawab sepenuhnya pemerintah dan anggaran pendidikan secara penuh dipusatkan untuk wajib belajar yang berkualitas sebagaimana perhitungan Suyanto atau Abbas, anggaran pendidikan untuk jenjang menengah dan tinggi harus dibebankan sebagian kepada masyarakat.
Persoalan wajib belajar (compulsury education) tidak hanya menyangkut akses terhadap pendidikan, tetapi yang terpenting bagaimana pendidikan yang berkualitas dapat dinikmati oleh semua orang. Seperti telah disebut dibagian awal tulisan ini, wajib belajar sesungguhnya adalah adalah “free and compulsory education of good quality for all by 2015”. (E.G. West Centre, 2009). Lebih jauh, Dakar Framework for Action tersebut menyebutkan bahwa ada empat elemen pendidikan berkualitas
1. Media pembelajaran yang tepat mono atau multimedia
2. Kecukupan isi kurikulum secara kultural
3. Metode pembelajaran yang profesional
4. Finansial dan material yang cukup. (Nishimuka, 2007)
Pendidikan yang berkualitas dapat dilihat dari pemenuhan standar yang ditetapkan. PP Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Pendidikan Nasional bahwa pendidikan yang bermutu harus memenuhi delapan standar pendidikan:
1. standar isi;
2. standar proses;
3. standar kompetensi lulusan;
4. standar pendidik dan tenaga kependidikan;
5. standar sarana dan prasarana;
6. standar pengelolaan;
7. standar pembiayaan;dan
8. standar penilaian pendidikan.
Hal itu menunjukkan bahwa mutu pendidikan tidak hanya terkait dengan kecukupan pembiayaan. Akan tetapi, pendidikan yang bermutu juga berhubungan dengan hal lain. Dengan demikian, peningkatan kualitas pendidikan harus disertai upaya dari segala lini. Dalam konteks itu, investasi tidak hanya berapa pengeluaran berbentuk uang. Kerja keras, ketekunan, kejujuran, komitmen, serta hal lain merupakan investasi untuk keberhasilan pendidikan

PENUTUP
Wajib belajar merupakan upaya pemerintah dalam memberi kesempatan kepada semua warga negara untuk mendapat pendidikan. Implikasi kebijakan tersebut adalah kewajiban untuk mengalokasikan dan menyiapkan biaya untuk melaksanakan proses pendidikan di tingkat dasar. Akan tetapi, tuntasnya wajib belajar harus disertai pula dengan peningkatan kualitas, bukan hanya perluasan akses terhadap pendidikan ditingkat pendidikan dasar.
Oleh karena itulah, investasi pendidikan pada tingkat dasar harus ditingkatkan sehingga wajib belajar bisa diiringi dengan penyediaan pendidikan yang berkualitas.



DAFTAR PUSTAKA

Departemen Keuangan. (2008). Anggaran Pendidikan Dalam APBN 2009, (Online), tersedia http://www. anggaran.depkeu.go.id/web-print-list.asp?ContentId=565. (30 Maret 2009)
Ditptksd Diknas, (2008, 4, 11). Mendiknas Optimis Wajib Belajar 9 Tahun Tercapai Tahun 2009, (Online) tersedia http://ditptksd. go.id/index.php?option =com_content&view=article&id=61: mendiknas- optimis- wajib-belajar-9-tahun-tercapai-2009&catid=1:berita-terbaru &Itemid=1
E.G. West Centre. (2009, 12, 04). The Principle and Practice of Compulsion in Education, University of Newcastle, England, (online), tersedia http://www.ncl.ac.uk/egwest/compulsion.html. (12 April 2009)
Fasli Jalal dan Nina Sardjunani. (2007). “Increasing Literacy In Indonesia” Jurnal DVV International, Number 67/ 2007, (Online) tersedia http:// www.iiz-dvv.de/index.php?article_id=199&clang=1. (2 April 2009)
International Consultations of NGOs. (2000). “Declaration on Education for All”, Jurnal DVV International, Number 55/2000, (Online) tersedia http://www.iiz-dvv.de/index.php?article_id=642&clang=1. (2 April 2009)
Johns, L. dan Edgar L. Morphet, (1975) The Economics dan Financing of Education System Approach”, 3rd edition, Prentince Hall, Inc. Englewood Cliffs : New Jersey
Nishimoku, Mikako, (2007). Problems behind Education for All (EFA): The case of Sierra Leone, Educate~ Vol.7, No.2, 2007, (Online), tersedia http://www.educatejournal.org/index.php?journal=educate&page=article&op=view&path[]=115&path[]=141, (12 April 2009)
Stanley, Gordon, (2007). Education for Work: Current Dilema of Post Compulsory Education, The AARE Journal, Vol. 34 No.3/2007 (Online), tersedia http://www.aare.edu.au/aer/online/0703g.pdf, (18 April 2009)
Suara Karya. (2007). RUU APBN 2008 Disepakati,Anggaran Pendidikan Rendah. (Online), tersedia http://els.bappenas.go.id /upload/kliping/RUU% 20APBN% 202008.pdf. (30 Maret 2009)
Tienken, Christopher H. (2008). “Rankings of International Achievement Test Performance and Economic Strength : Correlation or Conjecture?”, International Journal of Education Policy & Leadership, April 25, Volume 3 Number 3, (Online) tersedia http:journals.sfu.ca./ijepl/index.php/ijepl/article/view/110, (2 April 2009)
Toth, Janus Sz.(2007). “Financing of Adult Learning: Result of Recent Study on Adult Education in Europe”, Jurnal DVV International, Number 68/2007, (Online) tersedia http://www.iiz-dvv.de/index.php?article_id= 175&clang=1. (2 April 2009)


Selengkapnya...

UNTUK KARTINI DI TANAH BANJAR

Untuk mereka yang membenci perempuan,
Untuk yang menghormati perempuan,
untuk yang bangga menjadi perempuan
untuk perempuan yang telah melahirkan dan menjagaku
untukmu yang telah mengisi hatiku dan menjaga bidadari kecil kita

Mengingat Kartini, bagi banyak orang, berarti perjuangan penegakkan hak perempuan. Nama Kartini sangat melegenda dan seolah menjadi mitos dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Setiap 21 April, banyak even dari tingkat TK dilaksanakan untuk mengingat “Ibu Kartini”. Gadis-gadis kecil diberi pakaian kebaya, sanggul, dan aksesoris lain ala Kartini. Padahal, Kartini tidak sendirian. Dari sudut pandang geografis dan periodisasi ada perempuan-perempuan lain yang berjuang. Dewi Sartika, Tjut Nyak Dien, Cristina Martha Tiahahu, dan pejuang wanita lain tidak bisa dilupakan begitu saja.

Perjuangan Kartini yang melegenda tergambar pada surat-suratnya yang dikirim kepada keluarga JH. Abandanon dan sahabatnya di Belanda. Surat-surat itu atas prakarsa pemerintah Belanda diterbitkan dan diberi judul Habis Gelap Terbitlah Terang. Secara garis besar, surat-surat tersebut mengkritik kultur yang menempatkan perempuan lebih rendah daripada pria. Perempuan menurut Kartini, harus pula mendapatkan pendidikan yang layak, seperti halnya lelaki. Banyak kritik tentang kesahihan surat-surat itu. Ada keraguan surat-surat itu berasal dari Kartini. Jangan-jangan hanya rekayasa Abandanon yang memiliki kepentingan politik etis Belanda. Hal itu pernah pula saya cermati diharian ini beberapa waktu yang lalu. Ahh..biarlah itu menjadi perdebatan ahli sejarah.
Tanpa mengabaikan Kartini, yang perannya dalam perjuangan diperdebatkan, sesungguhnya masyarakat dan Tanah Banjar adalah tanah yang menempatkan perempuan sangat terhormat. Hikayat Banjar menggambarkan bagaimana “kemuliaan” seorang perempuan yang dikenal sebagai Puteri Junjung Buih. Dialah yang berhak menjadi Ratu Negara Dipa ketika Empu Djatmika, seorang saudagar pengelana dari Kaling, merasa tidak berhak menjadi raja karena bukan keturunan raja. Hikayat Banjar mungkin hanya dongeng dan sulit dicari buktinya. Akan tetapi, dalam perspektif Strukturalisme Levi Straus, segala dongeng atau mitos tidak hanya sekedar cerita saja. Dongeng dan Mitos, menurutnya, merupakan cerminan dari pola pikir masyarakat dimana dongeng dan mitos itu berkembang. Dengan demikian, legenda Junjung Buih menggambarkan bahwa masyarakat Banjar merupakan komunitas yang sangat menghormati perempuan.
Itu berbeda dengan dengan kultur Jawa yang sangat terpusat pada lelaki, perempuan Banjar relatif mendapat tempat di masyarakat Banjar. Ketika Islam menjadi agama kerajaan di masa Kerajaan Banjar, perempuan mendapat tempat pula dalam pengajaran agama Islam. Pada masa itu, Fatimah binti Syarifah binti Abdul Wahab Bugis, Cucu M.Arsyad Al Banjary, menjadi guru agama Islam bagi perempuan. Terlepas dari hal tersebut, sulit memahami ketika Fatimah binti Syarifah binti Abdul Wahab Bugis, Cucu M.Arsyad Al Banjary, yang menulis Parukunan Basar (sebuah kitab fikih), tidak disebutkan sebagai penulis kitab populer tersebut. Mengapa justru nama Mufti H. Jamaluddin lah, pamannya, yang lebih dikenal, bahkan parukunan itu dikenal sebagai Parukunan Jamaluddin?
Paling tidak ada dua kemungkinan mengapa itu terjadi. Pertama, pihak kerajaan hanya mengakui otoritas ilmu agama Islam hanya dipegang oleh mufti kerajaan yang dijabat oleh H. Jamaluddin. Fatwa keagamaan yang tidak dikeluarkan mufti tidak diakui dalam struktur kerajaan Banjar ketika itu. Bisa jadi, jika parukunan tersebut diklaim sebagai tulisan Fatimah, yang bukan mufti kerajaan, beragam hukum fikih dalam parukunan tidak diakui kebenarannya.
Kedua, Fatimah melihat kepentingan yang lebih besar dengan tidak ditulisnya namanya sebagai pengarang parukunan tersebut. Dengan nama Jamaluddin, kitab itu akan cepat diakui kerajaan dan masyarakat luas, seperti dijelaskan diatas. Fatimah, barangkali, sebagai keponakan merasa berkewajiban menghormati pamannya yang notabene pemegang otoritas Islam tertinggi Kerajaan Banjar.
Di sini dapat dilihat kepiawaian Fatimah yang dapat membaca situasi dengan logis sehingga lebih menguntungkan penyebaran ajaran Islam (baca: parukunan). Jika Fatimah lebih mengutamakan ego dan emosi demi popularitas seperti sekarang sering terjadi, dengan mengakui dia sebagai penulis, boleh jadi parukunan tersebut tidak akan diakui keabsahan fatwanya, tidak sepopuler sekarang, karena bukan berasal dari Mufti Kerajaan Banjar. Dengan kata lain, Fatimah adalah teladan intelektual aktivis dan intelektual perempuan Banjar.
Fatimah, Ratu Zaleha, Aluh Idut, dan pejuang perempuan lain di tanah Banjar adalah simbol peran perempuan terdekat dan selayaknya diingat. Mereka bukan “Kartini” yang begitu diagungkan bahkan dimitoskan. Akan tetapi, pengorbanan mereka jauh lebih besar daripada Kartini yang hidup sebagai seorang istri Bupati. Kepada merekalah kita semestinya juga menghormat
Selengkapnya...