Thursday, September 13

RAMADHAN VIS A VIS KLISE


Masa kecil selalu meninggalkan kenangan di saat usia sudah mulai menua. Ketika masih berusia puluhan tahun, Ramadhan berarti kegembiraan. Menunggu waktu berbuka dengan jalan-jalan adalah favorit kami. Kami menyebutnya malandungakan ari. Pasar Wadai Kandangan merupakan salah satu favorit kami. Meskipun harus bersepeda sekitar tujuh kilometer, tempat itu selalu kami datangi walau hanya sekedar membeli sebuah roti hambar. Tidur-tiduran di masjid adalah kegiatan kami yang lain. Setiap jam, kami berebut memukul kentungan tanda waktu. Begitulah dunia anak yang selalu berwarna indah.
Namun, kini Ramadhan yang hadir membawa kegembiraan sekaligus juga membawa beban. Ramadhan kini identik dengan kenaikan harga barang, sikap konsumtif, dan prilaku lain yang semakin menjauhi kesederhanaan. Bahan makanan disiapkan di rumah untuk menyambut Ramadhan. Salahkah menyambut Ramadhan dengan persediaan makanan yang berlimpah? Tentu saja itu tidak keliru, semua orang berhak menyiapkan diri agar ibadah tidak terganggu. Namun, semua itu mempunyai konsekuensi, terutama pengeluaran keuangan rumah tangga yang lebih besar dari bulan sebelumnya. Jika esensi dari puasa adalah menahan nafsu, apakah dengan persediaan makanan yang beraneka ragam dengan maksud mengistimewakan Ramadhan merupakan bagian menahan nafsu? Ataukah itu justru dengan diam-diam, nafsu manusia semakin dimanjakan di bulan Ramadhan? Segala jenis makanan, kue, sayur, dan kuliner lain disediakan dan dibeli untuk memuaskan nafsu orang yang berpuasa.
Di lain pihak, berbarengan dengan Ramadhan datang, datang pula klise massal yang berhubungan dengan ibadah Ramadhan, termasuk didalamnya segala bentuk jenis komedi. Ramadhan tidak lagi penuh ibadah tetapi Ramadhan penuh tawa. Akan tetapi, sesungguhnya klise massal itu berlangsung sepanjang tahun hanya temanya selalu disesuaikan dengan waktu. Ketika musim haji, temanya pun berubah menjadi haji. Demikianlah, klise massal senantiasa menyesuaikan diri dengan situasi, waktu, dan kondisi.
Ada tiga ciri klise massal tersebut. Pertama, berisi kultus selebriti. Sosoknya tampak cantik, kisahnya layaknya dongeng, paling suci. Itulah wajah-wajah yang sering muncul di sinetron dan pentas. Masyarakat kagum melihat mereka bukan karena sebagai bagian dari mereka tetapi masyarakat merasa berada dalam lingkaran kemasyhuran mereka. Remaja meniru cara berdandan, cat rambut, gaya bicara, memburu potret, dan segala yang terkait dengan kehidupan mereka. Masyarakat mengalami keinginantahuan yang ganjil, semacam voyeurisme. Menurut, Herry B. Priyono, voyeurisme adalah sebentuk keingintahuan yang melorot menjadi gosip visual.Ia adalah sumber dan hasil kultus selebriti yang dirayakan secara massal.
Kedua, klise itu berisi kultus gaya hidup. Setiap Ramadhan, muncul kedermawanan dan kesalehan para seleritis. Semua dilakukan sebagai status dan prestise. Coba lihatlah prilaku para selebriti yang umrah bersama kekasih dan menuliskan nama di Jabal Rahmah. Mereka tampak sebagai seorang yang paling dermawan berbicara kepada media gosip ketika menyumbang kepada fakir miskin. Mereka menceritakan dengan bangganya tentang tarawih, puasa yang dilakukannya sambil syuting sinetron. Akan tetapi, disaat yang sama mereka rela mengeluarkan ratusan juta rupiah hanya untuk pesta ulang tahun, membeli baju, atau untuk perawatan kecantikan mereka. Bagi publik, mungkin, itu mengundang kekaguman dan menjadi panutan. Namun, bagi publik yang sempat sedikit berpikir, para selebritis itu adalah sekelompok narsis dan sakit jiwa.
Ketiga, klise itu berisi penggerusan kapasitas berpikir. Jutaan gosip, reportasi, foto tentang selebriti sekilas tampak sebagai informasi tetapi itu informasi untuk voyeurism. Ia semacam narcistme dengan gerak-gerik selebriti sebagai tempat berkaca. Manusia memang memerlukan hiburan (homo ludens) tetapi berita-berita tentang gosip, perceraian, percintaan bukanlah hiburan tetapi voyeurisme.
Kini Ramadhan tiba, klise massal yang tidak mencerdaskan itu harus dilawan. Ketika Komisi Penyiaran dan pemerintah tengah bersiap membatasi siaran televisi yang tidak mendidik, publik semestinya mendukung itu. Sinetron penuh mimpi dan gosip hanya mendorong keingintahuan ganjil. Pendek kata, segala klise massal itu sangat tidak mendukung proses penyucian diri di bulan Ramadhan. Media massa menyuguhkan klise massal tersebut bukan tidak beralasan. Mereka mengejar rating. Semakin ditonton, semakin tinggi ratingnya. Itu berarti pemasukan dari iklan semakin menambah pundi-pundi manusia gila harta itu. Mereka tidak peduli dampak yang timbul dari tayangan mereka.
Di bulan Ramadhan, pengekangan hawa nafsu tidak hanya perkara menahan dari lapar dan haus tetapi juga bagaimana menahan nafsu dari klise massal yang bisa mendegradasi kualitas kepribadian. Dengan kata lain, ibadah puasa tidak hanya lapar dan dahaga tetapi juga sebagai usaha meneguhkan kembali kualitas kepribadian dan mengembangkan diri sebagai seorang yang beriman. Setiap manusia lahir dalam fitrah berdasarkan din al hanif, agama tauhid, keyakinan yang selalu kepada kebenaran, keadilan, dan kebajikan. Itulah sebabnya, setiap kita berbuat kejahatan, zalim atau dosa selalu ada terbetik perasaan berdosa dan menyesal. Tidak ada teladan mengenai kualitas kepribadian Islami dalam klise massal tersebut. Oleh karena itulah, momen Ramadhan harus jadi moment untuk bertarung melawan klise massal.
Selengkapnya...