Monday, July 16

DUH ... KANDANGAN KITA

Membaca sejarah perjuangan di Kalimantan, apakah yang paling dominan dalam fakta masa lalu itu? "Kandangan" itulah yang paling punya pengaruh dalam perjuangan pasca kemerdekaan. Waktu itu, Kandangan merupakan pusat perjuangan dan tempat lahir tokoh-tokoh pejuang besar sampai menjadi tempat proklamasi kesetiaan kepada republik ini. Padang Batung, Durian Rabung, Niih, Karang Jawa, Mandapai, Telaga Langsat merupakan tempat penting dalam perjuangan di banua ini. Bagaimana perjuangan di masa lalu? Nenek saya selalu bercerita tentang kegiatan beliau memasak untuk para pejuang sekitar tahun 1949. Beliau mengingat kaka Hasnan yang sedang kasmaran dengan Halimah selalu bersenandung "selendang sutera" sambil berbaring berbantalkan dua tangannya. Barangkali yang disebut beliau kaka Hasnan itu adalah Hasnan Basuki salah seorang pejuang dan tokoh penting dalam Proklamasi 17 Mei 1949. Di zaman gurila (gerilya), nenek saya menceritakan pada masa itu pejuang-pejuang diantaranya Rikman, Sarman, Utuh Talung (H. Asman), bermalam dirumahnya kemudian membuat senjata di sekitar kaki gunung Batu Bini yang disebut jak bayang. Nama-nama terakhir itu tidak saya ditemukan dalam buku-buk sejarah, barangkali, mereka tidak menjabat apa-apa dalam struktur ALRI Divisi IV Kalimantan. Jak Bayang adalah sebuah telaga di sekitar kaki gunung Batu Bini dan terletak cukup tersembunyi. Sementara Hassan Basry tinggal di sekitar sungai tidak jauh dari rumah nenek. Mungkin, lokasi itu dianggap lebih strategis untuk berlindung dan melarikan diri ke arah hutan.Nenek juga menceritakan tentang adanya arak-arakan ke arah Padang Batung sambil bernyanyi Indonesia Raya. Mungkin sekali itu terjadi sesaat setelah Proklamasi 17 Mei 1949. Pada masa itu, kakek saya meskipun tidak anggota TNI bertugas sebagai kurir dan cukup dekat dengan H. Hassan Basry. Konon, kata nenek, Hassan Basry lah yang memberi uang untuk biaya perkawinan mereka sekitar 150. Mungkin, 150 rupiah. Hal itu mungkin saja terjadi karena jarak antara rumah kakek dan nenek saya hanya berjarak sekitar satu kilometer dari Mandapai dan terletak di bawah gunung Batu Bini. Apalagi, kakek saya lahir dan besar di daerah Jambu berseberangan rumah dengan salah satu keluarga Hassan Basry dan konon Hassan Basry sering bermain ke situ.Nenek saya kadang mengungkapkan kekecewaan beliau melihat banyak yang mengaku pejuang kemudian mengurus administrasi dan mendapat gaji veteran. Bahkan, beliau menyebut ada beberapa orang yang terlibat pemberontakan garumbulan, merampok, dan membunuh sekarang mendapat gaji veteran. Mungkin, yang di maksud dengan garumbulan oleh nenek saya itu adalah orang-orang yang mengklaim kelompok Ibnu Hadjar yang berbuat jahat.Itu bukan berarti almarhum kakek saya tidak pernah mengusahakan untuk mendapat gaji sebagai veteran. Di tahun 80-an beliau sempat bolak-balik ke Banjarmasin mengurus tetek bengek administrasi tetapi gagal. Konon katanya, beliau tidak tercatat sebagai tentara. Mengapa kakek saya tidak menjadi tentara? Dulu, Hassan Basry pernah berkata kepada datung (orang tua kakek) bahwa kalau tidak mau tapisah anak jangan diizinkan umpat (ikut) jadi tentara.Kakek saya, barangkali, hanya salah satu contoh. Banyak orang-orang yang dulu turut mempertaruhkan nyawa tetapi tidak mendapat penghargaan yang setimpal. Sebaliknya, banyak orang-orang yang tidak berjuang tetapi belakangan dia tercatat sebagai pejuang hanya karena koneksi dengan pihak berwenang. Akan tetapi, kakek saya mengatakan itu bukan rezeki kita dan bukankah dulu kita tidak menginginkan apa-apa ketika ikut berjuang.
KANDANGAN RIWAYAT MU, KINI
Setelah 57 tahun, masihkah Kandangan menjadi pusat perjuangan di Kalimantan atau paling tidak di Kalimantan Selatan? Memang, Kandangan telah menasbihkan dirinya sebagai pusat pembangunan banua enam plus tetapi sebagai orang banua merasa itu belum menjadi kenyataan. Setelah lebih sepuluh tahun meninggalkan Kandangan pembangunan yang nyata terasa di kampung kami di daerah Padang Batung adalah pengaspalan jalan di daerah Kuangan dan pembangunan jalan batako di belakang rumah kami. Itu barangkali belum sebanding dengan kerusakan alam akibat pertambangan yang telah ditimpakan kepada kampung mereka.Ironis memang, ketika seorang kawan mengatakan tidak ada pembangunan yang bsai dilihat di Kandangan. Jika dibandingkan dengan Barabai, Kandangan dalam sudut pandang itu, menurutnya, masih tertinggal.Orang-orang Kandangan yang sukses di tanah perantauan pun banyak tercatat. Dari setingkat menteri sampai ke jenjang terbawah, Rektor, Sekretaris Daerah Provinsi, pengusaha, dosen, dan jabatan lain ada dijabat oleh orang Kandangan. Akan tetapi, apakah itu merupakan jerih payah pemerintah kabupaten? Kesuksesan itu mungkin tidak punya hubungan langsung dengan jerih payah pemerintah kabupaten tetapi merupakan usah pribadi mereka. Jika orang sekolah sampai doktor misalnya, itu bukan karena support dari pemerintah tetapi karena memang dia punya uang dan pintar.Melihat itu, Kandangan di masa lalu tidak merupakan era yang perlu dibanggakan dan diperingati besar-besaran jika nilai-nilai perjuangan itu tak mampu dihadirkan dalam pembangunan. Urang Kandangan tidak bisa bersikap apologi dan membanggakan masa lalu dengan mengatakan "Kandanganlah adalah tempat terpenting dalam perjuangan dulu" sementara Kandangan tidak bisa sejajar dengan kabupaten lain.Peringatan, upacara, atau monumen memang bisa membantu ingatan tentang sebuah peristiwa penting dalam sejarah. Akan tetapi, Peringatan, perayaan, dan monumen tidak berarti apa-apa serta akan kehilangan makna ketika kita tidak bisa menyelami nilai yang terkandung dalam peristiwa tersebut. Kemegahan, keindahan, serta estetika sebuah upacara atau monumen bisa membuai publik dan akhirnya publik lupa dan tidak dapat lagi bertanya tentang makna sebenarnya dari monumen dan peringatan itu dan apa relevansinya dengan pembangunan masyarakat. Pendek kata, publik tersihir dan terbuai oleh kemegahan monumen dan upacara.Upacara, peringatan, atau monumen yang penuh kemegahan dapat membuat pemerintah dan publik lupa bahwa 17 Mei 1949 bisa dijadikan pelajaran tentang keikhlasan dalam menjalankan amanah Tuhan. Meminjam kata-kata Hassan Basry "pejuang-pejuang Kalimantan yang ikhlas tidak menuntut jasa", bukankah kita adalah pejuang.
Selengkapnya...

MAULUD : ANTARA RITUS DAN TRADISI


Di beberapa daerah, bulan Rabiul Awwal (bulan maulud) merupakan yang penuh dengan kesibukan. Dapatlah dianggap bulan maulud sebagai bulan paling meriah sepanjang tahun. Jika Ramadhan meriah karena puasa dengan pasar wadainya, bulan maulud semarak karena upacara peringatan yang disertai makan-makan. Tidak mengherankan, Rabiul Awwal sering diplesetkan menjadi bulan mulud (baca:mulut).
Di daerah Barabai, peringatan maulud dilaksanakan di rumah-rumah penduduk serentak satu kampung. Undangan telah datang untuk makan sejak sore sehari sebelum upacara inti yang disertai bacaan syair maulud. Banyaknya orang yang harus diundang ternyata menimbulkan persoalan. Para tuan rumah menjadi sulit mencari orang-orang yang bisa membaca syair maulud. Mereka harus berbulan-bulan lebih awal mengundang para pembaca syair itu. Kesulitan itu lah yang menjadi pendorong didirikannya perkumpulan maulud di de
Di Kandangan demikian juga. Bedanya, upacara dilakukan hanya sehari. Kampung-kampung bergiliran melaksanakan maulud. Di situ ada semacam konvensi kesepakatan tak tertulis tentang kampung mana yang akan melaksanakan maulud. Kampung-kampung tetangga sudah mengetahui jadwal itu. Minggu pertama yang melaksanakan maulud adalah kampung A, minggu kedua kampung B, dan Rabu pertama kampung C. Begitulah seterusnya. Kebanyakan dalam peringatan itu dibaca syair Barzanji dan Habsyi.
Dalam upacara maulud itu makanan yang disajikan sangat beragam. Pertama datang, para undangan disuguhi katupat atau lamang. Kemudian dilakukan pembacaan syair. Usai membaca syair yang kerap sangat nyaring rupanya undangan menjadi lapar. Hidangan berikutnya adalah kue-kue. Lalu semua undangan dari rumah-rumah di kampung itu berkumpul di masjid/mushala. Disitulah kembali dilaksanakan upacara pembacaan syair maulud dan ceramah agama. Setelah salat Zuhur berjamaah, undangan kembali ke rumah dan makan siang.
Bisa dibayangkan berapa biaya yang telah dihabiskan oleh satu kampung untuk menjamu tamu-tamu itu. Jika dihitung, total jenderal uang yang dihabiskan sebuah kampung untuk peringatan itu bisa mencapai puluhan juta rupiah. Semakin besar kampungnya, semakin banyak yang melaksanakan maulud, semakin besar pula cost (biaya) yang harus dikeluarkan.
Di lain tempat di tanah Banjar ini, peringatan maulud dilaksanakan dengan terlebih dahulu membaca syair maulud habsyi diiringi tabuhan terbang (rebana). Acara dimulai setelah salat Isya dan selesai sekitar pukul sepuluh malam. Sering terjadi, para undangan yang tidak tahu panjangnya acara sehingga mereka tidak makan terlebih dahulu sebelum berangkat. Mereka pun “kelaparan” menunggu disuguhi makan malam oleh tuan rumah.
Fenomena-fenomena itu, tampaknya, menunjukkan dua hal. Pertama, masyarakat kita (Banjar) masih punya keterikatan dengan “agama”. Suatu ritus (upacara suci keagamaan) yang dianggap punya nilai pahala akan dilaksanakan meskipun itu menghabiskan uang jutaan rupiah. Janji yang ditebar adalah sorga. Jamak sudah terjadi, seseorang yang rela menghabiskan jutaan rupiah untuk maulud belum tentu mau menghabiskan untuk membantu orang lain. Tidak mengherankan jika dalam sebuah kampung yang sangat meriah mauludnya masih ada tetangga yang hidup papa, tidak sekolah, rumah reot, dan kepapaan lain.
Mengapa maulud harus diperingati dengan semeriah itu? Peringatan maulud adalah pertanda kecintaan kepada Rasulullah SAW. Mengeluarkan satu rupiah untuk maulud, konon, akan mendapat balasan jutaan rupiah di masa akan datang. Tanpa bermaksud memperdebatkan persoalan hukum melaksanakan maulud, dalam konteks kecintaan kepada Rasulullah tentu saja maulud perlu terus dilakukan. Akan tetapi, dalam konteksnya dengan cost (biaya) yang harus dikeluarkan maulud perlu ditinjau ulang.
Kedua, kemeriahan maulud menjadi perlambang masih dipegang kuatnya tradisi dalam masyarakat kita. Tradisi yang berkembang secara turun temurun tampak terus berusaha dipelihara. Memang bisa diamati dibeberapa daerah mulai tidak semeriah dulu, tampaklah penurunan itu terkait dengan kondisi ekonomi kampung yang bersangkutan. Bisa saja di kampung A tahun ini tidak melaksanakan maulud disetiap rumah, tetapi tahun depan mereka kembali melaksanakan. Itu bisa terjadi karena kondisi ekonomi mereka sudah membaik setelah panen padi di sawah atau kebun mereka. Meskipun secara substansi peringatan maulud sama yaitu sama diisi dengan pembacaan syair maulud, peringatan maulud juga menegaskan perbedaan tata cara peringatan berdasarkan tradisi setempat seperti disebut di awal tulisan ini.
Belakangan, tradisi maulud tidak hanya peringatan saja tetapi juga diisi dengan baayun maulud. Upacara ini kebanyakan dilaksanakan oleh pemerintah daerah sebagai sebuah even budaya. Dalam perspektif memelihara tradisi/budaya lokal Banjar, peringatan maulud atau baayun maulud sangat perlu untuk dipelihara dan dilestarikan.
Dalam konteks tradisi pula, perdebatan tentang bidah dan tidak bidah peringatan maulud tidak perlu ditakutkan. Menurut Abu Ishaq asy Satibi (w.1388), sesuatu kegiatan disebut bidah jika kegiatan/cara baru itu menyerupai syariat, dilaksanakan dengan motivasi ibadah kepada Tuhan, dan bukan menyangkut hal muamalah.
Jika merujuk kepada pendapat itu, tentu saja, memakai mik di masjid, berkendaraan mobil, dan hal baru lain yang tidak dilaksanakan Nabi Muhammad SAW bukanlah bidah. Karena cara-cara baru itu, tidak sama sekali terkait dengan cara-cara ritus keagamaan yang diatur syariah apalagi itu semua bukan kita anggap sebagai bagian ritual ibadah. Maulud yang dianggap sebuah tradisi lokal, bukan dianggap sebagai ritual ibadah, sepatutnya, terus dilaksanakan dan dilestarikan. Meskipun maulud pertama dirayakan sekitar 300 tahun setelah Nabi Muhammad wafat oleh Malik Muzafar Abu Said, penguasa Irbil Irak, niscaya itu niscaya bukan bidah. Wallahu’alam
Selengkapnya...

SEKOLAH UNTUK JABA



Setelah usai UAN/UAS, para orang tua kembali dihadapkan persoalan pelik. Bagi orang kaya, itu tidak menjadi persoalan. Tinggal menyediakan uang beberapa juta rupiah, anak-anak kaya dengan mudah memilih sekolah yang berkualitas. Akan tetapi, anak-anak tak berada, kaum jaba harus ekstra berpikir keras mencari sekolah murah. Kualitas bagi mereka nomor dua. Jika orang kaya bangga bisa menyekolahkan anak ke sekolah favorit, mereka melihat memakai seragam saja mereka sudah merasa bangga.
Pilihan kaum jaba akhirnya kepada madrasah. Sekolah agama atau perguruan tinggi agama (PTA) akhirnya diisi oleh anak-anak yang relatif kurang beruntung secara materi di banding sekolah umum/perguruan tinggi umum. Mengapa madrasah/perguruan tinggi agama menjadi pilihan mereka? Pertama, madrasah/PTA dianggap sebagai tempat yang dapat membawa anak mereka ke sorga. Di madrasah/PTA, anak-anak belajar agama sambil belajar ilmu umum sehingga mereka mengetahui larangan/suruhan Tuhan sehingga dapat terhindar dari perbuatan-perbuatan dosa. Itu, menurut mereka, tidak akan diperoleh di sekolah umum/perguruan tinggi umum. Sekolah dimanapun sekarang sangat sulit mencari kerja. Karenanya, kalau sama-sama menganggur lebih baik sekolah agama ada pengetahuan agama. Itu dapat dipakai untuk diri sendiri. Kira-kira begitulah pandangan golongan ini.
Kedua, biaya pendidikan di madrasah/PTA relatif lebih murah daripada sekolah umum/perguruan tinggi umum (PTU). Di akui atau tidak madrasah/PTA adalah tempat pendidikan yang murah. Di saat sekolah umum/PTU memungut ratusan ribu rupiah, madrasah/PTA masih takut memungut biaya dari para peserta didiknya. Menaikkan biaya sepuluh ribu saja harus mempertimbangkan ribuan hal dalam sejuta perspektif. Ada pertimbangan lain yang harus mereka pikirkan.
Meskipun demikian, memilih madrasah/PTA tetaplah pilihan yang sulit. Sementara yang lain lebih memilih menyuruh anak mereka bekerja menjadi buruh, pemulung, pencuri, atau menjadi peminta-minta di lampu merah. Kalau sudah demikian, mungkin, penguasa yang tidak bisa menyediakan pendidikan yang murah mendapat dosa. Apalagi di saat yang sama, para pagustian itu sedang menghabiskan uang rakyat untuk kepentingan pribadi.
Pemerintah sangat tegas ketika berhadapan dengan kaum jaba. UAN sebagai syarat kelulusan tetap sebagai syarat kelulusan diacungi jempol. Itu dengan berbagai argumen tentunya. Perdebatan tentang UAN biarlah kita lewatkan dalam tulisan ini karena bukan momentnya lagi. Sayangnya, pemerintah tidak bisa tegas dalam menetapkan standar fasilitas pendidikan, kesejahteraan guru, dan semua yang memudahkan orang bersekolah. Orang-orang kaya dan pintar bisa dengan mudah bicara pendidikan penting untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia. Begitulah kira-kira pandangan kaum hartawan (pagustian) di banua ini.
Bisa dipastikan, tidak ada seorangpun pagustian di tanah ini yang berkata pendidikan tidak penting. Akan tetapi, dalam praktiknya, pagustian tidak punya kepedulian yang nyata bagi pendidikan. Berapa sumbangan mereka untuk pendidikan? Fasilitas apa yang bisa disediakan untuk pendidikan? Samakah kesempatan bersekolah jaba dan pagustian di tanah ini? Itulah pertanyaan yang mesti dijawab.
Jika pagustian hanya manis dibibir saja bila bicara pendidikan, kaum jaba akhirnya hanya bisa pasrah. Tak mengherankan jika seorang siswa jaba tak peduli dengan pendidikannya. Tidak sekolah bukan persoalan baginya meskipun mereka menyadari sekolah penting. Bisa berhitung dan membaca cukuplah sudah. Bagaimana mereka bisa sekolah jika perut lapar. Rasanya belum ada pemerintah kabupaten/kota yang mengerahkan sekuat tenaga membantu anak miskin agar bisa sekolah. Akan tetapi, bandingkan dengan gebyar STQ/MTQ/Pekan Olahraga. Milyaran rupiah dikeluarkan untuk kegiatan gemerlap itu.
Di sekolah-sekolah favorit yang nota bene mahal itu, memang ada orang miskin tetapi hanya beberapa orang. Mereka hanya dijadikan sebagai tameng agar sekolah dinilai terbuka bagi semua kalangan. Akhirnya, orang-orang pintar di negeri ini adalah anak-anak orang kaya. Memang ada beberapa anak dari kaum jaba yang pintar tetapi itu hasil kerja keras mereka sendiri. Beasiswa sekolah dan pemerintah hanya diberikan setelah mereka juara sehingga seolah itu adalah hasil kerja keras sekolah dan pemerintah.
Sebenarnya, kerja keras pemerintah meningkatkan kualitas pendidikan tak bisa dianggap remeh dan pemerintah tidak menutup mata tentang persoalan pendidikan ini. Departemen Pendidikan Nasional telah menetapkan tiga pilar utama pembangunan pendidikan: peningkatan pemerataan dan perluasan akses, peningkatan mutu, relevansi, dan daya saing, serta peningkatan tata kelola (good governance), akuntabilitas, dan citra publik. Oleh karenanya, rakyat negeri ini bisa tersenyum lega. Angka partisipasi kasar dalam pendidikan meningkat dari tahun ke tahun, siswa yang putus sekolah pun menunjukkan kecenderungan menurun. Bantuan operasional telah mampu membebaskan 70,7 persen anak miskin dari pungutan operasional sekolah, menurunkan angka putus sekolah, serta peningkatan kesejahteraan guru.
Sayangnya, sekali lagi, sekolah-sekolah bagus bertaraf nasional bahkan internasional hanya untuk orang-orang kaya. Urang jaba selalu kebagian sekolah seadanya. Di sinilah perlu kepedulian pemerintah provinsi/kabupaten/kota untuk mendampingi dana yang dikeluarkan pemerintah pusat melalui BOS. Anehnya, sekali lagi, pagustian dan saudagar di tanah Banjar ini lebih menyukai membantu klub sepak bola puluhan juta rupiah, menaikan haji para ulama, membeli mobil milyaran rupiah, melaksanakan pertandingan sepak bola dan kegiatan lain menghabiskan uang mereka. Kalau pun ada kepedulian terhadap pendidikan, tampaknya, itu terkait erat dengan kepentingan politik mereka. Sekolah mana yang punya dampak politis terbesar itulah yang mendapat bantuan dengan bendera merah, kuning, hijau, dan bendera politik lain. Padahal, jika mereka mau sedikit saja menyumbang untuk mendampingi BOS setiap saat, punya dampak politik atau tidak, niscaya, jaba dan pagustian mendapat kesempatan yang sama memperoleh pendidikan berkualitas. Itu hanya keinginan.
Selengkapnya...

UAN DAN QOU VADIS PENDIDIKAN KITA



Dari hari ke hari, Ujian Akhir Nasional (UAN) semakin dekat. Para siswa, orang tua, dan guru semakin gugup, cemas, kuatir dan perasaan lain yang tak menentu. Ujian penentuan kelulusan itu seolah menjadi hantu yang sangat menakutkan. Segala cara dan upaya dilakukan agar sekolah mereka berhasil meluluskan siswa. Semakin banyak siswa yang lulus, semakin tinggi pamor mereka di mata pemerintah dan juga masyarakat. Kalau sudah demikian, sekolah itu pun menjadi sekolah favorit yang menjadi rebutan para calon siswa.
Di situlah hukum ekonomi berlaku. Sekolah yang banyak diminati biayanya pun semakin mahal. Semakin banyak peminat, semakin mudah sekolah menaikan iuran sekolah. Benar kata Bupati Hulu Sungai Selatan ketika mengunjungi SMKN 2 Kandangan beberapa waktu lalu, katakana pada orang tuamu pendidikan yang berkualitas itu mahal. Lalu di mana anak-anak petani miskin, buruh, dan kaum jaba lain? Para orang tua mereka pun akhirnya semakin sulit memilih antara sekolah atau menyuruh anaknya bekerja di sawah, ladang, mambatang (menebang pohon), atau pekerjaan lain yang “tak berkelas”.
Dalam konteks itulah setidaknya ada tiga “keberhasilan” UAN dalam dunia pendidikan. Pertama, UAN telah berhasil menyempitkan makna pendidikan. Pendidikan yang dulu dipahami sebagai sebuah proses direduksi menjadi hanya sebagai sebuah pengetahuan tiga mata ujian. Dengan kata lain, proses educating (pendidikan) dalam lembaga sekolah telah berhasil diubah oleh UAN hanya sekedar teaching (pengajaran) dan training (pelatihan) Padahal, dalam teori pendidikan yang telah dikenal oleh mahasiswa program strata satu, pendidikan mencakup tiga ranah: kognitif, afektif, dan psikomotor sehingga keberhasilan beberapa siswa Indonesia dalam olimpiade fisika tidak bisa diklaim sebagai keberhasilan pendidikan di negeri ini. Pendidikan pada hakikat sebuah proses yang dilakukan untuk menjadikan manusia mampu menggali potensi dirinya sendiri sehingga bisa berinovasi dan berkreasi untuk hidup mandiri. Akan tetapi, UAN berhasil menggiring masyarakat kepada sebuah paradigma baru bahwa pendidikan dikatakan berhasil jika berhasil lulus UAN. Siswa yang gagal UAN pun dianggap gagal dalam pendidikan. Mereka akhirnya terpaksa mengikuti Paket B atau C. Meskipun telah diakui setara dengan SMP dan SMA, tetap saja lulusan Paket B dan C adalah second class.
Dengan kata lain, UAN telah sukses mengangkat dirinya sebagai tujuan pendidikan. Lulus UAN berarti dapat ijazah, kuliah, mendapat gelar, dan bekerja. Tampaklah bahwa siswa telah dikondisikan untuk belajar untuk mendapat ijazah dan gengsi sekolah. Siswa berhasil dijadikan sebagai seorang pemburu gelar, gengsi, dan atribut simbolis lainnya. Ketika semua itu telah diraih belajar pun usai.
Kedua, UAN menjatuhkan rasa percaya diri guru dan sekolah. Para guru yang telah puluhan tahun mengajar merasa tidak berarti apa-apa dihadapan UAN sehingga siswa pun dianjurkan mengikuti bimbingan belajar. Sekolah tidak percaya lagi dengan jadwal pelajaran yang telah disusunnya sehingga harus menambah jam pelajaran di luar jam sekolah. Di daerah perkotaan, bimbingan belajar pun menjamur dan menuai laba yang besar. Bahkan, ada pula bimbingan belajar yang bekerja sama dengan sekolah melaksanakan bimbingan menyongsong UAN. Di pedesaan tentu saja tidak seperti itu. Para guru berusaha seadanya. Mereka memberikan pelajaran tambahan di sore hari dan para siswa pun akhirnya pasrah menunggu nasib.
Ketiga, UAN telah membuka peluang bisnis baru. Selain para penyelenggara bimbingan belajar, kalangan pemerintah pun mendapat pekerjaan baru. Uji coba UAN dilaksanakan diseluruh kabupaten/kota dan roda bisnis bergulir. Pengusaha percetakan soal atau hanya sekedar pelaksana proyek, sunat sana sini menjadi tambah subur. Ratusan juta dikeluarkan untuk proyek bernama uji coba UAN. Saya kuatir keberhasilan pendidikan (baca:UAN) hanya dalih dari sebuah perkongsian bisnis para saudagar.
Terlepas dari keberhasilan UAN itu, tampaklah bagi kita bahwa pendidikan masih berada sebagai pembuat masalah bagi masyarakat, bukan sebagai pemecah masalah. Kurikulum dan UAN adalah contoh paling mudah. Ketika kurikulum diberlakukan para guru dan masyarakat dengan permasalahan dana, buku, kemampuan guru dan permasalah lain yang tak selesai dalam satu atau dua bulan. Demikian juga kebijakan UAN. Begitu UAN digulirkan, permasalahan serupa muncul.
Perubahan-perubahan yang dilakukan hanya dalam tataran kosmetik atau hanya sekedar di kucau (di obok-obok) tidak menyentuh kepada falsafah pendidikan. Pendidikan dipasung dalam kesamaan nalar, sikap, dan tutur sikap penguasa. Apa sumbangan pendidikan sejauh ini? Apakah ketidakmampuan berbuat jujur, berpikir sehat, bertutur sopan mulai rakyat sampai elit politik adalah bukti sumbangan pendidikan. Dengan sangat ekstrem, Winarno Surakhmad menulis bahwa hampir tidak ada sisa pengaruh yang menunjukkan bahwa bangsa ini telah besar atauu dibesarkan oleh pendidikan.
Evaluasi tingkat pendidikan dengan UAN tidak lah bisa sepenuhnya dikatakan keliru. Evaluasi penting untuk syarat naik tingkat dalam pendidikan. Persoalannya adalah parameter dalam UAN belum menyentuh sisi sikap, kreasi, inovasi, dan kemandirian siswa. Biarlah para ahli evaluasi pendidikan mencari solusinya. Pertanyaan filosofisnya mau kemana (qou vadis) pendidikan kita?
Selengkapnya...

BATU BARU ATAU RAKYAT

KABAR BAIK DARI BATU BARA

Para komuter (penglaju) yang kerap melintasi jalan provinsi menuju banua enam atau sebaliknya, pastilah merasakan bagaimana rusaknya jalur itu. Tak berselang lama setelah diperbaiki, yang konon biayanya mencapai 300 sampai 400 Milyar, kembali rusak. Rupanya jalan vital itu tak kuasa menahan beban berat truk batu bara (Bara) yang lebih sekitar 5 ton dari kemampuannya. Cobalah simak harian ini (rubrik Hotline) niscaya sangat banyak keluhan publik terkait batu baru. Dari keluhan tentang jalan rusak, debu, kerusakan alam sampai kemacetan. Meskipun demikian, para penguasa banua ini, tak mampu mencegah melintas jalan milik publik itu, kecuali Pemerintah Kabupaten Hulu Sungai Selatan menolak penambangan batu bara di wilayah Padang Batung (Bpost, 6 April 2007). Mereka tidak hanya tegas menolak lulusan PGSD/MI menjadi CPNS meskipun termasuk database. Jika ketegasan berpihak kepada rakyat itu istiqamah, Bupati dan jajarannya niscaya dapat pahala dari Tuhan.
Terlepas dari hal tersebut, benar apa yang ditulis Bpost (6 April 2007 halaman 1), problem angkutan batu bara adalah kepadatan lalu lintas, truk sampai berjajar empat di jalan umum, kerap terjadi kecelakaan, kerusakan jalan/jembatan karena tonase truk berlebihan, ketegangan dengan warga berpangkal dari uang konpensasi, dan polusi air/udara yang berdampak kepada kesehatan warga. Meskipun sangat jelas dampak angkutan batu bara di jalan umum, penguasa tampaknya tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka masih bicara “akan” dan “akan”, bukan "kami telah", padahal problem angkutan itu sudah berlangsung bertahun-tahun.
Mengapa penguasa tidak bisa berbuat apa-apa mencegah truk-truk itu melintas di jalan umum? Tak bisa diabaikan, pertambangan batu bara mencatat banyak "keberhasilan" di tanah Banjar ini. Paling tidak ada lima "keberhasilan" penambangan batu bara bagi banua ini. Pertama, batu bara berhasil mengangkat popularitas Kalimantan Selatan di mata publik nasional. Kini, Kalsel telah dikenal sebagai gudangnya orang kaya yang rela menghabiskan ratusan juta rupiah sampai milyaran rupiah untuk berfoya-foya, kawin lagi, atau membeli mobil paling mahal. Mobil-mobil mewah yang berkeliaran di jalan raya menaikan image Kalsel di mata orang-orang yang mengunjunginya.
Kedua, penambangan batu bara berhasil menjadikan Kalsel layaknya kota “metropolitan”. Angkutan bata bara telah mengubah publik Kalsel mulai akrab dengan kemacetan jalan raya seperti halnya di Jakarta. Hampir semua orang Kalsel memahami bahwa apabila melintasi jalur Banjarmasin-Banua anam (hulu sungai) harus berangkat pagi hari untuk menghindari kemacetan. Tidak bisa dipungkiri, angkutan batu bara adalah penyebab kemacetan paling utama di banua ini. Truk-truk bermuatan puluhan ton harus menghindari lobang-lobang dijalan dengan mengambil jalur mobil lain sehingga mobil-mobil kecil harus mengalah. Akhirnya, mobil-mobil pun harus antri. Belum lagi, jika ada truk angkutan yang rusak atau terbalik di tengah jalan, kemacetan akan lebih lama lagi berlangsung. Meskipun dibatasi muatannya 6 ton, kemacetan tetaplah ancaman yang nyata bagi pengguna jalan lain karena truk-truk itu masih melintas jalan milik orang banyak itu.
Ketiga, dunia pertambangan berhasil menciptakan lapangan kerja baru. Ribuan orang mencari nafkah di bidang itu. Akan tetapi, jutaan orang juga merasakan dampaknya. Ketika orang mendapatkan uang, roda ekonomi pun berjalan Sehingga secara ekonomi Kalimantan Selatan diuntungkan. Menurut Gubernur Kalsel (Kalimantan Post, 3 April 2007), royalti yang diterima Pemerintah Provinsi Kalsel sekitar 54 milyar pertahun. Bayangkan, banyaknya uang itu. Sayangnya duit tersebut tak cukup untuk memperbaiki jalan yang membutuhkan biaya sekitar 300 milyar sampai 400 milyar rupiah. Tidak hanya itu, konon, para penguasa pun mendapat “penghasilan” yang sangat besar dari pertambangan.
Keempat, penambangan batu bara telah berhasil menaikkan standar hidup orang yang terlibat di dalamnya. Bisnis Bara merupakan bisnis paling menjanjikan dan paling mudah mendapat uang. Karena itulah, uang tidak lagi begitu berharga dimata mereka. Jika dulu cukup dengan mobil seharga ratusan juta, kini standar mereka naik menjadi mobil senilai milyaran rupiah. Para pebisnis bersaing mengaktualisasikan diri dengan kekayaan mereka. Di tingkat sopir pun terjadi fenomena yang sama. Ketika kebijakan pengetatan tonase muatan diberlakukan yang tergambar dikalangan sopir adalah penderitaan karena penghasilan mereka sangat menurun.
Kelima, batu bara telah berhasil memunculkan hard power baru di tanah Banjar. Hard Power, menurut Joseph S.Nye Harvard University, mencakup militer, uang suap, dan bayaran. Hard power merupakan kebalikan dari soft power. Soft power merupakan kemampuan memikat dan mengkooptasi pihak lain untuk melakukan apa yang kita kehendaki tanpa kita memintanya. Soft power bersifat tidak memaksa. tidak secara langsung, dan tidak memerintah.
Prestasi gilang gemilang itu, mungkin, menurut para penguasa harus terus dipertahankan di banua Banjar ini. Akan tetapi, saya teringat apa yang diceritakan oleh Prof. Dr. H. M. Amien Rais, M.A.di Bank BPD Kalsel tak berselang lama. Kera yang telah menjelang ajal terus berusaha menyusui bayinya. Di penghujung hidupnya, kera itu masih saja berusaha menyediakan yang terbaik untuk bayinya agar dapat survival di rimba yang liar itu.
Berbeda dengan kera itu, manusia kerap tak peduli dengan masa depan anak cucunya. Manusia lebih mementingkan diri mereka sendiri. Kekayaan alam dikuras tanpa peduli kerusakan yang ditimbulkannya. Kerusakan alam yang membawa bencana itulah warisan kita untuk generasi akan datang. Bisa saja mereka nanti protes kepada pendahulunya yang telah merusak alam ini. Mereka yang terlibat merusak dan sudah wafat akan ditanyai dalam kubur dan mungkin dimarahi habis-habisan oleh Tuhan. Akan tetapi, pemimpin, polisi, politisi dan publik, termasuk Bupati HSS dan jajaran, yang tidak berselingkuh dalam merusak alam dibiarkan Tuhan tenang di alam kubur. Entahlah, kita termasuk yang mana?
Selengkapnya...

KAMI TAK PERLU KUBURAN
(Catatan Memperingati Proklamasi 17 Mei 1949)


Hari ini, 17 Mei 2007 Kandangan kembali menjadi logos (tempat) terpenting dalam perjuangan melawan penjajah di Tanah Banjar. Upacara pun digelar untuk mengenang pahlawan, para veteran diundang untuk menghormati mereka. Ritual rutin itu kadang diikuti oleh kegiatan berjalan kaki menelusuri rute perjalanan perjuangan. Bahkan, diiringi pula oleh pemberian ”bingkisan” untuk para pejuang. Setelah itu, para mantan pejuang itupun kembali hidup dalam dunia nyata, tanpa perhatian dari penguasa menunggu bingkisan di tahun depan.
Tahun ini, para pejuang mendapat hadiah besar: kuburan pahlawan. Itulah salah satu pertanda penghargaan terpenting penguasa kepada pahlawan. Pentingkah kuburan pahlawan itu? Bagi orang-orang yang menyukai simbol tentu saja kuburan yang megah adalah sebuah penghargaan maha penting. Biarlah orang yang sudah wafat bahagia di sisi Tuhan tanpa menjadi beban yang masih hidup. Mereka wafat meninggalkan pesan, bukan meninggalkan beban bagi yang hidup. Bagi urang Padang Batung, kuburan itu barangkali sebuah ”kebanggaan” karena kuburan pahlawan terletak di kampung mereka. Namun, tanpa disadari, kuburan, pemakaman, atau apapun namanya, kuburan pahlawan sekalipun, selalu menjadikan wilayah itu kehilangan daya saing. Harga tanah murah dan orang-orang enggan melakukan kegiatan ekonomi di sekitarnya. Paling-paling orang berkumpul hanya terjadi sekali atau dua kali dalam setahun di dekat kuburan.
Begitulah, Urang Padang Batung dan daerah pinggiran lain jangan berharap mendapat rumah sakit besar atau fasilitas publik lain di bangun di kampung mereka. Padahal, itu semua dapat memutar roda ekonomi rakyat. Pagustian ternyata lebih menyukai membangun fasilitas publik atau proyek besar di kota bukan menyebar ke pelosok. Jangankan itu, petani karet di Padang Batung saja masih mencari bibit ke Paringin (Balangan) dan ke Rantau. Pengembangbiakan duku Padang Batung pun dilakukan tanpa bantuan maksimal penguasa. Namun, di mana-mana di negeri ini, setiap kerja keras kaum jaba berhasil, pagustian pun kemudian tampil seolah itu adalah kerja keras mereka.
Saya yakin, Hasan Basry, Aberani Sulaiman, Hasnan Basuki, dan pejuang lain sama sekali tidak menginginkan kuburan yang megah atau tanda jasa lain yang sebatas simbol belaka. Apa artinya kemerdekaan dari penjajah jika hidup rakyat masih serba susah. Mereka ingin rakyat Banjar bebas dari penderitaan, kemiskinan, dan kebodohan.Itulah yang diinginkan pejuang urang Kandangan dulu dan pejuang lain di tanah Banjar ini.
Terlepas dari hal ituu, paling tidak ada dua hal penting dalam proklamasi itu. Pertama, Urang Banjar adalah komunitas yang setia kepada Proklamasi 17 Agustus 1945 Republik Indonesia. Proklamasi semacam Proklamasi 17 Mei satu-satunya terjadi di Indonesia. Para pejuang dengan ikhlas mempertaruhkan nyawa dan tidak ada sedikitpun niat untuk mendirikan negara baru. Kalimantan Selatan adalah bagian yang tak terpisahkan dari Indonesia yang berusia tidak lebih dari lima tahun ketika itu. Hassan Basry tokoh penting perjuangan di Kalimantan mendapat perlakuan yang tidak selayaknya hanya karena sikap politiknya berbeda dengan penguasa orde baru. Mantan bawahannya, Aberani Sulaiman, dalam struktur ketentaraan, belakangan diangkat jadi Gubernur Kalimantan Selatan, sedangkan beliau tak mendapat apa-apa selain di sekolahkan ke Mesir. Sebuah kebijakan yang sangat bertolak belakang dengan Hassan Basry yang tentara.
Bagi Hassan Basry, itu tidak menjadi persoalan karena dia berjuang tanpa menginginkan imbalan. Akan tetapi, bagi pejuang lain itu adalah persoalan. Bayangkan, setelah dulu berjuang mengorbankan nyawa dengan ikhlas tanpa membayangkan imbalan, begitu selesai tiba-tiba datang orang lain yang tidak tahu apa-apa datang memperoleh hasil. Sementara, diri yang mulai menua hanya bisa menggigit jari. Sehari, seminggu, sebulan kekecewaan bisa ditutupi, tetapi polah ”kaum pendatang” itu akhirnya menyulut emosi.
Akhirnya, ”gerombolan” Ibnu Hajar, seorang pejuang yang kecewa, memberontak kepada ”Jakarta”. Salah satu cerita yang saya ingat tentang pemberontakan itu, ketika gerombolan menyergap pasukan Mobrig (sekarang : Brimob) yang kebanyakan dari pulau Jawa. Peristiwa itu terjadi di Gunung Kumpah sekitar enam kilometer dari Desa Mawangi, Padang Batung. Konon, hanya satu orang anggota Mobrig itu yang selamat. Namun, pemberontakan yang pada awalnya merupakan presentasi atas kekecewaan terhadap kebijakan Jakarta itu dinodai oleh prilaku anggota gerombolan liar. Beberapa orang yang mengaku anggota gerombolan melakukan pembunuhan, perampokan, atau hanya sekedar minta jatah makan kepada penduduk. Bahkan, mereka juga menculik gadis-gadis kampung yang diinginkan.
Di Desa Pagat Batu kecamatan Padang Batung misalnya, seorang tua yang telah berumur tujuh puluhan tahun dibunuh karena gerombolan itu menginginkan anak gadisnya. Dari rumah nenek saya di kaki gunung Batu Bini, malam itu terdengar teriakan minta tolong dari rumah Pa Sarah (ayah Sarah) korban kekejian gerombolan. Selesai membunuh, salah seorang anggota gerombolan, yang juga tinggal tidak jauh dari rumah nenek, berteriak, ”jangan dilaporkan, awas bila ada yang melaporkan”. Nenek saya yang bersembunyi di kolong rumah tidak sadar berteriak, ”ayuha! (iya), tidak akan dilaporkan”. Sayangnya, beberapa anggota gerombolan itu kini mendapat gaji sebagai seorang pejuang. Tragis.
Gerombolan itu akhirnya bisa ditumpas dengan tipu muslihat berkat bantuan adik Ibnu Hadjar, Dardi. Sampai sekarang, keberadaan beliau masih tak jelas. Itulah penghargaan bagi pejuang Banjar. Ibnu Hajar mungkin mati dipenjara atau diujung senjata tentara. Tragis, pejuang yang dulu gagah berani menghadapi penjajah harus mati ditangan penguasa di Jawa yang dulu dengan setia dibelanya.
Dari dulu sampai sekarang, rakyat, selama ini dijadikan sebagai ”tumbal” dari pembangunan negara. Di mana-mana, masyarakat diminta untuk berkorban demi kepentingan perjuangan dan pembangunan. Dulu harta dan nyawa dikorbankan untuk negara, sekarang tanah rakyat dibeli murah, membayar pajak ini dan itu untuk pembangunan. Akan tetapi, hasilnya tidaklah dinikmati oleh mereka. Rakyat membayar pajak, kemudian dibuatkan jalan untuk para pengusaha, kawan penguasa, tanpa peduli kepentingan rakyat banyak. Padahal negara, pemerintah provinsi, kabupaten/kota hadir untuk kesejahteraan hidup rakyat bukan menjadi benalu bagi rakyatnya.
Kedua, membaca tentang perjuangan dulu saya bangga, tetapi hari-hari ini saya kerap merasa kehilangan kebanggaan sebagai urang Kandangan. Di bidang apapun Kandangan kotaku manis, selalu kalah bersaing. Perlombaan mengaji (MTQ), olah raga, atau perlombaan lain selalu kalah dengan daerah lain. Bahkan, dalam penelitian seorang mahasiswa fakultas Syariah IAIN Antasari menyebutkan bahwa perempuan Kandangan termasuk salah perempuan yang tidak populer untuk diambil sebagai menantu oleh orang tua di Martapura. Alasannya mereka melihat, mungkin dari kasus keluarga mereka yang menikah dengan perempuan Kandangan, perempuan Kandangan, mereka anggap adalah perempuan yang tidak taat kepada suami. Hasil penelitian itu, mungkin, tidak perlu ditanggapi serius dan jangan dianggap sebagai kesimpulan. Saya merasa bangga hanya ketika kawan-kawan saya, Arjuna Singakarsa, menjadi juara Bagarakan Sahur dan Kejuaraan Musik Panting tak berselang lama.
Apa yang salah dengan Kandangan? Padahal Kandangan berada di posisi strategis pertengahan Kalimantan Selatan. Biarlah persoalan itu dipikirkan oleh Tuan Bupati dan orang-orang yang ingin menjadi Bupati. Atau jangan-jangan urang Kandangan telah kehilangan keikhlasan dalam berjuang. Tidak seperti Hassan Basry yang berjuang dengan penuh keikhlasan, kaum pagustian (penguasa dan kroninya) dan jaba (rakyat jelata) selalu mengukur segala hal dengan materi. Proyek-proyek ”dirancang” agar menguntungkan. Tanah kuburan dibeli oleh saudagar, kawan pagustian, dengan harga murah seolah disitu tidak akan dibangun kuburan pahlawan. Tak berselang lama, pagustian pun membeli tanah itu dengan harga lebih mahal dengan uang rakyatnya tentunya. Itulah perselingkuhan yang boleh jadi menyebabkan pembangunan di tanah Banjar ini tak dibarakahi Tuhan walaupun tuan guru menjadi sahabat baik para pagustian.
Hari ini, proklamasi itu kembali dibacakan. Entah, dalam gelak tawa atau sedu sedan tangis veteran pejuang. Jika Hassan Basry dan kawan-kawan masih hidup, mungkin, dia gembira dan mungkin pula dia sedih melihat tanah Banjar sekarang. Dia mungkin gembira melihat penghormatan orang-orang dalam upacara hari ini. Akan tetapi, melihat kerusakan lingkungan, korupsi, dan ketakbecusan lain, mereka niscaya lebih bersedih dan memilih untuk kembali menutup mata selama-lamanya.
Selengkapnya...

AGAMA : IMAN DAN RASIONAL

Beberapa waktu lalu, tersiar kabar bahwa Rasulullah SAW yang telah wafat ribuan tahun lalu telah datang ke sebuah rumah nun jauh di sana dan jejak itu meninggalkan bau harum semerbak. Cerita itu pun menyebar dan sebagaimana kebiasaan selalu dibumbui dengan cerita lain. Sebagai seorang muslim yang lahir dari keluarga muslim, tentu, saja mayoritas urang Banjar percaya keberadaan Nabi Muhammad SAW dan itu salah satu dari rukun iman. Berdosakah tidak mempercayai itu?
Dalam kehidupan beragama kita, kerap ada hal-hal yang sebenarnya bukan ajaran agama (Islam) diharuskan bagi kita untuk mempercayainya. Berdosalah bila tidak percaya itu. Meskipun tidak rasional, bila disampaikan oleh ulama sebagai kebenaran akan berpengaruh dan dianggap bukti sebuah kekuasaan Tuhan. Pengajian yang dihadiri banyak umat Islam di sebuah masjid tiap minggu selalu menghadirkan ulama yang sangat pandai bercerita, lucu, dan pula menasihati umatnya. Tema pengajian tentang fikih, tasawuf, serta tauhid saja sangat baik untuk peneguh iman, tidak akan menjadi sorotan tulisan ini. Memang sudah menjadi keyakinan umat Islam, ceramah yang berisi ilmu atau nasihat dari para ulama harus diterima sebagai penambah keimanan.
Namun, di antara ceramah kegamaan itu beliau menjelaskan suatu hal yang mengejutkan. Memang, hal tersebut merupakan pengetahuan yang berada di luar ilmu agama, yakni masalah janin dalam kandungan ibu. Dalam salah satu ceramah tadi beliau menjelaskan bahwa Imam Syafii adalah seorang yang sangat alim tidak dapat disaingi oleh orang pintar zaman sekarang. Bahkan saking alimnya, menurut beliau, Syafii mengarang kitab Al Umm di dalam kandungan ibunya. Oleh karena itu, Syafii janganlah dikritik.
Sebagai seorang yang pernah belajar biologi di sekolah setingkat SMA, saya jadi masygul dan khawatir juga. Bagaimana jadinya apabila penjelasan yang salah itu dipahami sebagai kebenaran masyarakat awam? Apalagi yang memberikan penjelasan itu seorang yang sangat berpengaruh?
Hal itu sangat menyedihkan jika pengetahuan yang salah tersebut sudah dianggap sebagai kebenaran umum di kalangan umat yang cukup luas. Dan tentu saja hal ini tidak boleh dibiarkan. Karena pengetahuan yang “salah” dan tidak rasional bukan hanya memalukan melainkan juga menyesatkan. Adalah benar dalam agama ada persoalan yang tidak rasional tetapi apakah dua hal itu merupakan ajaran agama yang bersumber dari Alquran dan hadits atau sekedar pelajaran sejarah yang salah kaprah?
Dulu pada tahun 1970-an, seperti diceritakan Ahmad Thohari, Jakarta geger setelah diberitakan ada bayi dalam kandungan sudah bisa membaca Alquran dengan bagusnya. Si ibu yang bernana Cut Sahara Fona mendadak menjadi sangat terkenal. Banyak tokoh Islam merasa takjub, membaca tasbih, dan menganggap hal itu merupakan keajaiban yang luar biasa. Memang, bayi dalam kandungan itu jadi sangat terkenal dengan sebutan bayi ajaib. Demikian besar kepercayaan masyarakam umum sampai-sampai beberapa ulama kelas satu di Indonesia ikut yakin. Juga Mantan perdana menteri Malaysia Tengku Abdul Rahman Putra. Banyak orang menempelkan telinga ke perut Cut Sahara Fona demi mendengarkan suara si bayi ajaib yang sedang melantunkan ayat suci.
Tapi apa nyatanya? Bayi ajaib yang bisa membaca Alquran ketika masih dalam rahim ibunya adalah bohong bin dusta belaka. Cut Sahara Fona menipu masyarakat termasuk para ulama. Suara bayi membaca Alquran ternyata hanya sebuah rekayasa. Cut Sahara meletakkan pemutar kaset (yang waktu itu masih langka) di selangkangannya. Putarannya dipercepat sehingga mirip suara anak kecil. Foto rontgen yang menunjukkan ada bayi diperutnya adalah foto rontgen kandungan yang telah keguguran. Cut Sahara masuk penjara. Tapi pelajaran apa yang dapat kita peroleh?
Bagi kita, apalagi ulama yang sering berbicara dihadapan umum dan mengaku banyak pengikut, perlu untuk sedikit melapangkan dada membaca pengetahuan umum setidaknya dalam tingkat dasar. Cut Sahara tidak akan bisa melakukan penipuannya bila masyarakat, terutama ulamanya, punya pengetahuan umum tingkat dasar tentang bayi dalam kandungan. Dia, bayi itu, belum bernafas karena oksigen yang dibutuhkannya masih dipasok oleh ibunya melalui tali pusar, demikian juga makanannya. Kalau bayi belum bernafas, bagaimana dia bisa ngaji apalagi bisa menulis kitab? Jangankan untuk mengarang kitab, untuk bersuara saja dia belum bisa.
Namun rasanya tidak mudah mengubah situasi ini. Karena tingkat pengetahuan umum masyarakat belum memadai. Lagi pula ucapan tokoh agama sudah dianggap sebagai kebenaran. Jadi, mungkinkah orang seperti saya yang tidak pernah duduk di bangku pesantren akan dipercaya oleh masyarakat ketika dia mencoba meralat atau menyalahkan sesuatu yang diucapkan oleh ulama? Mungkin, contoh kasus bayi ngaji di dalam perut ibunya sudah cukup jadi pelajaran. Bahwa ada yang perlu penjelasan rasional dan ada pula yang hanya perlu diimani.
Selengkapnya...

UNTUK PEREMPUAN BIASA
(Catatan Hari Kartini, 21 April 2007)

Raden Ayu Kartini (1876-1904) boleh wafat diusia yang sedang mekar, 25 tahun, tetapi semangatnya tetap hidup sampai sekarang. Kartini ibarat bunga yang sudah mulai mekar tetapi patah digugurkan angin yang keras. Kartini wafat empat hari setelah melahirkan anak pertamanya. Tragis, seorang perempuan harus meninggal disaat berjuang dalam kodrat perempuan. Ia meninggal sebagai seorang ibu. Dalam lagu yang saya hapal sejak taman kanak-kanak, Kartini dipanggil sebagai “ibu kita Kartini”, bukan sang pejuang atau pelopor. Rupanya “ketuaan” adalah perlambang sesuatu yang baik. Menurut Goenawan Mohamad, dia bukan lagi sebagai sesuatu yang progresif tetapi sebagai pengayom yang konservatif. Tak mengherankan Hari Kartini adalah hari perempuan berpakaian kebaya dan bersanggul atau pakaian adat bukan berpakaian pilot atau dokter.
Sebagai istri muda seorang Bupati, Kartini terperangkap dalam sebuah sistem maskulin yang dianggap adiluhung ketika itu. Sampai usia 12 tahun, Kartini diperbolehkan bersekolah di ELS (Europese Lagere School). Di sini antara lain Kartini belajar bahasa Belanda. Tetapi setelah usia 12 tahun, ia harus tinggal di rumah karena sudah bisa dipingit. Ketakmampuan Kartini melepas belenggu adat Jawa tampak pada saat mau dikawinkan dengan Bupati Rembang, Raden Adipati Joyodiningrat, yang sudah pernah memiliki tiga istri. Kartini menikah pada tanggal 12 November 1903. Pada pertengahan tahun 1903 saat berusia sekitar 24 tahun, niatan untuk melanjutkan studi menjadi guru di Betawi pun pupus. Dalam sebuah surat kepada Nyonya Abendanon, Kartini mengungkap tidak berniat lagi karena ia sudah akan menikah. "...Singkat dan pendek saja, bahwa saya tiada hendak mempergunakan kesempatan itu lagi, karena saya sudah akan kawin..." Padahal saat itu pihak departemen pengajaran Belanda sudah membuka pintu kesempatan bagi Kartini dan Rukmini untuk belajar di Betawi.
Dalam suratnya yang belakangan (1911) diterbitkan penjajah Belanda berjudul Door Duisternis tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang), Kartini juga mempertanyakan tentang agama yang dijadikan pembenaran bagi kaum laki-laki untuk berpoligami. Bagi Kartini, lengkap sudah penderitaan perempuan Jawa yang dunianya hanya sebatas tembok rumah dan "tersedia" untuk dimadu pula. Gugatan-gugatan Kartini ditampilkan untuk menggambarkan kekritisannya sebagai perempuan Jawa.
Kritik-kritiknya kepada tradisi Jawa itulah yang tertuang dalam surat-suratnya itulah kemudian menjadikannya sebagai seorang pahlawan nasional. Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No.108 Tahun 1964, tanggal 2 Mei 1964, yang menetapkan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional sekaligus menetapkan hari lahir Kartini, tanggal 21 April, untuk diperingati setiap tahun sebagai hari besar yang kemudian dikenal sebagai Hari Kartini.
Kebenaran surat-surat Kartini kepada teman korespondensinya di Belanda, Mr. J.H. Abendanon dan isterinya. Ada dugaan J.H. Abendanon, Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan saat itu, merekayasa surat-surat Kartini. Kecurigaan ini timbul karena memang buku Kartini terbit saat pemerintahan kolonial Belanda menjalankan politik etis di Hindia Belanda, dan Abendanon termasuk yang berkepentingan dan mendukung politik etis. Hingga saat ini pun sebagian besar naskah asli surat tak diketahui keberadaannya. Menurut almarhum Sulastin Sutrisno, jejak keturunan J.H. Abendanon pun sukar untuk dilacak Pemerintah Belanda.
Selain itu, penetapan tanggal kelahiran Kartini sebagai hari besar juga agak diperdebatkan. Mengapa tidak dirayakan pada Hari Ibu saja tanggal 22 Desember? Perayaan Hari Kartini mencerminkan pilih kasih dengan pahlawan-pahlawan wanita Indonesia lainnya, karena masih ada pahlawan wanita lain yang tidak kalah hebat dengan Kartini. Cut Nya Din, --patut juga disebut--Aluh Idut, Laksmana Keumalahayati, Nyi Ageng Serang, Martha Cristina Tiahahu, dan pahlawan wanita lain yang berjuang menyabung nyawa melawan penjajah tidak pernah dirayakan hari lahirnya. Padahal, beberapa pahlawan perempuan itu wafat di ujung senjata penjajah sedangkan Kartini hidup nyaman dalam rumah besar dan “mewah” tanpa takut ancaman bedil penjajah. Menurut yang berpendapat semacam itu, perjuangan Kartini itu hanyalah di Jepara dan Rembang saja. Pendek kata, menurut mereka, Kartini adalah pahlawan untuk kaum bangsawan Jawa saja.
Dapat dikatakan Kartini terus hidup dalam sejarah bangsa kita berkat prakarsa seorang pendukung politik etis, Menteri (Direktur) Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda,Mr JH Abendanon, yang pada 1911 (tujuh tahun sesudah wafatnya RA Kartini), menerbitkan surat-suratnya. Perlu direnungkan bagaimana nasib memorabilia Kartini, andaikata keluarga Abendanon tidak mengadopsi Kartini sebagai anak angkat rohani mereka, andaikata Abendanon tidak menerbitkan surat-surat Kartini, andaikata Abendanon bukan Direktur Dikbud dan andaikata kemudian tidak didirikan “Sekolah Kartini”. Tanpa pengaruh tuan menteri itu, mustahil, Kartini bisa disanjung seperti sekarang.
Terlepas dari perdebatan itu, semangat emansipasi yang digulirkan Kartini telah menuai hasilnya. Gubernur, Menteri, bahkan Presiden pun pernah dijabat oleh kaum perempuan. Kesetaraan itu rupanya telah menghancurkan belenggu-belenggu nilai yang selama ini dipegang teguh oleh masyarakat. Di kalangan artis atau seniman perempuan memamerkan anak yang lahir tanpa ayah merupakan hal biasa saja. Sibuk bekerja tetapi anak-anak tidak dipedulikan. Seperti lagu Rhoma Irama, begitukah yang disebut emansipasi?
Semangat emansipasi dan kesetaraan tergambar pula dalam tulisan Ayu Utami “hanya lelaki yang boleh menghampiri perempuan. Perempuan yang mengejar-ngejar lelaki pastilah sundal. Perempuan akan memberikan tubuhnya pada lelaki yang pantas, dan lelaki itu akan menghidupinya dengan hartanya. Itu dinamakan perkawinan. Kelak, ketika dewasa, aku menganggapnya persundalan yang hipokrit. (Utami, 1998). Akhirnya Ayu Utami pun tidak mengakui adanya institusi bernama pernikahan.
Melihat itu tiba-tiba saya rindu dengan perempuan biasa yang tetap tersenyum menerima hak dan kewajibannya sebagai perempuan. Cut Nya Din dan pahlawan perempuan lain tidak pernah peduli dengan kesetaraan, emansipasi atau apapun namanya, tetapi mereka tetap menyabung nyawa melawan penjajah. Menuntut hak adalah penting tetapi seiring dengan pemenuhan kewajiban. Mereka saling melengkapi dengan lelaki karena lelaki tak bisa hidup tanpa perempuan. Perempuan tak lengkap tanpa lelaki. Itulah perempuan biasa.
Selengkapnya...

QOU VADIS NU KALSEL



Sebagai anak kampung, saya hidup dalam keberagamaan “urang bahari” (orang terdahulu). Ketika saya pergi ke kota untuk menuntut ilmu, nasihat penting yang selalu disampaikan orang tua adalah ikutilah “urang bahari”. Term urang bahari itu kurang lebih sama dengan kaum tuha (baca NU). Orang kampung, seperti orang tua saya, dan saya ketika itu tidak memahami apa itu Nahdlatul Ulama (NU), namun secara tradisi mengikuti corak NU. Gambaran itu, mungkin, dapat mewakili mayoritas penganut Islam di tanah Banjar ini.
Belakangan, saya banyak bergaul dengan kalangan Ormas lain, Muhammadiyah, Al Washliyah, dan Al Irsyad, juga orang-orang yang mengaku tidak ikut kemana-mana. Dari situlah, NU menjadi menarik untuk dibincangkan dan disandingkan dengan Ormas Islam lain. Kadang-kadang dibumbui anekdot, saling sindir, debat, tetapi tetap dibarengi senda gurau. Menyenangkan tanpa saling menyalahkan. Itulah mungkin keberagamaan yang dikehendaki Tuhan. Ketika di hadapan Tuhan, anggota NU, Muhammadiyah, Al Washliyah, dan organisasi Islam lain, sama-sama pantas mendapat surga.
Ketertarikan kepada NU semakin bertambah karena dalam peta politik Kalimantan Selatan NU berada dalam posisi penting. Hal itu dibuktikan dengan kemenangan Rudy Arifin dalam Pilkada Kalsel. Konon, itu merupakan kemenangan tokoh NU struktural pertama dalam perebutan kursi gubernur di Indonesia. Itu menandakan bahwa budaya politik di banua ini menggunakan traditional-religio-political-system (sistem politik tradisional berlandaskan keagamaan).
Oleh karena itulah, NU menjadi selalu menarik untuk ditarik-tarik ke wilayah politik yang selalu berujung dengan syahwat kekuasaan. NU memang memiliki modal besar, yakni keberadaan sistem teologi yang mengakar ke relung tradisi. Hanya saja, seberapa kuat religiopolitik semacam itu ketika berhadapan kondisi masyarakat yang sudah memiliki rasionalitas politik. Potensi besar NU kemudian dimasukkan dalam logika pasar, dengan determinisme kualitas menjadi kuantitas. Sah-sah saja para aktor politik itu memanfaatkan apapun demi keberhasilan agenda politiknya, termasuk politisasi agama (taudzif al-din fi al-siyasah). Dalam masyarakat Indonesia, di mana posisi agama masih menjadi faktor penting, memisahkan agama dari politik merupakan kemustahilan.
Padahal, secara hakiki, NU merupakan organisasi keagamaan (jam’iyyah diniyyah) yang tentunya berorientasi pada pendidikan dan dakwah. Dalam Qanun Asasi li Jam’iyyati Nahdlatul Ulama, K.H Hasyim Asy’ari menegaskan posisi NU yang berdiri di “tengah” (tawasuth) sebagai penjaga tradisi keagamaan masyarakat lokal dari ancaman gerakan puritanisme Islam. Fungsi utama NU bukanlah pada ranah politik, tapi pada pengembangan rekayasa sosial-kemasyarakatan melalui pendidikan dan dakwah.
Menariknya dunia politik di mata Nahdliyyin, mungkin, karena mereka beranggapan bahwa hanya dengan masuk dunia politik (baca: partai) NU bisa berjaya. Mereka lupa bahwa NU pernah mengalami masa kejayaan di luar politik praktis, yakni ketika sebagai jam’iyyah diniyyah, NU mampu melindungi tradisionalisme Islam dari praktik puritanisasi (1926). Di samping itu, NU juga turut berkontribusi besar dalam kemerdekaan Indonesia serta menjadi kekuatan pertama yang menerima Pancasila sebagai asas tunggal. Bahkan selama Orba, NU menjelma sebagai kekuatan civil society yang ditakuti negara karena oposisi kulturalnya (1984-1998).
Sesuatu yang suci dan sakral bagi NU adalah tugas dakwah, menegakkan nilai-nilai agama, serta pengabdian terhadap pemberdayaan masyarakat. Tugas inilah yang melatarbelakangi pendirian organisasi (jam’iyyah) di atas bangunan kultur-massa (jama’ah). Penyelewengan fungsi jam’iyyah sebagai penggerak civil society, pada agenda politisasi juga disebabkan oleh “doktrin” Islam sebagai din wa siyasah (agama dan politik).
Karena doktrin itulah, mungkin, mendorong ulama-ulama NU terjun ke poltik. Mereka yang memilih sebagai politisi selain harus tahan mental - bahkan "tebal muka" - juga harus siap ditelanjangi masyarakat yang dulu mencium tangannya. Karena itu, jika syarat-syarat tersebut tak dipenuhi sebaiknya tak usah menjadi politisi. Alhasil, ulama yang terjun ke politik harus tahan banting dan siap dicampakkan. Seperti kata KH. Hasyim Muzadi, NU berpolitik akan bahaya. Resiko berikutnya, ia tentu akan sulit menjaga muru'ah, baik dalam perspektif keulamaan maupun agama. Meski demikian ia akan mendapat reward yang lain. Ia akan mengalami transformasi ekonomi luar biasa. Lihat saja ulama yang aktif di politik atau hanya sekedar menjadi juru kampanye. Hanya dalam sekejap, gaya hidup mereka langsung gemerlap. Mobilnya mewah dan keluaran terbaru. Begitu juga rumahnya, bagai istana.
Itu berbeda jika para ulama NU memilih sebagai ulama kultural. Secara ekonomi, mereka kultural tak bisa berkembang drastis seperti ulama politik. Malah bisa jadi ia tak punya mobil. Hidupnya bersahaya, kemana-mana jalan kaki dan sepeda motor. Ini memang resiko dari sebuah pilihan. Secara ekonomi dan popularitas ia lamban beranjak.
Meski demikian ia bisa menjaga muru'ah. Ia bahkan akan semakin dihormati dan disegani. Apalagi kini populasi ulama makin berkurang akibat banyak yang hengkang menjadi politisi. Ulama murni eksistensinya semakin sentral terutama dalam mendidik dan mengayomi masyarakat.
Hanya saja sikap zuhud ini menuntut keteguhan iman luar biasa. Siapa yang tak ingin melihat ulama fulan tiba-tiba pakai mobil keluaran terbaru Apalagi, bila ia menduduki posisi strategis dalam partai atau dewan . Praktis, ia akan menjadi raja di raja yang penuh pesona.
Demikianlah, pilihan menjadi ulama kultural sangat berat dan harus tahan godaan. Namun di balik kesederhanaannya tentu semakin mengundang simpati masyarakat. Bahkan bisa jadi Tuhan akan semakin memberi maqam tinggi, baik dalam arti sosial maupun ketakwaan. Buktinya, kini banyak sekali masyarakat kota bingung dan ingin mencari penyayoman spriritual ulama. Namun begitu ditunjukkan kepada ulama fulan mereka tak mau karena dianggap telah terkontaminasi politik. Mereka ingin mencari kiai yang sufi, bersih hati, tak terlibat politik dan konflik. Itulah mungkin yang di inginkan KH. Hasyim Asyari dan tentu juga KH. Supian dan K.H. Sarbaini Haira. Selamat bekerja.
Selengkapnya...

BUAT KAYI MAMBING

PAGUSTIAN DAN SUMAMBING


Banua ini memang penuh keanehan, setidaknya bagi saya yang tak begitu cerdas memahami fenomena. Keanehan pertama, para pagustian (termasuk politisi) sangat pandai berkilah dengan argumen yang tampaknya masuk akal. Persoalan batu bara yang sebenarnya telah jelas ada SK dari gubernur terdahulu kini tidak berlaku lagi menunggu Perda. Anehnya lagi, persoalan batu bara akan kembali lagi ditunda sampai sekitar dua tahun akan datang. Itu berarti setelah gubernur baru terpilih. Demikianlah, persoalan itu akan terus berlanjut dari masa ke masa. Setiap pagustian baru terpilih, penuntasan persoalan batu bara akan kembali diputar dari awal tanpa berujung. Ternyata, menjadi saudagar dan pagustian sungguh menyenangkan.
Keanehan kedua, meskipun telah diputuskan bersalah di depan hukum, pagustian tetap bisa bebas. Itu karena, vonis yang dijatuhkan telah dipotong masa tahanan, meskipun sebenarnya mereka masih berkeliaran. Mereka pun tetap bisa berkilah mereka tidak bersalah.
Keanehan ketiga, Perusahaan Listrik Negara sampai kekurangan batu bara untuk bahan pembangkitnya sehingga harus melakukan pemadaman. Dalam perspektif pada umumnya, tanah banjar ini adalah lumbungnya batu bara apalagi di daerah batu licin yang dekat pembangkit listrik. Mereka pun sangat pintar mencari alasan bukan pintar mencari cara agar listrik tetap menyala. Anehnya juga, meskipun mereka katanya masih kekurangan dana untuk menambah fasilitas pelayanan, mereka bisa menggaji dan honor lain bagi karyawan dan pejabat dengan jumlah yang sangat besar.
Itu menandakan pagustian di tanah ini adalah bubuhan (komunitas) yang sangat pandai berkilah. Mereka melindungi diri mereka dengan melempar kesalahan kepada pihak lain. Kesalahan bisa dialamatkan kepada sistem hukum, orang lain, bahkan kepada alam. Dengan demikian, mereka masih bisa memproklamasikan diri sebagai seorang suci dan hanya menjadi korban dari kebejatan masa lalu. Apalagi, pagustian bisa menjadi dermawan dan menjadi sangat alim.
Berbeda dengan mereka, Sumambing punya cara lain dalam membela diri. Siapakah Sumambing? Sumambing hidup sekitar tahun 70-an dan tinggal di sekitar Bilui (3 km dari kota Kandangan) ada pula yang menyebut dia tinggal di sekitar Ambarai (6 Km dari Kandangan arak ke Loksado). Dia bekerja sebagai seorang tukang (tukang semen).
Sumambing dengan cerdas membuat dalih agar tidak merasa malu. Seperti kebiasaan pada umumnya di daerah Kandangan, sore hari digunakan untuk berkumpul dengan pemuda kampung. Rupanya Sumambing sakit perut. Ketika asyik mengobrol, dia mencret di celana. Dia tidak berani berdiri takut ketahuan oleh pemuda-pemuda yang sering menjadi bahan olok-oloknya. Sumambing tak habis akal. Dia berkata, “Saudara-Saudara!, dalam hidup sekali-kali pasti ada merasa malu. Betul tidak?.
Para pemuda menjawab, “betul, wajar saja jika sekali-kali kita merasa malu”.
Sumambing lega dan berkata, ”saya mencret buhannya ai ”.
Dengan demikian, pemuda-pemuda itu tidak bisa mengolok-oloknya. Dalam kisah lain diceritakan Sumambing yang terjepit tangkai cangkir. Hampir setiap hari Sumambing pergi ke warung untuk minum teh dan kue. Pemilik warung pun menyajikan teh dalam cangkir yang bertangkai. Setelah sedikit berbasa-basi, Sumambing pun minum teh. Karena cangkirnya bertangkai, Sumambing memasukkan jarinya ke lobang tangkai cangkir. Setelah selesai minum Sumambing bermaksud meletakkan kembali cangkir. Akan tetapi, jari Sumambing yang besar tidak bisa dilepaskan dari lingkaran tangkai cangkir. Dia malu jika memberitahu pemilik warung bahwa tangannya terjepit di lobang tangkai cangkir.
Dia bertanya kepada pemilik warung sambil menunjukkan cangkir, ”harga cangkir ini berapa?”
Pemilik warung menjawab, ”seratus rupiah”.
Merasa punya uang untuk mengganti cangkir itu, Sumambing pun memukulkan cangkir ke tiang warung sehingga tangannya terlepas dari jepitan tangkai cangkir.
Di lain hari, Sumambing juga pernah tercebur ke selokan di sekitar Lapangan Pemuda. Tubuhnya yang tidak begitu tinggi menyebabkan dia sulit mengendarai sepeda sehingga dia jatuh ke selokan. Orang-orang yang melihat pun bertanya, ”ada apa Paman?”
Sumambing pun menjawab, ”saya hanya mengukur kedalaman kalian (selokan).
Prilaku Sumambing yang pandai menyembunyikan rasa malu, rasa kalah, atau rasa bersalah itu merupakan sesuatu yang unik. Dia menggunakan wacana yang elegan tanpa menyalahkan orang lain. Kebanyakan kita apalagi politikus lebih pandai membuat wacana yang menyalahkan orang lain bahkan menuding orang lain. Ada juga orang yang menggunakan kewanian agar orang tak mengolok-oloknya. Sumambing tidak menyalahkan orang lain atau membuat orang takut agar tak mengolok-olok. Dia dengan cerdas dan elegan memilih alasan sehingga orang tidak merasa disalahkan. Pendek kata, mekanisme pertahanan diri Sumambing sangat bermartabat dan terhormat.
Sumambing boleh jadi tidak bersama kita lagi tetapi banyak hal yang dapat diambil darinya. Akan tetapi, Sumambing tetaplah Sumambing. Dia mewariskan kelucuan, keluguan, dan pelajaran meskipun kerap satiris bagi orang-orang yang mau berpikir. Itu kadang lebih terhormat dari bubuhan Pagustian di tanah Banjar ini.
Selengkapnya...

UNTUK DIHARGAI HARUSKAH MEMBERONTAK?

IBNU HAJAR : KENANGLAH (JUGA) SEBAGAI PAHLAWAN ?


Urang Banjar yang remaja di tahun 60-an, tentu mengenal nama Ibnu Hajar. Ibnu Hajar adalah figur ganda, di mata teman-temannya sesama pejuang dan urang Banjar, dia adalah pejuang yang gagah berani sekaligus sebagai pemberontak. Pemberontakan terhadap RI yang pernah dibelanya ternyata harus berakhir penuh tragedi. Konon, dia dikhianati oleh H. Dardi, saudara sendiri, sehingga bersedia keluar dari persembunyian dan tangkap penguasa (1963). Janji amnesti ternyata tidak ditepati oleh “Jawa” sehingga dia harus mati diujung bedil tentara.
Sebelum Proklamasi 17 Mei 1949, Ibnu Hajar (IH) adalah komandan pengawal Hassan Basry. Itu menandakan pertama dia adalah orang setia kepada komandan. Kesetiaan IH tentu jaminan mutu. Dia tak mungkin berkhianat dengan melaporkan kepada lawan, apalagi menikam pejuang dari belakang. Kedua, IH adalah orang yang pemberani. Sebagai komandan pasukan pengawal dia tidak hanya memiliki keberanian ekstra menyabung nyawa melindungi pimpinan, tetapi juga tentu memiliki kekuatan supranatural semacam kekebalan dan kesaktian lain. Bisa dipastikan, IH adalah orang yang disegani sekaligus ditakuti oleh sesama pejuang dan lawan.
Pasca Proklamasi 17 Mei 1949, IH mendapat hadiah pangkat Letnan Satu dan menjabat sebagai Komandan Brigade 2, di bawah panglima Divisi Lambung Mangkurat Letkol Hassan Basry. Rupanya, pangkat dan jabatan itu membuat dia kecewa dan memimpin gerakan melawan penguasa "Jawa". Mereka juga menuntut pejabat-pejabat yang dulu bekerja sama dengan Belanda diganti. Sulit mencari argumen bahwa pemberontakan itu secara ideologis adalah gerakan mendirikan negara Islam. Dalam opini yang berkembang di tengah masyarakat pemberontakan itu terkait balas jasa yang diterima IH dan kawan-kawan. Gerombolan IH dikenal nama Kesatuan Rakyat yang Tertindas (KRYT). Informasi dari masyarakat luas, tampaknya, persoalan negara Islam tidaklah menjadi alasan gerakan itu meskipun pada awal IH mengklaim sebagai bagian dari gerakan DI/TII.
Dominannya tudingan bahwa gerakan itu dikaitkan dengan negara Islam merupakan upaya mendiskreditkan umat Islam. Sehingga dengan demikian, Islam dianggap sebuah bahaya untuk kehidupan bernegara. Apalagi ketika itu, komunis menganggap Islam adalah saingan terkuat mereka. Setelah orde baru berkuasa, Islam juga dianggap musuh penguasa.
Pada masa Orde Lama di bawah Presiden Soekarno (1945-1966), Partai Komunis Indonesia (PKI) mendapat angin segar dipuncak kekuasaan. Sehingga PKI leluasa melakukan manuver-manuver untuk menyudutkan umat Islam. Apalagi setelah berhasil mendesak Presiden Soekarno untuk membubarkan Masyumi dan PSI (17 Agustus 1960). Tokoh-tokoh Masyumi dan PSI langsung ditangkapi dimasukkan penjara tanpa diadili. Jangankan tokoh-tokoh Masyumi yang langsung terlibat PRRI, seperti Moh.Natsir dan Syafruddin Prawiranegara, tokoh-tokoh Masyumi yang tidak terlibat pun -- bahkan mengecam pemberontakan -- seperti Buya Hamka, K.H. E.Z. Muttaqien, K. H. Isa Ansyori, Moh. Roem, Prawoto Mangkusasmito, dan Sumarso Sumarson. ikut dijebloskan. Ikut pula masuk penjara,tokoh Islam non-Masyumi K.H. Imron Rosyadi(NU) dan tokoh pers nasional Mochtar Lubis.Mereka dikerangkeng karena dianggap menentang kebijakan Presiden Soekarno yang cenderung pro komunis.Setelah rezim Orde Lama dan Presiden Soekarno tersingkir akibat dampak pemberontakan G30-S/PKI, stigma tersebut tidak ikut lenyap, bahkan semakin menguat. Rezim Orde Baru dibawah Presiden Soeharto (1966-1998), sangat represif terhadap Islam dan umat Islam.
Kenneth E. Ward, menyatakan, rezim Orde Baru (yang dimotori Jenderal Ali Moertopo, Kepala Opsus/Aspri Presiden) memandang Islam melulu identik dengan "Darul Islam" sehingga cenderung hendak menghancurkan Islam. Maka tidak mengherankan, jika kemudian kebijaksanaan politik pemerintah Orde Baru terhadap Islam, amat merugikan umat Islam sendiri, karena kelompok Ali Moertopo yang memegang kendali begitu besar dalam pendekatan kepada umat Islam, berintikan tokoh-tokoh yang tidak Islami bahkan diduga cenderung hendak memusuhi umat Islam
Untuk memperlemah posisi umat Islam, sekaligus mendiskreditkan Islam, lembaga Opsus Ali Moertopo, di satu pihak bergerak mengumpulkan tokoh-tokoh mantanDI/TII dan menghidupkan organisasi Gabungan Usaha Pendidikan Pesantren Indonesia (GUPPI). Di pihak lain merekrut tokoh- tokoh Nasrani dan Cina, seperti Harry Tjan Silalahi, Liem Bian Khoen (Sofyan Wanandi), Liem Bian Kie (Yusuf Wanandi), Murdopo, dan dihimpun dalam lembaga The Center for Strategic and International Studies CSIS).Di dalam GUPPI -- menurut Harry Cahyono -- bercokol orang- orang kepercayaan Ali Moertopo dan Soejono Humardani (Aspri Presiden).
Jika cermat melihat buku-buku sejarah, disitu IH dianggap makar mendirikan negara Islam di tanah Banjar. Buku-buku sejarah, kecuali buku Sejarah Banjar Pemprov Kalsel, tidak mengungkap kebijakan penguasa yang tidak berpihak kepada urang Banjar, pembela RI tak berselang lama.Buku sejarah yang cenderung mencap "Islam" sebagai biang tindakan makar, sangat mungkin, merupakan salah satu hasil kerja mereka.
Pemberontakan IH tampaknya tidak terkonsolidasi dengan baik. Anak buahnya, yang dikenal masyarakat dengan istilah "gerombolan" banyak melakukan perbuatan kriminal. Di daerah Longawang, Kandangan misalnya, mereka melakukan pembakaran pasar. Selain suka meminta bahan pangan, mereka juga gemar membunuh atau menculik anak gadis. Orang tua yang tinggal di Padang Batung niscaya dapat menyebut nama anggota gerombolan yang membunuh itu. Kebijakan belakangan, mereka akhirnya mendapat amnesti dari penguasa. Meskipun, anggota gerombolan itu adalah keluarga atau tetangga, secara politik, gerakan itu tidak mendapat simpati dari rakyat Banjar.
Rakyat pedesaan ketika itu mendapat tekanan dari "gerombolan" sekaligus selalu dicurigai sebagai anggota pemberontak. H. Kaderi, seorang ulama di Longawang terpaksa menghindari kekacauan itu dengan berhijrah ke daerah Kotabaru. Ternyata, menghindar dari mulut singa, masuk ke mulut buaya. Di Kotabaru justru gerombolan itu lebih banyak. Di situlah, beliau sempat bertemu dengan Ibnu Hajar. Kesan yang muncul, menurut beliau, Ibnu Hajar adalah baik. Setelah delapan tahun di tanah perantauan, H. Kaderi kembali ke tanah Longawang. H. Kaderi hanya salah seorang contoh korban perseteruan antara penguasa dengan rakyatnya yang kecewa. Selain H. Kaderi, banyak kaum jaba yang harus kehilangan anak gadisnya, harta, bahkan nyawa mereka sendiri.
Walaupun yang memberontak mayoritas mengatasnamakan Islam, tapi yang menjadi korban terbesar adalah umat Islam. Orang-orang pedesaan yang rata-rata taat beragama (Islam), hidup dalam kesulitan amat sangat. Oleh pihak Mobrig (sekarang: Brimob) dicurigai sebagai anggota atau simpatisan "gerombolan" karena sama-sama Islam. Oleh "gerombolan" disangka mendukung Mobrig karena tidak mau ikut "naik" ke gunung. Di tengah tekanan dari kedua belah pihak, masyarakat pedesaan hidup dalam kesengsaraan lahir batin. Akan tetapi, mereka tetap tabah dan tak (mampu) menyalahkan siapa-siapa.
Rakyat yang pulang dari pasar dirazia. Bahan pangan yang sudah dibeli akan dirazia oleh Mobrig. Jangan berharap bisa membawa pulang ke rumah iwak garih (ikan gabus asin), beras dan bahan pangan lain bila bertemu razia Mobrig. Mobrig beranggapan makanan itu akan dipasok kepada "gerombolan". Karena orang desa selalu dimintai makanan oleh "gerombolan" dengan disertai ancaman, mereka pun terpaksa mengakali aparat penguasa yang razia. Iwak garih disimpan dibawah tempurung yang dibawanya. Demikianlah, kaum jaba selalu dalam posisi yang terjepit dan terancam.
Begitulah, Ibnu Hajar mengajarkan kepada urang Banjar bahwa gerakan sosial mendobrak kekuasaan yang mapan selalu menyisakan penderitaan bagi rakyat jaba. Meskipun demikian, penguasa zalim kepada rakyat jelata harus terus dilawan, karena di negeri ini, daerah yang melawan penguasa akan diberi uang dan keistimewaan lain. Aceh, dulu Timor Timur, dan Irian adalah contoh yang nyata betapa mereka mendapat porsi lebih. Seperti kata Nyai Oentosorah, “kita harus melawan dengan sebaik-baiknya dan sehormat-hormatnya”.
Selengkapnya...

DINA SAFITRI, RAIHAN, DAN MTQ

Tak berselang lama sebelum Pemerintah Provinsi menggelar Musabaqah Tilawatil Quran Provinsi dan Pekan Olah Raga Provinsi dengan biaya yang tidak sedikit, Dina Safitri (19 bulan) dan Raihan (13 bulan), sedang berjuang mempertahankan hidupnya. Dia miskin, kurus, matanya cekung. Nyawanya akhirnya tak tertolong. Ketika pemerintah provinsi sedang mempertimbangkan mengeluarkan uang milyaran rupiah untuk landasan pesawat yang hanya dipakai setahun sekali, ada Kicut harus menderita dengan kakinya yang semakin membesar sementara, ada Sa’dilah yang tampak lemah. Kedua-duanya, seperti diberitakan Banjarmasin Post menderita penyakit yang berbeda tetapi penderitaan yang tak jauh berbeda. Sa’dillah konon menderita hepatitis dan Kicut menderita penyakit kaki gajah. Keduanya sama-sama dalam ketiadaan biaya.Bagaimana MTQ bisa dilaksanakan dengan gegap gempita sementara ada Sa’dillah, Kicut, Dina, Raihan, Nisa, Masriah, Aminah lain yang dan mungkin ratusan bahkan ribuan anak-anak lain yang menderita gizi buruk dan penyakit hanya karena kemiskinan? Beberapa dari mereka diekspos di koran kemudian pejabat berbondong-bondong memberikan pertolongan. Namun apa pun yang telah dilakukan, ada banyak orang tak berdaya, menderita, dan bahkan sedang meregang nyawa di sekeliling kita. Langkah media mengekspos penderitaan orang papa memang patut diacungi jempol dan terbukti telah turut punya andil meringankan. Mauladana (6 tahun), penderita luka bakar, telah dioperasi atas inisiatif koran ini. Dalam keadaan demikian, apa urgensinya dari MTQ itu sehingga harus mengeluarkan dana ratusan juta rupiah bahkan milyaran rupiah? Sebagai seorang muslim, kita tentu sepakat bahwa Alquran harus dijadikan bacaan, pedoman, petunjuk, pembeda serta sumber ajaran Allah. Akan tetapi, MTQ menjadi tidak penting disaat masih banyaknya orang miskin, gizi buruk, jalan dan fasilitas umum yang masih jauh dari harapan. Dana ratusan juta apalagi milyaran rupiah akan sangat berarti jika digunakan untuk memperbaiki jalan, sekolah atau membantu para dhuaafa yang masih ditemukan di provinsi ini. MTQ akan semakin kehilangan makna jika utusan yang ikut bertanding bukan hasil binaan kabupaten/kota tetapi hanya jemputan dari daerah atau pulau lain. Fenomena itulah yang selalu terjadi setiap MTQ dilaksanakan. Selama ini, MTQ telah terlanjur dijadikan sebagai sesuatu yang sakral dan merupakan bagian ajaran agama (baca Islam). Siapa yang tidak setuju dengan MTQ, dia layak dicap sebagai penentang Islam dan membenci Alquran. Oleh karena itulah, MTQ akhirnya dijadikan sebagai ajang pamer kedermawanan para orang kaya. Semakin banyak menyumbang untuk MTQ, semakin dermawanlah mereka. Orang kaya itupun dianggap sebagai orang kaya yang mencintai agama dan Alquran.Begitulah para pengusaha di banua ini. Tampaknya, lebih menyukai memberikan uangnya kepada masjid, ulama, atau menambah mobil mewah di garasi mereka. Sangat jarang para orang kaya di banua ini terdengar membantu orang sekolah, membantu dhuafa, atau menyantuni fakir miskin secara berkala. Kalau pun ada, mereka lebih senang membantu dalam momen tertentu dan tidak berkelanjutan. Tidak ada satu sekolah pun di banua ini yang berdiri atau dibantu oleh pengusaha sehingga menjadi besar dan unggul. Banyak orang kaya pintar memakai kedermawanan sebagai topeng dari sumber kekayaannya yang sebenarnya merugikan orang banyak. Pernahkah anda mendengar tentang seorang kaya yang menyumbang puluhan juta untuk pembangunan masjid atau membelikan mobil untuk ulama? Dengan kedermawanannya itulah publik tersihir seolah pengusaha itu adalah orang yang baik hati dan peduli kepada masyarakat. Publik lupa mempertanyakan dari mana kekayaannya itu diraup atau jangan-jangan itu semua bersumber dari eksplorasi sumber daya alam yang sebenarnya merugikan orang banyak. Uang puluhan juta itu memang sangat berarti bagi publik tetapi uang puluhan juta itu sangat sedikit jika dibandingkan harga dan pajak mobil mewah mereka yang sampai ratusan juta atau bahkan milyaran rupiah.Ribuan orang setiap tahun ke Tanah Suci berkali-kali. Ribuan orang pergi umrah --juga berkali-kali. Ribuan orang, di antaranya pejabat, anggota parlemen, politisi, dan pengusaha berpergian ke luar negeri. Ratusan ribu orang-orang kaya, yang di antaranya mungkin tak pernah meninggalkan shalatnya, menghabiskan jutaan rupiah untuk merebut kesenangannya. Banyak orang mengeluarkan uang untuk mendapatkan jabatan. Bayangkan jika uang itu orang kaya dikumpulkan untuk kaum dhuafa. Berapa banyak kaum dhuafa terbantu? Berapa banyak orang-orang miskin selamat dari gizi buruk, berapa banyak mereka tidak lagi terpaksa menggadaikan harga diri dan agamanya?Dina Safitri dan Raihan menderita. Ribuan lain juga bernasib sama. Mereka tak memerlukan politisi yang bertengkar, saling menyalahkan, dan mencari celah agar dianggap sebagai pahlawan. Mereka tak memerlukan Radja, Peter Pan, Samsons, Ello, infotainment dan cerita-cerita tentang perselingkuhan. Mereka tak membutuhkan mal-mal baru untuk orang-orang memamerkan kekayaannya. Mereka tak perlu pertandingan motocross atau sepakbola. Nanang dan Galuh Banjar sudah pasti tak mereka perlukan. Semua orang harus segera memberikan pertolongan karena kemiskinan dan ketidakberdayaan masih banyak di sekeliling kita. Ironisnya, pada saat bersamaan, sebagian dari kita dengan gagah mengeluarkan puluhan juta rupiah menyumbang untuk klub sepakbola, melaksanakan kejuaraan motocross atau melaksanakan ulang tahun BPK di kampungnya. Kita lebih suka bertengkar tentang RUU Antipornografi dan Pornoaksi, lebih suka menyalahkan pemerintah seakan pemerintah memiliki lampu Aladin yang dapat melakukan apa saja seketika.Dina dan Raihan serta puluhan ribu anak-anak remaja lainnya juga menderita. Mereka membutuhkan kepedulian, kasih sayang, dan cinta kita. Jangan biarkan mereka letih mengetuk-ngetuk pintu rumah kita, karena jemarinya sangat lemah: Bukalah pintu selebar-lebarnya untuk mereka, anak kita, yang kedinginan dan dalam gulita.
Selengkapnya...

BUAT PA HERMANI

BRIEF ENCOUNTER WITH HERMANI ABDURAHMAN
(Catatan Menjelang Suksesi Bank BPD Kalsel)

Brief incounter (pertemuan singkat) adalah judul sebuah film yang menceritakan tentang pertemuan seorang perwira Amerika dengan seorang gadis Inggris di London saat Perang Dunia ke-2. Mereka bertemu, menjalin cinta, merajut asmara dan akhir berujung duka, sang perwira gugur di medan laga. Suksesi jajaran Bank BPD Kalsel (selanjutnya disebut BPD) yang sekarang sedang bergulir mengingatkan saya kepada brief encounter dengan bapak Hermani Abdurahman, Direktur Utama Bank BPD Kalsel. Meskipun tidak saling mengenal, setiap saya bertemu dengan Pak Hermani beliau selalu menyapa dan tersenyum. Tidak keliru bila senyum lalu dipakai sebagai tolok ukur tingkat kemanusiaan atau keberadaban seseorang. Seorang yang banyak tersenyum, secara umum, adalah orang yang memiliki tingkat kemanusiaan tinggi. Sebaliknya, manusia susah senyum dapat dibilang bernilai kemanusiaan rendah. Kita bisa saja berusaha untuk dapat sebanyak mungkin tersenyum. Apa pun keadaan yang kita hadapi. Para pekerja hotel dan restoran terlatih tersenyum walaupun kantung lagi bolong. Bahkan, saat anaknya sakit di rumah. Pak Hermani, niscaya, bukan lah model pekerja restoran atau hotel yang dilatih untuk tersenyum sehingga perlu tersenyum untuk saya. Jika saya adalah nasabah kakap bank BPD Kalsel wajar beliau menebar keramahan tapi saya bukan apa-apa. Nasabah pun tidak. Saya yakin, beliau tersenyum karena adanya stimulan untuk bisa tersenyum tulus. Senyum begitulah yang menenteramkan hati. Senyum begini yang stimulannya harus terus kita cari.Sayangnya, Pak Hermani tidak termasuk dalam tujuh orang calon Direktur Utama Bank BPD Kalsel yang akan mengikuti fit and proper test Bank Indonesia. Padahal keuntungan yang telah diraup BPD pada masa kepemimpinan beliau berlipat-lipat jika dibandingkan dengan jangka waktu yang sama sebelum beliau.Mungkin beliau akan berpindah ke lembaga perbankan lain yang lebih menghormati prestasinya. Akan tetapi, yang pasti Pak Hermani tidak mungkin lagi di jajaran pimpinan Bank BPD Kalsel. Jika itu terjadi tentu merupakan hal sangat disayangkan. Saya kuatir suksesi BPD telah dimuati unsur kepentingan politik menyongsong Pilkada 2010. Terlalu jauh memang tetapi melihat gelagat, potensi besar dan jaringan BPD Kalsel, hal itu bukan merupakan hal yang mustahil. Pak Hermani diharuskan ikut fit profer test ,barangkali, karena dinilai tidak kooperatif dengan kepentingan politik pagustian yang tengah siap-siap menyongsong Pilkada. Maka dicarilah Direktur yang sanggup mendukung kepentingan politis tertentu. Wallahu’alam. Satu pilihan setelah lengser dari Bank BPD Kalsel adalah terjun ke dunia politik Pilihan itu memang mirip dengan dunia perbankan. Medan politik selalu berfondasikan pada kalkulasi kekuatan siapa bakal menang atau siapa yang paling menguntungkan bagi diri sendiri maupun kawan-kawan. Bukan medan politik semacam itu yang harus diikuti oleh Pak Hermani, model yang cocok adalah politik tinggi. Medan politik tinggi selalu berpijak pada gagasan bagaimana semestinya bangsa ini melangkah, serta pada kapasitas untuk terus memperkuat gagasan tersebut sehingga siapa pun yang berkuasa akan terpaksa mengikutinya. Pak Hermani, tampaknya, punya kapasitas itu. Pak Hermani punya perspektif politik yang jelas untuk Kalimantan Selatan. Satu dua kali beliau pernah menjelaskan kesejahteraan rakyat Kalsel dengan konsep tripartite, pemerintah, perbankan dan pengusaha. Semua itu adalah modal terjun ke politik tinggi. Masalahnya tinggal soal kendaraan, yang hanya merupakan soal kecil. Di banua ini masih cukup banyak para begawan, para arif, yang akan terus bersuara bening. Sayang suara mereka selalu terkubur oleh riuh rendah politik praktis. Ada Kamrani Buseri, Guru Besar Pendidikan Islam, yang tak pernah sudi terjerumus permainan politik yang penuh aroma uang. Ada lagi Gusti Rusdi Effendi pengusaha media yang dermawan dan disegani, A. Gazali mantan pejabat yang peduli pendidikan, ada Prof. H. M. Asywadie Syukur, ada Rasmadi, Baderani, Syamsiar Seman, dan tokoh lain yang tidak lagi terkendala oleh kepentingan pendek. Mereka lebih tulus buat memikirkan banua. Pak Hermani cukup duduk bersama mereka, membuat forum untuk secara bersama mengeluarkan pemikiran substantif tentang kemajuan banua secara berkala. Untuk melangkah ke sana, forum itu memang perlu mengambil jarak dari partai karena kebanyakan partai lebih hebat dari bankir manapun soal hitung menghitung, uang dan untung rugi.Akan tetapi, dalam forum itu, jabatan dan uang bukan masalah yang perlu dipersoalkan karena sudah banyak yang memikirkannya. Justru masyarakat dan banualah yang harus dipikirkan karena tak banyak lagi yang memikirnya.
Selengkapnya...

HUT BHAYANGKARA 2007

TERPESONA DI HADAPAN BRIGADIR
(UNTUK POLISI BAIK HATI)

Polisi di mata masyarakat merupakan sosok mempesona sekaligus harus dijauhi. Menurut asumsi mereka, dua hal yang harus dihindari dalam berurusan adalah rumah sakit dan polisi. Hasil bacaan masyarakat terhadap polisi dapat digambarkan bahwa, pertama, tidak bisa dipungkiri polisi, sebagai pribadi dan sebagai lembaga, merupakan figur yang mempesona. Oleh karenanya, tidak mengherankan setiap penerimaan calon bintara baru, Sekolah Polisi Negara selalu kebanjiran pelamar. Meskipun harus bertaruh nyawa karena tak ada penjahat yang sukarela ditangkap, gaji dan status sosial sebagai seorang polisi dinilai lebih baik dari pada pegawai negeri lain. Oleh karena itulah, para orang tua pragmatis dan banyak uang rela membayar agar anaknya diterima bersekolah di sekolah polisi itu. Mereka lebih memjadikan anaknya polisi daripada harus membiayai kuliah yang tak tentu masa depannya.
Pernah saya mendengar kabar burung tentang tarif untuk menjadi seorang brigadier yang berkisar 15 sampai 40 juta. Mungkinkah polisi yang masuk dengan jalan itu akan dapat menjadi pelayan masyarakat yang baik kelak, ataukah justru menjadi benalu masyarakat? Realitas seperti ini merata hampir di seluruh wilayah negeri ini. Sebuah wajah yang, saya percaya, hendak diubah oleh Jenderal Sutanto dan seluruh polisi di negeri ini, meskipun mereka telah merasakan nikmat menjadi ''polisi''.
Terlepas dari hal itu, polisi tetaplah dianggap sebagai seseorang yang mempunyai power. Dia disegani bukan karena kewibawaannnya tetapi lebih cenderung karena kekuatannya, senjata, dan jabatannya sebagai seorang polisi. Jika meminjam istilah Joseph S. Nye, Harvard University, polisi merupakan sosok yang memiliki hard power. Instrumen hard power bisa hukuman, sanksi, uang, kekerasan, juga bayaran.
Kedua, meskipun mempesona, polisi sekaligus juga menuai stigma (dinilai negatif). Polisi baik hati dianggap masyarakat telah hilang di tanah ini. Setiap berhubungan dengan institusi bernama polisi, masyarakat mengaitkan dengan sikap korup. Argumen apapun untuk menyangkal itu, masyarakat tetap saja mengatakan bahwa polisi adalah kumpulan orang-orang korup. Polisi yang baik hati tentu saja masih ada tetapi hanya beberapa orang saja. Mereka hanya bisa hidup sederhana jauh dari kemewahan. Di asrama, polisi jujur dan baik hati membuka toko keperluan sehari-hari sementara dia pergi ke kantor mengendari motor dinas.
Mengapa opini negatif selalu melekat dengan korps kepolisian? Sejak penerimaan polisi baru sebenarnya citra polisi telah dipertaruhkan. Proses penerimaan yang sarat kepentingan, korup, dan permainan kotor lain akan berpengaruh kepada citra polisi-polisi produk sekolah itu. Hal itulah yang selalu disebut-sebut masyarakat. Spanduk yang bertulisan “tidak dipungut biaya” semakin menegaskan bahwa penerimaan itu memungut bayaran. Tentu saja, membuktikan adanya “uang haram” dalam proses penerimaan siswa adalah hal mustahil.
Usai pendidikan, citra polisi pun kembali dipertaruhkan. Kabar buruk mengenai polisi yang main tembak, mengkonsumsi bahkan menjadi bandar Narkoba, dan tindak lain melawan hukum menjadikan korps itu bertambah cemar. Misi polisi melindungi dan melayani masyarakat tidak lagi relevan di saat mereka menjadi raja tega menembak rakyat jelata karena alasan sepele. Polisi yang semestinya berlaku adil tanpa diskriminasi melayani rakyat, kerap tidak tegas kepada orang-orang yang berduit. Polisi kadang tegas menangkap rakyat kecil tetapi sangat tidak tegas terhadap prilaku kriminal orang kaya.
Di situlah tampak bahwa polisi telah kehilangan keikhlasan dalam melayani dan melindungi masyarakat. Semua diukur dengan uang, uang, dan uang. Ketika gaji tidak cukup lagi, akhirnya polisi yang semestinya menumpas bandar Narkoba, menjadi bandar atau hanya sekedar beking pelaku kriminal. Tentu saja itu adalah gambaran sebagian kecil dari polisi-polisi kita. Mereka adalah anomali (penyimpangan) yang sedang diberantas oleh korps kepolisian.
Polisi baik hati masih ada dan hidup di tengah kita. Mentor saya adalah seorang polisi yang dermawan berpangkat Komisaris Besar Polisi. Di waktu luang, kami kadang berbincang tentang banyak hal sampai tengah malam. Persoalan pendidikan bagi kaum jaba sering menjadi topik diskusi. Rupanya dia tidak hanya pandai bicara, uang jutaan rupiah pun dia sumbangkan untuk pendidikan tanpa publikasi. Itulah bedanya dengan pejabat-pejabat lain yang sangat senang jika sumbangannya diekspos besar-besaran di media massa. Sayangnya, beliau sekarang tak lagi bertugas di tanah Banjar ini.
Menjadi polisi baik hati dan jujur memang perkara sulit dan harus siap untuk lambat mendapat jabatan. Bagaimana bisa ikhlas dan jujur melindungi dan melayani jika kebutuhan keluarga masih belum tertutupi. Setiap manusia, tidak hanya polisi, ketika tuntutan hidup semakin sulit dipenuhi keimanan pun diuji. Menjadi polisi baik hati dan jujur atau menjadi polisi korup adalah dua pilihan yang sulit. Akan tetapi, disitulah keimanan dan pengabdian di uji. Siapa yang istiqamah, tidak hanya dihargai didunia tetapi kelak di akhirat. Mengenai perkara ikhlas dan jujur, jangankan polisi, para ulama saja sangat sulit melaksanakannya. Tidak mengherankan jika ada ulama yang tega membatalkan ceramah, padahal sudah dijadwalkan, hanya karena mendapat undangan ceramah ditempat lain yang lebih tebal amplopnya.
Polisi yang ikhlas, jujur, dan baik hati disegani bukan karena senjata atau tanda pangkatnya. Akhlaknya diteladani, tutur katanya dituruti, dan sikapnya menjadi panutan. Meskipun telah purna tugas, dia tetaplah dihormati oleh masyarakat. Itulah bedanya dengan polisi korup yang dicibir masyarakat ketika sudah sepuh, sakit-sakitan, diserang stroke atau tak punya kekuasaan lagi. Di hari Bhayangkara 2007 ini, tentu polisi bisa memilih.
Selengkapnya...

APA KABAR KALSEL ...



Jika pernah menempuh perjalanan ke Kalteng melalui darat, apakah ciri pertama yang dirasakan ketika memasuki provinsi tetangga itu? Tidak perlu sekolah tinggi, jawabannya mudah sekali. Jalan raya yang terpelihara. Di kiri kanan jalan Kabupaten Kapuas yang berbatasan langsung dengan daerah Anjir Barito Kuala itu rumput-rumput dipotong rapi dan dipinggir jalan ditanami pohon-pohon. Kondisi badan jalan pun relatif mulus di bandingkan dengan jalan di wilayah Anjir yang rusak parah. Para sopir sulit memilih jalan sehingga sesekali bagian sasis atau bagian bawah mobil lain harus beradu dengan tanah. Itu menunjukkan lobang dijalan sudah sangat dalam.
Sulit mencari alasan mengapa jalan di Anjir (baca: Kalsel) harus kalah dengan Kapuas (Baca : Kalteng). Notabene jalan di Anjir sama dengan jalan di Kapuas. Dua jalan itu sama statusnya jalan lintas provinsi. Anehnya, jalan di wilayah Kalsel sangat buruk dan di wilayah Kalteng sangat baik.
Ternyata, kenyataan itu tidak hanya di Anjir. Cobalah melintasi jalan menuju daerah Tanjung. Sejak Martapura yang meraih Adipura Kalsel, kerusakan jalan mulai di rasakan. Kita jangan berharap sepanjang jalan terlihat rumput yang dipotong rapi atau pohon-pohon yang di tanam di pinggir jalan. Sebaliknya, jalan yang rusak adalah sesuatu yang lumrah ditemukan. Pemerintah Kalsel bukan tidak peduli. Setiap tahun jalan-jalan itu diperbaiki dengan dana milyaran rupiah tetapi tak berselang setahun jalan itu rusak kembali. Apa yang salah di banua ini? Padahal mayoritas penduduk banua adalah muslim yang konon jujur dan senantiasa memelihara ciptaan Tuhan.
Jika Kalsel harus berhadapan (vis a vis) dengan Kalteng, itulah kekalahan pertama. Tanpa menggunakan teori-teori yang kadang tidak dipahami, itulah ketertinggalan Kalsel dari Kalteng, sebuah provinsi yang pantas disebut “adik”. Argumen-argumen bisa diungkapkan pagustian di tanah Banjar tetapi kaum jaba hanya bisa melihat kenyataan.
Dalam Seleksi Tilawatil Quran (STQ) yang baru berakhir (02 s.d 08 Juni 2007) di Jakarta, perolehan medali Kalsel, konon, berada di bawah Kalteng. Sayang, saya tidak menemukan hasil lengkapnya di website. Kalimantan Selatan yang konon terkenal Islam-nya, agamis, dan symbol kejayaan Islam harus bertekuk lutut di hadapan Kalteng yang bukan bercirikan Islam. Itulah kekalahan kedua tanah Banjar. Dimana kesalahannya? Pembinaan mungkin sudah cukup intens. LPTQ Kalsel dan pihak berwenang jelas telah bekerja keras seperti halnya daerah lain. Kalteng mengangkat pelatih asal Kalsel itu pertanda kualitas Banjar tidak bisa diremehkan.
Kekalahan itu jangan-jangan karena para juara di tingkat provinsi adalah hasil permainan kotor. Dengan kata lain, uang yang menentukan siapa yang menjadi juara di tingkat provinsi. Dengan demikian, sesungguhnya yang mewakili Kalsel di tingkat nasional tidak berhak dan tidak pantas menjadi wakil Kalsel karena kualitasnya rendah. Mereka menang karena keputusan telah dikpengaruhi uang haram jadah.
Jika demikian, alangkah kotornya banua ini. Alquran yang untuk disentuh saja harus berwudhu dengan tega dikotori “uang haram” hanya untuk mendapat pengakuan semu. Pengakuan bahwa kabupaten/kota yang bersangkutan adalah tempat yang sangat peduli dengan perkembangan Islam dan Alquran. Jika benar, itulah tragedi terbesar dalam perjalanan sejarah banua ini. Semoga itu salah dan tidak terjadi.
Alquran saja bisa dikotori dengan uang haram apalagi hal lain. Jalan, rumah sakit, pertambangan, lapangan udara, pelabuhan laut, pasar, polisi, dan semua bidang tidak mustahil merupakan tempat beredar uang-uang haram. Kita pantas heran melihat sikap bangsa ini yang sama sekali tidak tergerak untuk menyudutkan koruptor. Masyarakat kita memang cenderung hormat pada setiap orang kaya yang suka membantu sekitarnya, apalagi jika menyentuh soal “agama”. Dari mana asal kekayaan itu bukan hal yang dianggap penting. Masyarakat kita juga masyarakat yang gampang menerima, bahkan juga meminta. Kemajuan macam apa yang akan diperoleh dari mentalitas seperti itu?
Budayawan Muchtar Lubis di akhir 1970-an dihujat karena menulis 'Ciri Manusia Indonesia'. Ia tak ingin bangsa ini berpuas-puas memandang potret baiknya sendiri. Sebaliknya, ia menilai bahwa sungguh penting untuk mau pula melihat potret buruknya sendiri. Hanya dengan jalan itu kita dapat memperbaiki diri buat melangkah maju. Hanya dengan jalan itu kita dapat terbebas dari kehipokritan, kemalasan, dan banyak penyakit mental lainnya. Jadi maafkan.Tulisan ini sekedar bertanya.


Selengkapnya...