Wednesday, July 25

MY BELOVED

Sabtu, 10 Juli 1999, adalah hari yang selalu saya ingat dengan baik. Pada hari itulah tulisan pertama saya dimuat di Banjarmasin Post. Tulisan berjudul “Turut Mendiskusikan Presiden Perempuan” itu saya baca berulang-ulang. Sebagai seorang mahasiswa, ketika itu, membaca tulisan karya sendiri di sebuah koran besar dan mendapat uang honor adalah sesuatu yang sangat berarti. Belakangan, saya menjadi sangat suka menulis tidak hanya di Bpost. Tanpa mengecilkan media massa lain, sampai pada akhirnya, saya “bangga” mengirim tulisan hanya ke Bpost. Just Bpost.
Mengapa demikian? Jawabannya sesungguhnya sangat pragmatis. Pertama, penyebaran Bpost relatif lebih luas dibandingkan dengan media massa lain di Kalimantan. Kedua, tidak lebih dari alasan honor. Meski tidak cukup untuk membayar kredit rumah, tetapi cukuplah membayar rekening listrik dan ledeng.
Tidak hanya sampai disitu, perkara inovasi di bidang teknologi informasi, Bpost layak diacungi empat jempol. Ketika pergi ke suatu wilayah yang tidak bisa menemukan Bpost atau ke luar negeri, saya selalu surfing ke website Bpost. Bahkan ketika di Banjarmasin pun, yang notabene dengan mudah memperoleh Bpost, saya tidak pernah absent surfing setiap subuh melalui fasilitas GPRS telepon genggam sekedar melihat judul berita dan artikel opini. Web site yang diupdate setiap hari menjadikannya tidak hanya dikonsumsi lokal tetapi oleh orang-orang seantero dunia. Suatu hari saya menerima email dari seorang professor Universiti Kebangsaan Malaysia. Beliau kenal saya, karena tulisan di Bpost. Di sini, Bpost berpahala karena telah menyambung silaturahmi dengan seorang professor di Malaysia.
Ibarat seorang remaja, saya adalah lelaki dewasa yang hanya mencintai seorang wanita. Meskipun, pada saat remaja, saya adalah seorang lelaki yang suka menebar janji ke puluhan wanita. Kini, saya telah menemukan cinta di harian terbesar di Kalimantan Selatan itu. Di Bpost, cukuplah sudah cinta saya berlabuh.
Di usia 36 tahun, Bpost telah menjadi sebuah surat kabar (SK) lokal yang menjadi ikon Kalimantan Selatan. Di tengah persaingan dengan media massa lain, Bpost tampil dalam reputasi yang unggul. Paling tidak ada dua hal yang menjadikannya terdepan. Pertama, dalam sudut pandang teknologi, Bpost adalah sosok yang lengkap. Bpost telah melengkapi dirinya dengan website yang update serta SMS berita singkat yang dikirim setiap bagi. Yang terbaru adalah fasilitas balasan otomatis jika kita mengirim ke email redaksi Bpost. “Kami telah menerima dan akan segera merespon email Anda dalam waktu selambat-lambatnya 2 x 24 jam”, begitulah bunyi email dari redaksi pertanda email kita telah diterima mereka. . Dan itu belum ada di SK di banua ini.
Kedua, penyebaran Bpost yang menjangkau pelosok. Penyebaran itu menjadikannya sebagai SK paling berpengaruh di Kalimantan Selatan. Bagi urang Banjar terutama yang dipelosok ditanyakan tentang SK pastilah bayangan mereka adalah Bpost. Bukan surat kabar lain.
Meskipun demikian, persaingan tetaplah ada. Tidak hanya dengan SK tetapi juga dengan media massa lain: televisi, radio, dan internet. Oleh karena itulah Bpost semestinya mampu menempatkan positioning yang tepat. Itu yang barangkali belum sepenuhnya dilakukan Bpost. Tampaknya, Bpost telah mencitrakan dirinya sebagai SK dan untuk orang kaya saja. Jika diamati, rubrik tentang arsitektur rumah (terbit hari Minggu) dan gosip tentang selebritis, sesungguhnya menunjukkan itu. Desain interior dan eksterior rumah yang ditampilkan adalah rumah-rumah orang kaya. Sangat jarang, bahkan tidak ada, dibahas tentang penataan interior dan eksterior rumah sederhana. Seolah Bpost hanya dibaca orang kaya, pemilik rumah bak istana. Bpost juga sangat senang dengan berita tentang galuh Banjar, pemilihan puteri-puterian, kontes menyanyi (idol, KDI, AFI), dan kegiatan lain. Simaklah juga rubrik hotline. Tampaklah kepentingan publik harus berbagi dengan iklan milik kaum pemodal.
Pemilihan berita semacam itu menjadikannya berposisi tidak berada di tengah pembacanya tetapi hanya untuk orang-orang kaya. Pembaca dari kalangan rakyat jelata tidaklah sempat menyimak tentang gosip perceraian artis, puteri Indonesia, atau KDI. Sebagai pencinta Bpost, saya tentu tak ingin dia terbit dan diperalat oleh pemilik modal atau penguasa. Semua orang ingin Bpost berpihak kepada rakyat jelata.
Ketika Bpost dengan baik sekali memberitakan tentang anak yang ditolak sekolah karena dia cacat tangannya, saya merasa itulah positioning Bpost yang sangat tepat. Ketika Bpost membuat liputan tentang anak yang menderita penyakit, kemudian ada orang yang menolongnya sampai berobat ke Australia, disitulah sesungguhnya Bpost telah hadir untuk rakyat jelata. Tentu saja, semua orang yang terlibat di BPost akan mendapat pahala melebihi si penolong yang kadang gila publikasi. Berpihak kepada orang banyak dan rakyat jelata cukuplah buat Bpost. Bukankah penguasa dan orang kaya sudah banyak yang mengistimewakan? Selamat Ultah Bpost
Selengkapnya...

Sunday, July 22

BUAT BIDADARI KECIL KAMI


“Anakku, bermainlah dengan mainan buatanmu sendiri”

Dulu saya mengira menjadi ayah dan memiliki anak hanya sekedar bermain dan bermain dengan si kecil. Ternyata menjadi orang tua tidak hanya sebatas itu. Menjadi orang tua penuh konsekuensi. Sejak kehamilan, gundah gulana, gelisah tentang bagaimana si kecil lahir. Sehatkah dia atau jangan-jangan dia akan lahir tidak sempurna. Pertanyaan itulah yang kerap muncul. Setelah si kecil lahir, orang tua tidak lagi bisa nyenyak tidur siang dan malam hari. Tengah malam, mereka harus rela berbagi waktu dengan si kecil yang sering menangis karena popoknya basah. Belum lagi jika si kecil sakit. Orang tua hanya harus menyiapkan mental, uang pun wajib disediakan.

Tanggung jawab yang lebih berat kemudian menghadang tatkala si kecil beranjak besar. Food, fashion, fun, faith, fear, facts, fiction, dan formulation menjadi hal yang harus diwaspadai orang tua masa kini. Anak-anak kita sekarang dapat dengan mudah disuguhi ayam goreng Amerika, hamburger, pizza, kebab Turki dan beragam makanan import lain. Pendek kata, anak di pelosok banua telah turut merasakan globalisasi makanan. Coba tanya anak-anak sekarang apakah mereka masih mengenal cangkaruk, cucur, cincin atau wajik? Makan impor bukan hanya perkara globalisasi, tetapi ternyata juga menyangkut halal haram campuran dalam makanan itu. Mengetahui zat dalam makanan import tidak bisa dengan kitab kuning. Itulah tantangan kita sekarang.

Pakaian model bagaimana yang tak ada di tanah Banjar? Dari yang berjilbab sampai keliatan pusar dan “maaf” pangkal bokong sudah menjadi fashion di tanah ini. Soal malu jangan ditanya lagi. Pantat yang bisa di lihat sudah menjadi pemandangan umum. Itulah tantangan kedua anak-anak Banjar.

Bagaimana soal hiburan (fun) bagi anak-anak? Hiburan tidak hanya sebagai pengisi waktu dan pelepas lelah. Hiburan bisa juga menjadi agen demoralisasi atau menjauhkan dari nilai-nilai agama. Ketika sinetron percintaan, hantu, tahayul berkedok religi menjadi hiburan remaja nilai apa yang bisa diambil dari situ selain menjual mimpi? Anak-anak sudah mulai asing dengan permainan dari alat yang dibuatnya sendiri. Mereka lebih menyukai game play station dan film kartun atau daripada mengasah keterampilan membuat mobil-mobilan dari pelepah rumbia.

Tidak hanya itu, pandangan tentang Tuhan, agama, dan kepercayaan semakin beragam. Semakin terbukanya akses informasi, pendidikan yang semakin tinggi, mendorong lahirnya pandangan-pandangan keagamaan baru. Semuanya mengklaim sebagai sebuah kebenaran. Pendek kata, anak-anak harus siap menerima perbedaan. Bahwa perbedaan tidak harus dihindari tetapi diterima sebagai fakta yang tidak bisa dipungkiri.

Semua itu akan memunculkan “ketakutan” bagi masyarakat dunia. Ketakutan di satu bagian bumi juga akan berimbas ke bagian lain. Itulah globalisasi. Apalagi, antara fakta dan fiksi sangat sulit untuk dibedakan. Semuanya bisa diolah dan diformulasikan sehingga seolah benar.

Apa yang bisa dilakukan menghadapi tantangan itu? Pendidikan adalah jawabannya. Sayangnya pendidikan semakin sulit diraih oleh anak-anak kalangan jaba di pelosok manapun di negeri ini. Meminjam istilah Bpost, pendidikan telah menjadi barang superlux. Semakin menjamurnya anak-anak jalanan yang menadahkan tangan di pinggir jalan membuktikan hal itu. Orang berduit mudah saja berkata teganya orang tua membiarkan mereka. Para intelektual bisa saja mengatakan itu eksploitasi terhadap anak dan melanggar hak anak. Orang kaya atau intelektual itu bisa berkata demikian karena mereka sekolah. Bagi anak miskin perkara sekolah atau tidak bukanlah prioritas mereka. Soal makan atau tidak adalah yang jadi pikiran mereka setiap hari.

Anak-anak yang ketiadaan biaya menuntut ilmu mungkin adalah anak-anak kita. Anak-anak bangsa yang tumbuh di lahan yang tidak terlalu subur. Orangtua mereka tentu telah berusaha maksimal, namun kehidupan selalu tidak mudah di negara yang sesungguhnya diberi Allah kekayaan alam ini.

Orang miskin kaum jaba hanya dianggap sebagai deretan angka-angka dalam sensus penduduk: angka ekonomi lemah sekian persen, angka pengangguran sekian persen, angka kemiskinan sekian persen, dan angka putus sekolah sekian persen. Berdasarkan angka-angka tersebut,pemerintah dengan gagah menganggarkan dana sekian triliun rupiah dan menyatakan berpihak pada rakyat. Namun jutaan pedagang kecil, petani penggarap, dan bubuhan jaba lain tidak pernah menerima dana pemerintah itu. Meminjam dana ke bank, harus ada sertifikat tanah sebagai agunan. Pagustian lupa, sebagian bubuhan jaba tak memiliki tanah. Belum lagi berbelitnya birokrasi, bahkan sengaja dipersulit. Bank lebih suka memberi kredit untuk konglomerat, meski tak sedikit konglomerat melarikan uang rakyat ke luar negeri. Pemerintah lebih suka berpihak kepada pengusaha meskipun mereka merugikan orang banyak.

Pemahaman akan peran dan kebutuhan anak dapat dikatakan bukanlah sesuatu yang mendapat perhatian besar masyarakat dalam strata apa pun, kaum jaba hingga pagustian. Anak diharuskan ''hanya mendengar, dan tidak untuk didengar'', sehingga tidak jarang ada pemaksaan-pemaksaan terhadap anak. Di kalangan orang berduit, orangtua memaksakan anaknya untuk ikut kegiatan yang sebenarnya tidak diminati anak. Mereka dipaksa untuk mengikuti les berbagai mata pelajaran, les tari, musik sampai ikut kursus model. Sementara di keluarga yang kurang beruntung anak dipaksa untuk ikut mencari uang. Artinya, anak harus mengikuti ambisi dan keinginan orangtuanya, sehingga praktis masa sosialisasi dan keceriaan dunia anak terganggu. Mereka sangat jarang dapat menyalurkan kreativitasnya sesuai dengan dunianya.

Terlepas dari hal tersebut, mayoritas anak-anak boleh jadi lahir dari keluarga sederhana. Mereka makan dari yang halal hasil keringat sendiri bukan hasil menelikung atau memanipulasi semen dan aspal. Mereka meraih prestasi tidak dalam cahaya lampu kristal, tapi di kamar dengan cahaya lampu seadanya. Ia belajar, mengaji, shalat, dan makan dari keringat orangtuanya, bersih dan toyyib. Mereka bermain dan bercanda di halaman rumah kita. Mereka cahaya bangsa ini. Tetapi mereka tidak tumbuh dengan mudah. Selain kemiskinan, mereka ibarat kembang dikelilingi ilalang--tayangan tahayul, seks, kekerasan, gosip, gaya hidup mewah di televisi. Mereka terkepung, dijepit, dan diisap setiap saat untuk rating. Semua itu merupakan kreativitas pagustian dan saudagar yang selalu tak puas menumpuk uang.

Uang memang penting. Akan tetapi bukankah mencari ilmu itu lebih penting dari pada mencari uang? Ilmu lah yang menjadi penerang bagi kaum jaba dan pagustian. Kata para tuan guru, tamaklah akan ilmu tetapi sederhanakan nafsumu kepada uang. Bukankah Allah sudah mencukupkan rezeki. Namun, sayangnya, merasa selalu cukup sangatlah sulit. Itu adalah kepintaran yang amat sulit tetapi menantang untuk dipelajari. Oleh kita dan anak-anak kita. Jika ilmu telah menjadi barang yang mahal dan langka untuk anak-anak jaba, siapakah orang yang paling berdosa? Saya tidak punya banyak uang. Lantas pagustian atau saudagar?

Selengkapnya...