Wednesday, February 13

URANG BANJAR DAN WIRASWASTA

Elan wiraswasta dikalangan urang Banjar tidak berkembang dalam spektrum yang luas. Transmisi elan tersebut hanya berhasil dalam lingkungan keluarga. Sementara transmisi keterampilan yang menjadi bekal utama wiraswasta melalui persekolahan tidak berhasil menumbuhkan semangat wiraswasta.


PROLOG
Wiraswasta merupakan elan menciptakan lapangan usaha sendiri.[1] Wiraswasta juga menunjuk kepada orang yang pandai atau berbakat mengenali produk baru, menyusun operasi untuk pengadaan produk baru, memasarkannya, serta mengatur permodalan operasinya[2] Dalam praktik sehari-hari, wiraswasta lebih bermakna kepada sebuah pekerjaan yang dilakukan sendiri tanpa ketergantungan kepada orang lain. Dengan kata lain, wiraswasta merupakan kemampuan untuk menciptakan pekerjaan sendiri. Penghasilan yang diperoleh terkait erat dengan keberhasilannya memobilisasi usaha yang dilakukannya. Wiraswasta tidak menggantungkan hidupnya kepada gaji yang diberikan orang lain. Dengan demikian, elan wiraswasta merupakan semangat kemandirian untuk menciptakan lapangan kerja sendiri tanpa tergantung dengan lapangan kerja yang disediakan pemerintah atau orang lain.
Elan wiraswasta tersebut tampaknya dianggap sebagai di salah satu bagian dari kultur urang Banjar. Wiraswasta, terutama perdagangan, telah dilakukan urang Banjar sejak awal kedatangan rombongan Empu Djatmika yang dianggap sebagai cikal bakal kerajaan Banjar (sekitar 1300). Jika mengutip pendapat Alfani Daud, urang Banjar memiliki mata pencaharian yang beragam, selain menjadi pegawai pemerintah atau perusahaan, yaitu
Pertama, bertani dan berkebun. Tentu saja ini sangat terkait dengan kondisi alam tanah Banjar yang relatif luas dan mendukung usaha pertanian.
Kedua, meramu dan menambang. Meramu hasil hutan adalah jenis usaha mencari kayu di hutan untuk dijadikan bahan bangunan. Mata pencaharian ini sekarang sudah jarang dilakukan karena melanggar hukum. Sedangkan usaha menambang masih dilakukan oleh urang Banjar dibeberapa tempat tertentu sebagai mata pencaharian.
Ketiga, menangkap ikan. Menangkap ikan dilakukan urang Banjar di sekitar sungai Barito, sungai Negara, dan tepi laut atau di Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Barito Kuala, Tanah Laut, Tanah Bumbu, dan Kota Baru.
Keempat, beternak. Binatang yang diternakkan antara lain bebek, ayam, kerbau, sapi, kambing, dan domba.
Kelima, kerajinan dan industri rumah tangga. Termasuk dalam usaha ini adalah anyam menganyam, merajut, pintal memintal, pandai emas, pandai besi, membuat kue, mengolah ikan, kerajinan kayu, kerajinan tanah liat, membuat gula aren, minyak kelapa, dan sagu.
Keenam, berdagang. Perdagangan dilakukan di pasar, warung, kios.[3] Bidang perdangangan ini tampaknya bentuk usaha yang tumbuh sejak awal Negara Dipa berdiri. Empu Djatmika yang menjadi tokoh sentral adalah anak saudagar kaya raya di Kaling, Mangkubumi. [4]
Kelompok manakah yang dapat dikatakan sebagai wiraswasta? Jika merujuk kepada definisi pada awal tulisan ini semua klasifikasi tersebut tergolong wiraswasta. Namun, term wiraswasta tampaknya digunakan kepada bidang usaha yang mengandalkan kemampuan diri semata, tidak terkait dengan alam. Dengan demikian, penambang, meramu hasil hutan, dan pertanian tidak dapat digolongkan sebagai wiraswasta.
Wiraswastawan sejati berawal dari titik nol yang kemudian dia kembangkan sehingga menjadi besar. Ibu Martini, Peraih Terbaik III Dji Sam Soe Award 2007, berangkat dari kelas yang marjinal. Dia pernah merasakan pahit getirnya kehidupan, menjadi buruh, pedagang sayur keliling, pemecah kerang, dan pembantu rumah tangga. Kemudian dia mengembangkan kerajinan tas dan sandal dan sekarang beromzet milyaran rupiah. Pak Mandar peraih terbaik II, mengembangkan usaha kerajinan membuat puzzle dari limbah kayu bakar dan diekspor ke mancanegara. Nelly dari Aceh, peraih Terbaik I Dji Sam Soe Award 2007 mengembangkan usaha pembuatan roti justru setelah keluarganya porak poranda diterjang tsunami. Model-model seperti itu sangat jarang, untuk tidak mengatakan tidak ada, di kalangan masyarakat Banjar.
Elan wiraswasta terkait dengan konsep, sikap, dan keyakinan seseorang terhadap kemandirian yang dipandang berharga olehnya. Dengan kata lain, berbicara tentang elan wiraswasta berarti berbicara mengenai nilai. Bagaimana transmisi konsep, sikap, dan keyakinan masyarakat Banjar terhadap wiraswasta akan menjadi fokus tulisan ini.
URANG BANJAR DAN WIRASWASTA
Sangat sulit mengatakan elan kemandirian identik dan tumbuh berkembang dengan pesat di kalangan urang Banjar. Pada era Kerajaan Negara Dipa, masyarakat lebih menggantungkan diri kepada bercocok tanam padi, jagung, keladi, dan pisang. Dapat dikatakan kehidupan ekonomi negara itu berbasiskan pertanian (inland agraric hydrolic).[5] Belakangan, riset ilmiah menunjukkan adanya parameter yang mencerminkan semangat wirswasta. Taufik Arbain yang dikutip Ahmadi Hasan, misalnya, mengungkapkan budaya madam (merantau) orang Banjar dalam memenuhi hajat dan naluri dagangnya. Hal itu menurut Ahmadi Hasan, merupakan cerminan dari urang Banjar sebagai pekerja keras, tangguh, ulet, serta gigih (cangkal) dalam berusaha (dagang). [6] Di situ tampak pergeseran penggerak ekonomi masyarakat Banjar. Dengan demikian, masyarakat Banjar tidak dapat sepenuhnya dikatakan masyarakat agraris atau wiraswasta.
Akan tetapi, pada perkembangan selanjutnya wiraswasta urang Banjar stagnan berjalan di tempat. Ekspansi usaha tidak di tingkat nasional layaknya keluarga Bakrie atau Kalla, Fuad Bawazier, dan pengusaha lain. Pengusaha Banjar justru dikenal karena mengawini artis atau memiliki mobil yang super mahal. Bukan karena gurita usaha atau ekspansi perusahaan ke bidang-bidang yang beragam.
Para pengusaha (baca:wiraswastawan) di tanah Banjar dalam wilayah Kalimantan Selatan dapat dikelompokkan dalam beberapa klasifikasi.
Pertama, urang Banjar yang berwiraswasta karena keturunan. Kelompok ini dapat ditemukan dengan mudah di pasar-pasar. Para pedagang muda kebanyakan mewarisi usahanya dari orang tua mereka. Biasanya mereka menjalin hubungan kekerabatan dengan sesama pedagang dengan mengawinkan anak mereka dalam usia yang muda, setelah tamat sekolah (SMA/MA). Memang ada beberapa anak pedagang yang sekolah sampai sarjana, tetapi mereka tetap menggantungkan hidupnya dari berdagang. ”Uang untuk sekolah lebih baik digunakan untuk menambah modal. Sekolah tinggi tetap saja sulit mencari gawian (pekerjaan)”, ujar salah satu pedagang.
Kelompok ini, biasanya, meskipun sekolah tinggi, hanya sebagai pencarian status dan menambah pamor dalam berbisnis. Itu tergambar dari adanya pebisnis batu bata di tanah Banjar ini yang mencantumkan gelar Drs. padahal dia tidak berhak menyandang gelar itu.
Kedua, berwiraswasta karena terdesak tuntutan kehidupan. Meskipun pada dasarnya semua berwiraswasta karena tuntutan hidup, yang paling dominan mendorong mereka berwiraswasta adalah tidak adanya pilihan lain untuk menopang kehidupan keluarganya. Biasa mereka berdagang pisang goreng, bensin, membuat kue kemudian dijual sendiri, dan usaha kecil lain. Mereka sering berdagang di pinggir jalan atau menjadikan tempat keramaian sebagai lokasi berjualan. Untuk memiliki toko resmi sangat jelas mereka tidak mampu.
Ketiga, wiraswasta karena kebetulan. Model ini tercermin pada pengusaha batu bara. Beberapa pengusaha pada awalnya secara kebetulan memiliki tanah yang mengandung batu bara kemudian dikembangkan dengan kerja sama dengan pemodal dengan asas saling percaya. Meskipun bentuk ini masih diragukan kadar wiraswastanya, sebagian mereka bisa terus mengembangkan usaha penambangan dengan perluasan lahan ke segala penjuru tanah Banjar. Kemampuan ekspansi dan membangun jaringan usaha inilah yang menunjukan adanya elan wiraswasta. Satu hal yang perlu diuji adalah kemampuan mereka bertahan di masa akan datang ketika batu bara sudah habis. Ketika mereka tidak menganekaragamkan usaha, selain batu bara, mereka akan kolaps dan tidak bisa berbuat apa-apa. Selain itu, runtuhnya kerajaan bisnis perkayuan yang sempat memunculkan orang-orang kaya di tanah Banjar mencerminkan betapa kegagalan urang Banjar dalam menganeka ragamkan usaha.
Dalam model lain, Yoshiro Kunio dari Universitas Kyoto, dalam karyanya, The Rise of Erzatz Capitalism in Southeast Asia (1988), memotret tumbuhnya pengusaha menjadi tujuh kelompok.
Pertama, royal capitalists atau pengusaha yang berasal dari keluarga kerajaan. Kedua, presidential families atau keluarga presiden yang terlibat bisnis. Ketiga, crony capitalism yaitu pengusaha yang mempunyai hubungan perkoncoan dengan kepala Negara. Keempat, bureaucratic capitalists yakni birokrat dan mantan birokrat yang aktif berbisnis. Kelima, politicians turned capitalists, yaitu politisi yang menjadi pengusaha. Keenam, capitalists turned politicians, pengusaha menjadi politisi. Ketujuh, other government connected capitalists alias kategori lain dari pengusaha yang mempunyai kedekatan hubungan dengan pejabat pemerintah. [7]
Dalam model itu, para pengusaha Banjar juga memiliki hubungan yang erat dengan penguasa dan politik. Dalam wilayah yang lebih sempit, para pejabat dan keluarganya menjadi pengusaha, politikus menjadi pengusaha atau sebaliknya, pengusaha berkongsi dengan pengusaha, dan bentuk lain menjadi hal yang lumrah. Relasi antara dunia wiraswasta berskala besar dengan penguasa tidak terlepas dari kepentingan mereka. Para saudagar meminta perlindungan dan berkongsi dengan penguasa agar usaha lancar dan para ”pagustian” mendapat upeti. Sebuah hubungan yang sangat menguntungkan.
Dalam beberapa kasus, ditemukan peran para saudagar dalam proses pemilihan kepala daerah. Mereka akan mengeluarkan uang milyaran rupiah untuk mendukung calon. Akhirnya yang terjadi, penguasa yang telah berhutang budi itu seperti sapi ditarik dihidung oleh penguasa dan penguasa sebenarnya adalah saudagar.
Terlepas dari hal tersebut, tumbuhnya elan wiraswasta di masyarakat Banjar tidak hanya terkait dengan keturunan atau tuntutan dapur sebagaimana disebut di bagian terdahulu tulisan ini. Urang Banjar juga memandang bentuk usaha wiraswasta sebagai bagian dari status diri atau lebih gampang disebut ”gengsi”. Menjamurnya toko handphone dan penjualan pulsa di pinggir jalan dapat dijadikan sebagai argumen. Padahal, di kota lain yang notabene penduduknya lebih banyak pedagang pulsa/hanphone tidaklah sebanyak di Banjarmasin (baca: Kalsel).
Sejauh ini, dalam pandangan saya, bisnis handphone dianggap sebagai bisnis berkelas dan bergengsi dibandingkan dengan berjualan pisang goreng atau nasi. Itu pula yang dapat dijadikan penjelasan mengapa banyak pendatang yang menguasai bisnis berdagang nasi di sepanjang jalan di Banjarmasin. Kalaupun ada pedagang Banjar, dapat dipastikan pedagang itu berusia setengah baya. Bandingkan dengan pedagang Jawa (maaf) yang berusia relatif muda.
Meskipun tidak bisa memastikan secara ilmiah, saya menduga, urang Banjar lebih memilih tidak bekerja jika pekerjaan yang ada tidak bergengsi. Anak-anak muda Banjar yang berjualan handphone itu berelasi dengan urang Banjar yang memiliki handphone. Dua kelompok itu sama-sama terbelenggu gengsi dan bersimbiosis mutualism (sama-sama untung). Pemakai handphone membeli pulsa dan mengupdate handphone dengan model terbaru karena gengsi dan para pedagang tetap meraih untung tanpa hilang gengsi.
Perkara gengsi tampaknya menjadi persoalan nomor satu bagi urang Banjar dibanding keadaan real mereka sendiri. Tidak mengherankan ada mahasiswa yang mengaku tidak bisa membayar SPP alias miskin tetapi dia memiliki handphone. Dengan kata lain, yang terpenting penampilan yang akan menaikan pamor meskipun beras tidak ada. Penampilan urang Banjar yang kelihatan fashionable (rambut bercat dan pakaian model terbaru) ternyata tidak menjamin keadaan hidup sehari-hari makmur sejahtera. Dalam idiom urang Banjar dikenal istilah kaminting randaman, bingking tapi injaman (fashionable tetapi pinjaman).
Perkara tingginya gengsi urang Banjar tergambar pula Hikajat Banjar. Dalam Hikajat Banjar, Empu Djatmika meminta raja yang menggantikannya adalah tokoh yang berasal dari proses bertapa. Puteri Junjung Buih yang muncul dari proses bertapa akhirnya kawin dengan seorang pangeran, bernama Raden Putra alias Suryanata (Raja Matahari), dari Majapahit yang juga lahir dari proses bertapa pula. Menjelang kematiannya Empu Djatmika, pengelana dari Kaling yang menjadi raja di Negara Dipa , berkata kepada putranya Lambu Mangkurat dan Ampu Mandastana, ”Angkau Ampu Mandastana, bartapa pada bukit atawa guha atawa pada pohon basar, mantjari radja itu. Dan angkau Lambu Mangkurat bartapa pada air, mana taluk yang dalam atawa liang yang dalam itu tampat angkau bartapa mantjari radja”.[8]
Di situ tercermin adanya keinginan menempatkan urang Banjar, terutama para keturunan raja Banjar, berada dalam posisi lebih tinggi dan bergengsi karena merupakan keturunan ”orang gaib”. Dalam Hikajat Banjar terungkap ada keinginan melepaskan diri dari hegemoni Jawa secara keturunan. Meskipun Hikajat Banjar bisa diragukan kebenarannya, tetapi cerita itu dapat dijadikan petunjuk nalar berpikir urang Banjar. Keterulangan dalam dongeng, mitos, atau legenda tidak lahir dari ruang hampa, tetapi representasi dari pola pikir pembuatnya.[9]
Itu ironi disaat banyak sekali orang yang mengaku pengusaha. Saya katakan satu rahasia. Banyak sekali urang Banjar yang mengaku sebagai pengusaha besar. Mereka bermobil mewah dan beristri lebih dari satu, namun selalu mengemplang utang dan merusak lingkungan. Itu bukan wiraswastawan sejati.
TRANSMISI DALAM MASYARAKAT BANJAR
Semangat wiraswasta terkait dengan bagaimana pandangan terhadap kebernilaian kemandirian tersebut dalam kehidupan. Dengan demikian, transmisi wiraswasta merupakan transmisi nilai. Kamrani Buseri meyakini bahwa nilai adalah standar tingkah laku.[10] Dengan demikian, jika dikaitkan dengan transmisi elan wiraswasta merupakan transmisi nilai tentang kemandirian tanpa ketergantungan dengan orang lain dalam hal mata pencaharian. Agak rumit memang membuat definisi ini, namun yang jelas adalah transmisi wiraswasta merupakan tranmisi nilai.
Transmisi nilai dalam perspektif pendidikan tidak hanya terkait dengan kognisi, tetapi terkait afeksi. Transmisi nilai tersebut tidak hanya knowledge atau teori tentang wiraswasta tetapi lebih dominan dengan keteladanan atau contoh. Keberhasilan transmisi wiraswasta sangat ditentukan model dan keteladanan dari keluarga atau lingkungan sekitar. Asumsi itu dapat menjelaskan mengapa ada daerah-daerah yang merupakan kantong kerajinan anyaman (Margasari Tapin), pandai besi dan emas (Nagara Hulu Sungai Selatan), peternakan itik (Alabio Hulu Sungai Utara), kue dodol (Kandangan HSS), kerajinan kayu/lemari/tikar rotan (Amuntai HSU), dan kantong-kantong wiraswasta lain. Seperti saya tulis sebelumnya, keluarga pedagang akan melahirkan anak yang berdagang dan hidup dalam lingkungan masyarakat pedagang. Dengan kata lain, transmisi wiraswasta mayoritas dilakukan dalam keluarga, tidak melalui jalur pendidikan sekolah.
Meskipun demikikan, transmisi wiraswasta dapat dimulai dengan transmisi beragam keterampilan di sekolah kejuruan. Akan tetapi, dalam praktiknya, keterampilan tersebut tidak menjamin munculnya etos kemandirian. Mereka masih mengharapkan lapangan kerja dari perusahaan lain. Salon kecantikan tidak identik dengan lulusan sekolah kejuruan kecantikan tetapi lebih identik kaum waria. Bengkel-bengkel demikian juga tidak didominasi oleh lulusan SMK. Transmisi keahlian boleh jadi berhasil tetapi semangat yang bersifat abstrak gagal ditransmisikan. Keteladanan dari keluarga atau lingkungan sosial menjadi kata kunci dalam transmisi wiraswasta.
Dalam hal wiraswasta, masyarakat Banjar adalah peniru yang baik. Usaha yang dilakukan masyarakat sekitar akan ditiru oleh mereka. Apalagi itu mereka melihat ada orang yang cepat kaya dengan usaha itu. Kasus voucer isi ulang handphone yang terjadi di awal tahun 2000-an mengambarkan betapa semangat wiraswasta urang Banjar berkobar begitu melihat tetangga dengan cepat bisa membeli mobil mewah dalam hitungan bulan. Mereka tergiur melakukan investasi karena melihat hasil berlipat dan cepat diraih tanpa kerja keras.
Harus diakui pula, elan wiraswasta dalam masyarakat Banjar akan muncul di saat yang tepat dalam hitungan bisnis. Dengan kata lain, masyarakat Banjar sangat pandai memanfaatkan peluang dengan cara yang mudah. Fenomena banyaknya pelangsir bensin di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) di saat terjadi kelangkaan membuktikan itu. Urang Banjar serta merta memanfaatkan kelangkaan bensin dengan menjadi penjual bensin dadakan. Itu tidak ditemukan di daerah lain, di Padang sekalipun, yang dianggap ikon pedagang sejati. Saya yakin, perilaku wiraswasta semacam itu bukanlah wiraswastawan sejati.
EPILOG
Meskipun masyarakat Banjar, pada awalnya adalah masyarakat sungai, tidak dapat serta merta itu menunjuk kepada masyarakat dagang. Dalam kenyataan real, masyarakat Banjar telah bergeser menjadi masyarakat gajian. Tidak lagi percaya diri menciptakan lapangan kerja sendiri. Itu menandakan telah terjadi kegagalan transmisi elan wiraswasta ke spektrum yang lebih luas tidak terbatas kepada keluarga wiraswastawan semata. Runtuhnya kerajaan bisnis kayu di masa lalu mencerminkan kegagalan urang Banjar dalam membangun kerajaan bisnis.







·[1] Pius A. Partanto, M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer (Arkola, Surabaya: 2001) hlm 784
[2] Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Balai Pustaka, Jakarta : 2001) hlm 1273


[3] Alfani Daud, Islam dan Masyarakat Banjar Deskripsi dan Analisa Kebudayaan Banjar (Jakarta : Rajawali Pers, 1997) hlm. 106-140
[4] Johannes Jacobus Ras, Hikajat Bandjar A Study In Malay Historiography (The Hague : Martinus Nijhoof, 1968) hlm. 228
[5] M. Sam’ani dkk, Sejarah Banjar (Pemprov Kalsel : Banjarmasin, 2003) hlm. 46
[6] Ahmadi Hasan, Adat Dagang Orang Banjar dan Prospek Ekonomi Syariah, makalah (IAIN Antasari : Banjarmasin, 2008), hlm. 6
[7] A. Tony Prasetiantono, Kompas, 30 Januari 2008, hlm 6,
[8] Johannes Jacobus Ras, Op.Cit. hlm. 268
[9] Dalam perspektif strukturalisme Levi Straus. mitos atau dongeng, menurutnya, merupakan sebuah kisah atau ceritera yang lahir dari hasil imajinasi manusia, dari khayalan manusia. Meskipun demikian, unsur khayalan tersebut berasal dari apa yang ada dalam kehidupan manusia sehari-hari. Dalam dongeng, mitos, atau cerita sering ditemukan kesamaan dan kemiripan. Menurut Levi, itu tidak merupakan sebuah kebetulan. Semua itu merupakan produk dari kreativitas, khayalan, atau nalar manusia. Oleh karenanya, kemiripan-kemiripan itu merupakan hasil dari sebuah mekanisme nalar manusia. Lihat Heddy Shri Ahimsa Putra, Strukturalisme Levi Strauss Mitos dan Karya Sastra (Yogyakarta: Galang Press, 2001) hlm. 78
[10] Kamrani Buseri, Antologi Pendidikan Islam dan Dakwah Pemikiran Teoritis Praktis Kontemporer, (Yogyakarta : UII Press, 2003) hlm. 70
Selengkapnya...