Wednesday, November 14

PESAN SUMAMBING


Pada umumnya, fragmentasi dalam kisah-kisah hanya perlambang. Misalnya, kata ”burung” dalam Kitab Bayan Budiman merupakan perlambang dari pemakan semua hama penyakit mental umat manusia. Sementara nama ”burung Menco” adalah simbol dari kaum santri yang lebih mementingkan aturan lahir dalam ajaran syariat. Sedangkan Bayan adalah watak luhur karena mengikuti syariat tanpa meninggal tarekat dan hakikat sehingga lebih mengandalkan makrifat tanpa melupakan syariat. (Abdul Munir Mulkhan, 2003 : 66). Perlambang tersebut muncul dalam kisah karena dia disusun untuk menjadi pelajaran. Dengan kisah-kisah itu, para penulis atau penutur ingin menyampaikan nasihatnya.
Berbeda dengan itu, Sumambing lahir, dewasa, dan berinteraksi dengan lingkungan tidak hadir dengan rekayasa ”penulis”nya, melainkan merupakan caranya untuk bertahan dan mengaktualisasikan dirinya. Latar belakang Sumambing yang hidup dan merasakan masa perjuangan melawan penjajah dan pemberontakan gerombolan Ibnu Hadjar, mencerminkan tekanan yang dihadapinya. Fisiknya yang tidak memungkinkan untuk turut bergelut dalam dunia kekerasan mengharuskannya bersikap agar mampu mengaktualisasikan diri di tengah masyarakat.
SM memilih tidak terlibat dengan kekerasan ketika orang-orang usil menggantung sepedanya atau meninggikan sadel sepedanya. Dia memilih mencari caranya sendiri. SM juga tidak memilih untuk menasihati orang-orang yang usil kepadanya karena dia memahami perangai manusia yang jika tak bisa dinasihati dengan halus. Mereka yang hatinya penuh kekerasan akan percuma diberi nasihat. Sudah menjadi kebiasaan umum manusia, jika dicegah seperti diperintah dan merasa lebih kalah uang daripada kalah kehormatan (gengsi).
Sumambing boleh jadi menyadari bahwa dunia dimana dia hidup tidak memahami atau menerima keadaan fisiknya. Akan tetapi, dia juga tak ingin secara frontal berseberangan dengan mereka atau berkelahi dengan mereka yang nakal. Oleh karenanya, dia memilih sikapnya sendiri dengan seluwes-luwesnya.
Bagaimanapun juga, Sumambing telah melakukan pencapaian yang kini sangat sulit dicapai oleh kebanyakan orang.

1. Sumambing Vis A Vis Kisah Porno Urang Banjar
Sumambing (selanjutnya disebut SM) hidup dan merasakan fase sulit masyarakat Indonesia. Masa kecil dihabiskan di zaman penjajahan Walanda (Belanda), masa penjajahan Jepang, Belanda yang membonceng sekutu, era orde lama, dan orde baru. Perjalanan hidupnya yang penuh kesabaran, kelucuan, keluguan, kepandiran, dan banyak akal merupakan faktor penting dia menjadi sosok yang terkenal. Sumambing menjadi terkenal dan diceritakan dari mulut ke mulut bukan karena keberaniannya atau kesaktiannya. Dia menjadi fenomenal karena sikapnya yang berlawanan dengan ”zuriat pemberontak ”urang Kandangan”. Amuk Hantarukung, Hassan Basry, dan Ibnu Hajar adalah simbol penting pemberontakan urang Kandangan terhadap ketidakadilan.
Jika ditelaah lebih jauh kisah-kisah SM sangat berbeda dengan stigma kisah-kisah orang Banjar yang dinilai cenderung dibumbui kisah porno. Kisah Palui yang terbit di Harian Banjarmasin Post adalah contoh bagaimana kisah urang Banjar selalu menyentil sesuatu yang berbau porno.
Tidak hanya kisah Palui. Penceramah agama yang seharusnya bisa menahan diri, cenderung juga menyisipkan cerita porno dalam ceramahnya. Meskipun cerita itu tidak ada hubungannya dengan tema ceramah. Dalam prosesi pernikahan pun tak luput pula dari hal itu, terutama pada acara sambutan atas nama mempelai. Berikut salah satu pantun yang disampaikan dalam sambutan tersebut
Tulak ke hutan mancari paring
Mancari paring nang sudah tuha
Ulun kada sarik guring bapaling
Tapi minta paculakan tali biha
Seperti halnya dengan ceramah agama, dalam sambutan itupun biasanya setiap ada sesuatu yang berbau porno selalu diiringi dengan tawa pendengar. Itu menjadi tanda penting bahwa pendengar sangat menyukai hal-hal itu.
Ibarat tukang masak, SM sangat mengetahui bagaimana membuat takaran bumbu yang pas. Dia sangat tahu bumbu apa yang bisa membahayakan kesehatan. SM sangat mengetahui bahan apa yang bisa meningkatkan kolesterol, asam urat, atau tekanan darah. Cerita-cerita tentang SM bisa dinikmati bukan karena dia berisi cerita cabul tetapi lebih karena dia berbeda.
SM tidak menganggap lucu humor-humor semacam itu. SM hadir tidak dengan membawa homur yang bersifat permusuhan (membuat orang tertawa dengan menyakiti orang lain), humor yang menunjukkan keunggulan (mentertawakan kekurangan orang lain meskipun dia ditertawakan orang lain karena kekurangannya) atau humor yang membangkang pada otoritas (lelucon odiepos yang tidak lucu atau mesum).
Secara khas, dalam kisah SM ditemukan bahwa humor lebih dekat dengan pada falsafah dari keadaan sebenarnya. Humor semacam ini disebut Maslow sebagai humor keadaan yang sebenarnya karena humor ini sebagian besar berisi hal-hal yang mempermainkan manusia secara umum pada saat mereka berbuat bodoh atau lupa pada tempat mereka di alam semesta , atau mencoba menjadi besar sedangkan mereka sebenarnya kecil. (Abraham H.Maslow, 1993 : 27)
Jika dicermati, SM menjadi lucu karena dia mempermainkan diri sendiri, tetapi tidak dengan cara yang menyakitkan membadut).Kisah-kisah SM tidak pernah membuat sesuatu lelucon yang menyakiti orang lain. SM banyak hendak mengatakan sesuatu dan mempunyai fungsi di samping sekedar menimbulkan tawa. Humor merupakan suatu pendidikan dalam bentuk yang menyenangkan, sama dengan kiasan atau dongeng.

2. Sumambing yang Penyabar
Dapat dipastikan SM adalah sosok yang penyabar. Sepeda SM pernah dipenuhi tambalan oleh tukang tambal ban. Di lain hari, sadel sepedanya ditinggikan orang usil dan kadang digantung. Akan tetapi, tidak pernah SM marah. Kesabaran SM ketika menghadapi orang-orang yang lebih muda itu patut menjadi contoh. Abu Nashr Al Sarraj (w.378 H) menyebutkan bahwa sabar adalah maqam yang mulia. Allah memuji orang-orang yang sabar seperti tergambar dalam firman Allah SWT : Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang beriman. bertakwalah kepada Tuhanmu". Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang Bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas. (Q.S. Az Zumar : 10)
Sikap sabar SM merupakan sikap mawas dirinya. Sebagai seorang yang secara fisik tidak menguntungkan untuk berkelahi, SM mampu menyadari akan dirinya sendiri. Mawas diri seperti halnya SM karena manusia sering kali merasa lebih baik, paling benar, dan tak pernah berbuat salah atau bohong sama sekali. Menyadari kesalahan tersebut juga tergambar ketika dia sakit perut dan mengaku mencret. Manusia yang selalu sadar atas dirinya sendiri pulalah sebenarnya manusia yang membuka pintu hati dan pikirannya sehingga bisa berkembang dan berubah menjadi lebih baik.
Sikap sabar SM merupakan kemampuannya menahan diri dari luapan kemarahan. Sebagai seorang manusia normal SM pasti marah melihat sepedanya digantung di pohon, sadelnya ditinggikan, atau sepedanya ditambal. Akan tetapi, kemampuannya memanejemen kemarahan dengan caranya sendiri patut menjadi teladan. SM ingin memberitahukan kepada kita bahwa tindakan melampiaskan amarah dengan perkelahian dan kekerasan lainnya tidaklah satu-satunya cara. Kemarahan adalah manusiawi, namun SM mengajarkan bahwa kemarahan dan kebencian harus dibuang jauh-jauh agar hidup tenang. Kemarahan dan kebencian hanya mendatangkan kemarahan dan kebencian pula.
Darsun, anak lelaki Asikah, suka sekali mengganggu SM yang sedang tidur duduk dengan mulut terbuka. SM tidak marah bila terbangun dari tidur siangnya. Dia hanya berkata, ”cucuku pintar sekali menutup mulut kakek”. Darsun kecil yang nakal suka sekali mencolek SM yang tidur sehingga SM menutup mulutnya.
SM sadar akan fisiknya yang tidak dapat diandalkan untuk berkelahi karena itu dia menerima keadaannya. SM dapat mengatasi hambatan, cobaan, dan kesulitan. Dia berhak mendapat derajat luhur setidaknya dimata manusia. Akhirnya hayatnya di masjid setidaknya dimata manusia pertanda husnul khatimah. Itulah derajat luhur yang diraihnya. Sabar dan menerima keadaan bukan berarti menunggu keajaiban dan menunggu keajaiban. Bukan pula berarti menyerah dan menyalahkan Tuhan. Sabar adalah merasa bersyukur dan mencari nilai hikmah dari keadaan sesudah segala upaya dan kemampuan dikerahkan kemudian berserah diri dan tawakkal kepada Allah.
”Kalau sudah umur meskipun aku tidak ke masjid dan berada di rumah saja tetaplah aku mati”, ujar SM ketika dilarang keluarganya pergi ke Masjid Takwa karena keadaannya yang uzur. Menjelang akhir nafasnya, tawakkal telah menjadi prilakunya.

3. Mengakui Kesalahan
Nilai penting lain yang terungkap kisah SM adalah kerelaanya mengakui kesalahan tanpa melempar kesalahan kepada orang lain. Hal itu tergambar dari pengakuannya ketika dia tercebur ke selokan. ”Saya hanya ingin mengukur kedalaman selokan ini”, ujarnya. Dia tidak menyalahkan orang lain atau sepedanya. Sikapnya itu pula yang tergambar ketika dia harus mengaku mencret di celana. Bagi sebagiaan orang, bisa saja meninggalkan tempat itu dan tidak memberitahukan bahwa dia mencret.
SM mengajarkan kepada masyarakat untuk berani mengakui kesalahan tanpa melempar kesalahan kepada orang lain. Pada umumnya manusia, lelaki, perempuan, tidak merasa bahwa dirinya memikul kesalahan. Semua orang mengaku dirinya adalah orang baik. Kebanyakan orang mengaku paling suci, padahal kebohongannya bagai pasir di pantai sehingga kebohongannya tak terhitung banyaknya. Orang seperti itu biasanya enggan mengaku salah . Padahal, hanya Allah sebenarnya yang bisa menilai apakah seorang itu baik atau buruk.
Meskipun SM sering dipermainkan orang, dia memilih sikap terhormat tidak membalas sikap mereka. Sikap seperti itu merupakan salah satu sikap yang dapat menjadikan hidup tenang tanpa permusuhan. Jalaluddin Rakhmat menyebutkan, ada beberapa sikap yang bisa membuat hidup tidak tenang selalu penuh kebencian yaitu
a. mencari-cari bahan untuk dikritik
b. Mempermainkan atau menertawakan orang
c. Menggurui orang bagaimana seharusnya hidup
d. Menyerang orang
e. Mengabaikan orang
f. Mempermalukan
g. Bersikap pongah
h. Mencibir
i. Menganggap orang aneh atau gila Mengatakan bahwa dia jelek, bloon, dan tidak mengerti (Jalaluddin Rakhmat, 2007)
Mengakui kesalahan tanpa menyalahkan orang lain merupakan sifat yang jarang ditemukan di masyarakat. Prilaku semacam itu adalah sikap orang sehat yang merasa mampu menerima diri dan sifatnya sebagaimana adanya, tanpa sesal, atau keluhan, atau bahkan terlalu banyak memikirnya. Padahal, sikap anggota masyarakat yang normal dari kebudayaan kita mempunyai rasa bersalah atau malu dan cemas pada banyak hal dalam banyak situasi yang tidak pada tempatnya. (Abraham H. Maslow, 1994: 9)

4. Perlawanan terhadap Status Qou
Setiap masyarakat mengenai gagasan mengenai apa yang harus diyakini seseorang dan bagaimana ia semestinya bersikap demi menghindari kecurigaan dan ketidakpopuleran. Beberapa diantara konvensi kemasyarakatan ini memiliki rumusan yang gamblang dalam undang-undang dan yang lain tergambar dalam wilayah pertimbangan etis dan praktis yang sering digambarkan sebagai ”common sense”.
Common sense (pandangan umum) menentukan apa yang layak kita lakukan, nilai-nilai finansial apa yang harus diadopsi dalam sebuah masyarakat, siapa yang harus kita hormati, dan kehidupan domestik bagaimana yang sebaiknya diikuti. (Alain de Booton, 2003 : 9)
SM menghabiskan hidupnya dalam sebuah masyarakat yang mempunyai common sense tentang keberanian. Membawa pisau dipinggang merupakan kebiasaan yang umum di Hulu Sungai Selatan (baca: Kandangan) dan itu berarti keharusan untuk menggunakannya ketika harus berhadapan dengan orang lain.
Namun, dalam satu kurun waktu, selalu saja ada muncul sebuah perlawanan terhadap sesuatu yang sudah mapan. Dalam konteks ini, SM menjadi simbol perlawanan terhadap common sense yang sudah mapan. Dalam konteks itu, perlawanan terhadap kemapanan tersebut sering diterima dengan baik oleh masyarakat, meskipun dalam beberapa kasus itu tidak berlaku.
Hal itu, dapat pula dipakai untuk menjelaskan mengapa terjadi pergeseran ustazd idola dalam masyarakat. Di tahun 1980-an sampai paruh kedua tahun 1990-an, ustazd yang kritis terhadap kebijakan orde baru menjadi idola masyarakat. Semua melihat bagaimana Zainuddin MZ begitu populer.
Namun, pasca reformasi justru tidak disukai masyarakat luas. Munculah penceramah/ustadz yang menawarkan kesejukan, tidak mengumbar kritik, mengajak menjadi seorang pemaaf dan dermawan. Mereka populer karena masyarakat mengalami titik nadir dalam proses reformasi yang sarat dengan kritik bahkan kekerasan.
Selengkapnya...

THE STORY OF SUMAMBING

Seperti kebiasaan pada umumnya di daerah Kandangan, sore hari digunakan untuk berkumpul dengan pemuda kampung. Rupanya Sumambing sakit perut. Ketika asyik mengobrol, dia mencret di celana. Dia tidak berani berdiri takut ketahuan oleh pemuda-pemuda yang sering menjadi bahan olok-oloknya. Sumambing tak habis akal. Dia berkata, “Saudara-Saudara!, dalam hidup sekali-kali pasti ada merasa malu. Betul tidak?.
Para pemuda menjawab, `“betul, wajar saja jika sekali-kali kita merasa malu”.
Sumambing lega dan berkata, ”saya mencret buhannya ai ”.
Dengan demikian, pemuda-pemuda itu tidak bisa mengolok-oloknya.

b. Harga Cangkir
Dalam kisah lain diceritakan Sumambing yang terjepit tangkai cangkir. Hampir setiap hari Sumambing pergi ke warung untuk minum teh dan kue. Pemilik warung pun menyajikan teh dalam cangkir yang bertangkai. Setelah sedikit berbasa-basi, Sumambing pun minum teh. Karena cangkirnya bertangkai, Sumambing memasukkan jarinya ke lobang tangkai cangkir. Setelah selesai minum Sumambing bermaksud meletakkan kembali cangkir.
Akan tetapi, jari Sumambing yang besar tidak bisa dilepaskan dari lingkaran tangkai cangkir. Dia malu jika memberitahu pemilik warung bahwa tangannya terjepit di lobang tangkai cangkir.
Dia bertanya kepada pemilik warung sambil menunjukkan cangkir, ”harga cangkir ini berapa?”
Pemilik warung kemudian menyebut harga cangkir itu.
Merasa punya uang untuk mengganti cangkir itu, Sumambing pun memukulkan cangkir ke tiang warung sehingga tangannya terlepas dari jepitan tangkai cangkir.
Sumambing juga pernah tercebur ke selokan di sekitar Lapangan Pemuda. Tubuhnya yang tidak begitu tinggi menyebabkan dia sulit mengendarai sepeda sehingga dia jatuh ke selokan. Orang-orang yang melihat pun bertanya, ”ada apa Paman?”
Sumambing pun menjawab, ”saya hanya mengukur kedalaman kalian (selokan).

2. Lugu dan Pandir

a. Wesel dari Anak
Sumambing tak selamanya menang. Pada suatu hari seorang tukang pos mengantarkan wesel dari anaknya. Tukang Pos bertanya kepada Sumambing, ”Bapak Sumambing ada?”
Sumambing menjawab dengan polos, ”Bapak Sumambing telah meninggal dunia”.
Sebenarnya yang dimaksud Sumambing meninggal itu adalah ayahnya (bapak) Sumambing yang telah meninggal. Tukang Pos itu pun pulang dan Sumambing tidak mendapat uang kiriman dari anaknya. Akhirnya, Sumambing terpaksa ke mencari tukang pos itu setelah diberitahu oleh tetangganya bahwa ada kiriman uang dari Rusli, anaknya.
Dalam kisah versi lain, wesel dikembalikan kepada anak Sumambing disertai alasan bahwa wesel tidak sampai ke penerima karena penerima sudah meninggal dunia. Melihat wesel dikembalikan disertai alasan meninggal dunia, beberapa hari kemudian Rusli pulang untuk ziarah ke kubur ayahnya. Rusli terkejut dan gembira melihat ayahnya masih hidup.

b. Duit Habis
Ketika bekerja membuat kolam wudhu masjid di wilayah Sungai Raya, banyak anak yang bermain di sekitar dia bekerja. Kebetulan Sumambing kehabisan uang. Dia berkata, ”anak-anak banyak lalu lalang, duit di kantongku habis”.
Rupanya, ada orang yang mendengar dan memberitahukan kepada pengurus masjid. Dalam pemahaman mereka, uang si tukang semen habis karena ada anak-anak yang mencurinya. Sebagai tanggung jawab moral karena anak-anak kampung nakal, pengurus masjid menyerahkan uang kepada Sumambing sebagai pengganti uang yang hilang. Sumambing bingung dan menerima uang itu. (Burhan, 2007)

3. Tidak Pemarah
a. Penambal Ban yang Pintar
Suatu hari, sepeda Sumambing bocor. Dia kemudian membawa sepeda kesayangannya itu ke tukang tambal ban.
Sumambing berkata kepada tukang tambal ban, ”tolong ditambali sepedaku”
Tukang tambal ban tahu persis bahwa Sumambing adalah orang yang suka bergurau. Diapun menambal ban dalam yang bocor. Tidak hanya ban dalam yang ditambal tetapi semua bagian sepeda seperti sadel juga ditempelnya dengan karet.
Sumambing bingung melihat sepedanya penuh tambalan
Rupanya tukang tambal menambal sesuai permintaan Sumambing yang minta tambal sepeda bukan bannya saja.
Melihat sepedanya, Sumambing berkata, ”buhan ikam (kalian) dasar pintar-pintar”

b. Sepeda Kempes
Sifatnya yang tidak pemarah dan senang bergurau rupanya menyebabkan Sumambing sering pula dikerjai orang. Suatu hari sadel sepedanya ditinggikan orang usil sehingga dia tidak bisa naik. Sumambing tidak marah dan tak kehilangan akal. Ban sepedanya itupun dikempesinya.
Jika ada orang bertanya, ”Paman, mengapa sepedanya tidak dikendarai?”
Sumambing menjawab, ”bannya kempes”
Dengan demikian orang tidak tahu bahwa dia dikerjai orang-orang usil
Setelah jauh dari tempat orang usil itu, barulah dia memompa sepeda. Dia pun terhindar dari rasa malu.
Selengkapnya...

WHO IS SUMAMBING

Meskipun figur Sumambing (SM) cukup dikenal di daerah Hulu Sungai Selatan, informasi lengkap tentang riwayat beliau sulit ditemukan. Melacak tahun kelahiran dan wafat beliau ternyata sangatlah sulit. Di makam beliau yang berada di simpang tiga Tabihi, Padang Batung, juga tidak tertera mengenai informasi itu. Satu-satunya informasi yang diperoleh, beliau wafat sekitar tahun 70-an, setelah pemberontakan PKI. Ketika PKI memberontak 30 September 1965, anaknya yang tertua, Darsun, baru merangkak. (Asikah, 2007). Lebih detil Asikah mengingat bahwa kematian Sumambing ketika anaknya yang paling tua, Darsun, sudah sekolah di sekolah dasar. (Asikah, 2007). Hal itu setidaknya menunjukkan bahwa kematian Sumambing berada dikisaran tahun 1972 sampai 1977 dengan asumsi Darsun memasuki sekolah dasar di usia 7 tahun.
Informasi lain menyebutkan bahwa Sumambing wafat di era kekuasaan Soeharto. Hal itu bisa memastikan bahwa Sumambing wafat setelah tahun 1966. Informasi lebih detil menyebutkan bahwa kematian Sumambing di saat anaknya berusia sekitar satu tahun sedangkan umur anak informan tersebut sekarang 30 tahun. (Inat, 2007). Setelah dicek, ternyata anak tertua informan, lahir pada tahun 1975. Itu menunjukkan bahwa beliau wafat dikisaran tahun 1976.
Dari perkawinan pertama, Mambing dikaruniai seorang anak bernama H. Rusli yang belakangan menjadi seorang tentara (TNI). Setelah istri pertama meninggal dia mengawini seorang perempuan bernama Impil, yang dikenal pula sebagai Nini Campa (Nenek Campa). Buah cinta dengan Nini Campa lahirlah Ani (Aan). (Asikah, 2007)
Informasi mengenai kehidupan Sumambing tampaknya tidak bisa dicari dari orang terdekatnya yaitu anak dan cucu-cucunya. Di antara anak-anaknya, hanya H. Rusli yang masih hidup, itupun keadaannya sudah tidak bisa lagi memberi informasi yang detil karena usia. Sementara cucu-cucunya, tidak mengetahui mengenai kehidupan beliau.
Dari tahun wafat tersebut dapat diduga kapan Sumambing lahir. Menurut Hayadi, tetangga Sumambing, beliau wafat pada usia lebih dari 70 tahun (Hayadi, 2007) Jika mencermati informasi Asikah yang menyebutkan bahwa menjelang akhir hayatnya, Sumambing sering pingsan di masjid Takwa, Kandangan, patut diduga usia beliau berkisar antara 75 s.d. 80 tahun. (Asikah, 2007)
Apabila diambil kesimpulan tentang kelahiran beliau dari informasi terakurat dalam hal ini Asikah dan Hayadi, tetangga dan punya hubungan keluarga, usia Sumambing adalah 75 tahun saat beliau wafat ditahun 1976. Itu berarti, Sumambing lahir 1901.
Mambing dikenal pula oleh keluarganya bernama Kayi (kakek) Mambing. Beliau bertubuh pendek dan gampal (gemuk berisi) sehingga disebut orang kampung di sekitar Bilui sebagai Kayi Campa (kakek pendek). Karena tubuh beliau yang pendek, sadel sepeda harus diletakan di pipa sepedanya. Dia juga pernah ke dalam drum ketika dia mengambil air. Tubuhnya dengan berdiri di atas kursi kecil agar tubuhnya bisa mengambil air di dalam drum.(Muhammad, 2007)
Karirnya sebagai tukang semen kolam masjid dan tukang semen kuburan tidak hanya dirintis secara mandiri. Dia juga menjadi pegawai CV Basarson, sebuah perusahaan generasi pertama di Kandangan. (Zakaria, 2007) Figur Sumambing dikenang orang-orang yang pernah mengenalnya adalah figur yang tidak pemarah dan suka bergurau.
Tentang pekerjaan Sumambing, Hayadi, seorang penduduk Tabihi Kiri, tetangga Sumambing menceritakan bahwa Sumambing adalah tukang sebar pengumuman lisan. Menurutnya, apabila ada pemberitahuan dari kecamatan, Sumambing akan berkeliling kampung membacakan pengumuman sambil memukul gong kecil yang dibawanya (Hayadi, 2007)
SM adalah orang yang sering ke Masjid Takwa yang berjarak sekitar dua kilometer dari rumahnya. Asikah menceritakan bahwa mereka sering melarang SM pergi ke masjid karena usia yang sudah uzur. Namur, SM menjawab bahwa kalau sudah umur habis meskipun tidak berangkat ke masjid tetaplah dia akan wafat (Asikah, 2007) Di tahun 1976, suatu hari beliau berangkat ke Masjid Takwa. Di masjid itulah, SM menghebuskan nafasnya yang terakhir. Dia jatuh di masjid. Orang-orang sempat membiarkannya terbaring di masjid. Mereka mengira SM hanya bergurau seperti sering dilakukannya. (Ahyadi, 2007)
Selengkapnya...

TRADISI LISAN

All sorrows can be borne if you put them into a story or tell a story about them. Pernyataan Isak Dinesen itu dikutip oleh Hannah Arendt dalam bukunya, The Human Condition yang terbit tahun 1958. ( Karlina Leksono-Supelli, 2002 : 98). Isak Dinesen dan Hannah Arendt percaya bahwa hanya melalui kisah tindakan manusia akan menjadi sejarah. Meskipun setiap orang datang ke kehidupan dunia dengan dirinya sendiri, tidak ada seorangpun yang bisa menulis kisah hidup sendirian, tanpa orang lain.
Pada awalnya, kisah hidup manusia disampaikan dengan tradisi lisan. Dengan mengutip Jan Vasina, Kontowijoyo beranggapan bahwa tradisi lisan adalah pernyataan lisan (oral) yang disampaikan dengan kata-kata verbal dari generasi ke generasi berikut atau lebih. Dalam perspektif sejarah, tradisi lisan bisa dijadikan sumber sejarah untuk merekan masa lampau. Di Amerika Serikat, sebuah proyek untuk menuliskan pengalaman para budak telah dilancarkan pada zaman New Deal pada tahun 1930-an. Orang-orang mantan budak itu tentulah tidak menyimpan dokumen tentang dirinya sendiri atau membuat catatan-catatan.
Sebagai gambaran, banyak sekali diketahui jenis pekerjaan penting dalam Kerajaan Banjar di masa lampau dan sekarang sudah punah. Lalawangan (Kepala Distrik) merupakan salah satu pekerjaan penting di Kerajaan Banjar. Akan tetapi, kisah tentang pekerjaan mereka, keahlian, hubungan sosial, keberagamaan, dan ekonomi mereka tidak lagi terdengar. Hal itu disebabkan oleh minimnya tradisi lisan, apalagi sumber tertulis dari lingkungan terdekat mereka. Bagaimana seorang Kepala Distrik merasakan hidupnya, pekerjaannya, dan pengabdiannya kepada Sultan tidak bisa dilukiskan dengan dokumen. Tradisi lisan dapat dengan cermat melukiskan kandungan emosional dalam kisah sejarah tersebut.
Tradisi lisan tidak hanya sebagai sumber sejarah. Tradisi lisan mengandung kejadian-kejadian nilai-nilai moral, keagamaan adat istiadat, cerita-cerita khayali, pribahasa, nyanyian, dan mantra (Kuntowijoyo, 2003 : 25) Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa tradisi lisan yang diwariskan dari generasi ke generasi selalu membawa pesan moral, meskipun tradisi lisan itu bersumber dari cerita-cerita khayali. Terlebih lagi, tradisi lisan yang bersumber dari kejadian nyata tentu membawa pesan moral atau sejarah manusia.
Dalam masyarakat Banjar bisa ditemukan beberapa bentuk kesenian yang disampaikan secara lisan, yaitu pertama, syair. Bentuk syair ini dapat dikelompokkan atas syair berdasarkan cerita (hikayat atau ibarat) misalnya syair Brahma Sahdan, Kesuma, dan Syair Siti Jubaidah. dan syair berdasarkan pendidikan agama Islam misalnya Syair Mayat dan Syair Tajul Muluk.
Kedua, tradisi lisan berbentuk pantun. Pantun dapat dikelompokkan antara lain atas pantun tarasul, pantun badatang, pantun panglipur, dan pantun insyaf.
Ketiga, tradisi lisan madihin. Madihin adalah bentuk pantun yang dinyanyikan dan iringi dengan tabuhan gendang (terbang). (Amir Hasan Bondan, 1953 : 126-137)
Selain tiga jenis tradisi lisan tersebut, dikenal pula tradisi bakisah atau dikenal juga dengan istilah balamut. Juru kisah atau palamutan menuturkan cerita dengan diselingi dengan tabuhan gendang (terbang). Kisah-kisah dalam masyarakat Banjar tidak hanya disampaikan dalam kesenian balamut tersebut tetapi diceritakan pula oleh satu generasi ke generasi berikutnya. Di antara kisah-kisah yang sering diceritakan adalah Pipit Dandung, Warik lawan Kura-Kura, Sangyang Gantung, dan Si Picak lawan Si Bungkuk.
Di samping kisah-kisah dongeng tersebut, dalam masyarakat Banjar, khususnya daerah Hulu Sungai Selatan (baca: Kandangan) sangat dikenal kisah tentang Sumambing. Berbeda dengan dongeng-dongeng di atas yang jelas fiksi, Sumambing adalah tokoh non fiksi. Dia real hidup di daerah Bilui, Kandangan di paruh awal abad 20. Salah satu cerita yang penulis ingat adalah tentang Sumambing yang tercebur ke selokan. Tubuhnya yang pendek menyebabkan dia sulit mengendalikan sepedanya yang relatif bersadel tinggi sehingga sedikit saja tertabrak batu menjadi hilang kendali. Ketika dia tercebur ke selokan, dia hanya enteng berkata, ”aku hanya ingin mengukur kedalaman selokan ini”.
Prilakunya itu menjadi ikon bagi orang-orang yang berprilaku tidak mau kalah dan banyak akal. Seperti Sumambing adalah term yang digunakan masyarakat untuk menyebut orang yang pandai berkilah dan banyak akal menghindar dari kesalahan.
Sumambing menjadi menarik tidak hanya karena prilakunya itu tetapi karena dia hidup dalam sistem nilai budaya yang sangat berbeda. Sistem nilai budaya adalah konsepsi-konsepsi abstrak yang hidup di alam pikiran sebagian besar dari warga suatu masyarakat mengenai apa yang dianggap mempunyai makna penting dan berharga tetapi juga apa yang dianggap remeh dan tidak berharga dalam hidup. (Koentjaraningrat, 1969 : 18) Nilai budaya daerah tentu saja bersifat partikularistik artinya khas berlaku umum dalam wilayah budaya masyarakat tertentu. Sejak kecil ”individu-individu telah diresapi oleh nilai-nilai budaya masyarakatnya, sehingga konsepsi-konsepsi itu telah menjadi berakar dalam mentalitas mereka dan sukar untuk digantikan oleh nilai budaya yang lain dalam waktu singkat. Koentjaraningrat, 1969 : 18)
Sehubungan dengan hal tersebut, dalam manifestasinya secara konkret nilai budaya mencerminkan streotip tertentu. Dengan demikian, Sumambing berada dalam sistem nilai budaya masyarakat Kandangan. Sistem nilai budaya yang identik dengan kekerasan. Kecenderungan umum masyarakat Kandangan sampai tahun 2000-an adalah penyelesaian masalah dengan kekerasan dan perkelahian. Oleh karena itu, kebiasaan membawa pisau di pinggang adalah kebiasaan yang dianggap lumrah.
Sikap yang bertolak belakang dengan sistem nilai budaya umum masyarakat Kandangan menjadikan Sumambing dan kisah hidupnya menarik untuk dicermati. Sebenarnya ada kesulitan dalam mengklarifikasi apakah cerita-cerita tentang Sumambing adalah benar telah dilakukannya karena informasi yang diperoleh kebanyakan tidak pernah berhubungan langsung, bertemu langsung, atau mengenal baik tokoh Sumambing. Oleh karenanya, ada kemungkinan cerita yang muncul bukan cerita nyata kehidupan Sumambing tetapi cerita fiksi komedi yang dikaitkan dengan Sumambing sehingga seolah itu benar terjadi.
Tradisi lisan tersebut dapat mewariskan nilai, pengalaman, dan kebijakan. (Kuntowijoyo, 2002 :46) Oleh karenanya, penelitian ini akan mendeskripsikan kisah-kisah keseharian Sumambing kemudian menganalisis nilai-nilai yang terkandung dalamnya.
Selengkapnya...

produser atau konsumer

BELAJAR BAHASA INGGRIS == PRACTICE WRITING ENGLISH


When we are watching art performance, my friend, Susan, likes a handphone which a teenager uses Nokia N-Gage. She has seen hp like that. Suddenly, i shy, we just can be consumer of technology proudly. We cannot produce. Susan growt up in USA, the state which run forward by technology development, has to make us to learn more how to be produce not just consumer. They have no use new technology. They use the functional technology but we use technology for fashion which make us proudly. We learn about religiose studies proudly, we forgot that learn tecnology can help the people. That is one of kindness of Islamic order.
Selengkapnya...