Thursday, January 15

UU BHP: SEDIKIT CATATAN

Disahkannya Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) tak berselang lama (17 Desember 2008), memunculkan beragam isu dan ketakutan pendidikan akan melenceng jalan. Satu isu yang berkembang adalah Undang-Undang BHP akan menjadikan biaya pendidikan mahal dan tak terjangkau masyarakat miskin. Hal itu tergambar pada Pasal 41 UU BHP. Pasal tersebut menjelaskan mengenai pendanaan dari Badan Hukum Pendidikan, mulai dari pendidikan dasar, menengah hingga pendidikan tinggi.
Pada pasal tersebut terlihat bahwa baik pada pendidikan menengah maupun pendidikan tinggi, tetap terdapat porsi-porsi pembiayaan yang tidak ditanggung oleh pemerintah dan otomatis harus dipenuhi sendiri oleh Badan Hukum Pendidikan tersebut, baik sumber pendapatan yang berasal dari peserta didik maupun bukan, selain itu masih ada pembagian pendanaan antara BHP dan Pemerintah yang tidak jelas porsinya.
Dari sinilah terbuka beberapa mekanisme usaha bagi BHP untuk memenuhi kebutuhan biaya operasionalnya. Persoalan itu kemudian berkembang menjadi kekuatiran bahwa lembaga pendidikan bisa sewenang-wenang menetapkan biaya pendidikan. Dengan kata lain, ada kekuatiran terjadi komersialisasi pendidikan. Dengan demikian, pendidikan menjadi mahal dan mengecilkan peluang masyarakat miskin untuk mendapat pendidikan.
Hal itu menunjukkan bahwa permasalahan yang dikuatirkan akan muncul adalah persoalan pembiayaan operasional pendidikan. UU BHP menjadi Biaya operasional dikuatirkan akan ditanggung sepenuhnya oleh siswa sementara lembaga pendidikan akan sewenang-wenang menetapkan Persoalan biaya pendidikan
Lebih jauh, kebebasan lembaga pendidikan untuk mencari dana akan membuka peluang liberalisasi pendidikan. Liberalisasi pendidikan terkait erat dengan kuasa pemilik modal dalam kebijakan pada lembaga pendidikan. Hal tersebut terkait dengan Pasal 42 ayat 1 yang menyebutkan BHP yang menyelenggarakan pendidikan tinggi dapat melakukan investasi dalam bentuk portofolio (saham). Selain itu pasal 45 ayat 1, yakni: ‘Masyarakat dapat memberikan dana pendidikan pada Badan Hukum Pendidikan … sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.
Ayat 1 tersebut menunjukkan bahwa salah satu mekanisme dari BHP untuk memperoleh dana operasional adalah dengan menarik investor dan membuka investasi pihak luar negeri. Investor hanya akan menginvestasikan dananya pada sektor-sektor yang dirasa dapat memberikan keuntungan baginya, baik itu secara financial atau keuntungan lain, misalnya ideology. Liberalisasi sebagai dampak keterbukaan tersebut akan mendorong masuknya paham-paham yang bertentangan dengan nilai-nilai luhur masyarakat Indonesia. Lembaga pendidikan yang mendapat kucuran dana dari luar negeri berada posisi lemah sehingga paham ideology yang ditawar pendonor akan masuk ke lembaga tersebut.
Seperti kafilah yang tetap berlalu, pemerintah berkeyakinan outcome dari UU BHP tersebut adalah independensi dan otonomi pendidikan.Kebijakan tersebut bertolak dari anggapan bahwa pendidikan telah diintervensi oleh berbelit-belit birokrasi. Jalal (2007) menyebutkan bahwa lembaga pendidikan sebagai badan hukum akan lebih independent mengembang diri tanpa aturan birokrasi.
Dengan demikian, UU BHP akan mendorong pengembangan tanpa terhambat oleh birokrasi pemerintah yang berbelit-belit. Dampak komersialisasi seperti yang dikuatirkan oleh masyarakat dibantah pemerintah. Fasli Jalal (Irwanto, 2008) menyatakan bahwa UU BHP menjamin peserta didik hanya membayar biaya pendidikan paling banyak 1/3 dari biaya operasional satu satuan pendidikan, bukan biaya investasi. Selama ini satuan pendidikan sangat tergantung dari pendanaan dari peserta didik bahkan sampai sembilan puluh persen. Saat ini, BHP membatasi menjadi 1/3 maksimal dari biaya operasional. Ini adalah jaminan Undang-Undang BHP bahwa kenaikan SPP seperti yang banyak dikhawatirkan rasanya tidak mungkin terjadi. UU BHP menjamin secara khusus warga negara Indonesia yang tidak mampu secara ekonomi tapi berpotensi secara akademik, terutama yang ada di quintil lima termiskin, dimana sampai saat ini hanya 3 Persen dari kategori ini yang menikmati pendidikan tinggi. Satuan Pendidikan BHP wajib menjaring dan menerima warga Negara Indonesia yang memiliki potensi akademik tinggi dan kurang mampu paling sedikit 20 persen dari keseluruhan peserta didik yang baru. Satuan Pendidikan BHP harus menunjukkan kepada publik bahwa mereka menerima dan menyediakan paling sedikti 20 persen beasiswa atau bantuan biaya pendidikan untuk mereka yang kurang mampu dan/atau peserta didik yang memiliki potensi akademiki tinggi.
Ketakutan dan penolakan masyarakat sangat beralasan. Pengalaman menunjukkan bagaimana lembaga pendidikan melakukan berbagai komersialisasi di sekolah. Saya selalu merasa kesulitan mencari dalil filosofis, mengapa sekolah mengharuskan siswa membeli kaos kaki atau jilbab yang bertuliskan nama sekolah. Saya juga tidak menemukan keterkaitan pendidikan dengan bermacam seragam yang harus dipakai siswa: senin baju putih biasa, kemudian dihari lain pakai sasirangan sementara dihari lainnya memakai baju koko supaya lebih “Islam”. Bagi orang tua yang kaya, persoalan itu tentu tak menjadi persoalan bahkan dianggap kebanggaan dan bagian dari fashion. Namun , bagi orang tak berpunya, membeli seragam yang beraneka itu adalah persoalan besar.
Setelah UU BHP disahkan, kemungkinan semakin merajalelanya beragam pungutan dengan sejuta alasan sangat besar. Oleh karena itu, perlu penguatan (empowering) social control melalui media massa dan lembaga swadaya masyarakat (LSM), serta masyarakat independen. Media massa dan LSM, serta masyarakat yang kuat akan mampu memberikan pengawasan dan control terhadap praktik pendidikan sehingga penyimpangan dalam bentuk komersialisasi pendidikan, penyusupan ideology dari investor lembaga pendidikan akan bisa dicegah. Apalagi, dalam UU BHP menyebutkan hukuman bagi yang melanggar ketentuan pendidikan sebagai lembaga nirlaba. Jika kontrol tersebut telah menjadi bagian dari masyarakat, segala yang ditakutkan tentang BHP akan mustahil terjadi sehingga pendidikan tetap dijalannya. Sungguh!
Selengkapnya...

MADRASAH... HOW ARE U?

Madrasah dalam sistem pendidikan Indonesia telah menempati posisi yang sejajar dengan sekolah lain. Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional menegaskan tentang hal tersebut pada pasal 17 dan 18. Dua pasal tersebut menyebutkan bahwa pendidikan dasar berbentuk sekolah dasar (SD) dan madrasah ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta sekolah menengah pertama (SMP) dan madrasah tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat. Pendidikan menengah berbentuk sekolah menengah atas (SMA), madrasah aliyah (MA), sekolah menengah kejuruan (SMK), dan madrasah aliyah kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat. Dua pasal tersebut dengan sangat jelas menunjukkan bahwa madrasah sejajar posisinya dengan sekolah umum di hadapan negara.

Dengan diberlakukannya UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, pendidikan dikelola secara otonom oleh kabupaten/kota (desentralisasi) sedangkan madrasah yang berada dibawah wewenang Departemen Agama masih dalam bentuk sentralisasi. Pada bab IV pasal 7, menegaskan bahwa wewenang pemerintah pusat hanya terbatas dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter, dan fiskal, serta agama. Hal itu menjadi dasar bahwa Departemen Agama masih berada dibawah wewenang pemerintah pusat. Meskipun wewenang Departemen Agama juga menyangkut masalah pendidikan didalamnya. Padahal disisi lain, bidang pendidikan, pengelolaannya menjadi wewenang pemerintah daerah.
Sebenarnya tidak ada alasan yang kuat untuk membedakan pengelolaan madrasah. Perlu ditegaskan bahwa kurikulum madrasah dan sekolah, pada prinsipnya tak berbeda. Tahun 1994 dapat disebut sebagai periode penting perkembangan madrasah di Indonesia. Pada tahun itu diberlakukan kurikulum baru yang dikenal dengan kurikulum 1994. Kurikulum 1994 mengharuskan madrasah untuk memasukkan semua pelajaran umum sebagaimana di sekolah-sekolah umum. Kurikulum 1994 kemudian disempurnakan kembali pada tahun 2004. Kurikulum 2004 dikenal sebagai Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Pada tahun 2006, kurikulum kembali mengalami perubahan. Kurikulum yang dikenal dengan istilah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Kurikulum itu pada prinsipnya sama dengan Kurikulum 2006, tetapi lebih memberi peluang kepada sekolah untuk membuat kurikulum dengan melihat standar nasional.
Pokok perkara berawal dari pengakuan negara terhadap eksistensi madrasah. Madrasah mendapat angin baru ketika eksistensinya diakui secara resmi oleh negara. Hal itu ditatapkan oleh Tap MPRS No. 2 tahun 1960 menetapkan bahwa: "Pemberian pelajaran agama pada semua tingkat pendidikan, mulai dari Sekolah Dasar sampai dengan Perguruan Tinggi Negeri", di samping pengakuan bahwa "Pesantren dan Madrasah sebagai lembaga pendidikan yang otonom di bawah pembinaan Depatemen Agama". (Muhaimin, 2003 : 13)
Pemisahan lembaga pendidikan Islam dari lembaga pendidikan umum tersebut juga menyuburkan dikotomi pendidikan. Dikotomi membuat menjadikan munculnya ambivalensi tujuan pendidikan. Tujuan pendidikan (agama dan umum) tidak tercapai secara maksimal. Selain itu, muncul pula kesenjangan antara lembaga pendidikan Islam dan sekolah umum sehingga ada inferioritas (rendah diri) di lembaga pendidikan Islam. Lebih jauh, tidak mustahil akan menyebabkan disintegrasi lembaga pendidikan. (Ikhrom, 2001 : 87-88)
Sentralisasi madrasah yang sekarang berlangsung merupakan anomali dari derasnya semangat desentralisasi dan otonomi. Diakui atau tidak sentralisasi itu Keberadaan madrasah di bawah Depag cukup berpengaruh terhadap kondisi dan perkembangannya. Pengaruh itu akan tampak jika dibandingkan dengan sekolah-sekolah umum di lingkungan Depdiknas. Kebijakan penganggaran dan pendanaan pemerintah terhadap subsidi per kapita bagi siswa madrasah dan sekolah umum, misalnya. Kebijakan ini tampak kepincangan yang cukup mencolok. Indeks biaya per kapita pendidikan per siswa di madrasah jauh lebih kecil dibandingkan dengan di sekolah umum. Pada tahun anggaran 1999/2002, misalnya, biaya pendidikan per siswa madrasah ibtidaiyah negeri (MIN) Rp 19.000 sedangkan per siswa sekolah dasar negeri Rp 100.000 (1 : 5,2), madrasah tsanawiyah negeri (MTsN) per siswa Rp 33.000 sedangkan per siswa SMPN Rp 46.000. (1:1,4).
Lebih jauh, pengelolaan madrasah yang sentralistis, madrasah bisa tidak diangap sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional, karena berdasarkan UU No.22 tahun 1999, pendidikan diserahkan ke Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Konsekuensinya, madrasah tidak akan mendapat perhatian (yang cukup) dari pemerintah daerah. Inilah yang dirasakan oleh mayoritas karyawan/guru madrasah sa’at ini, minimal di daerah tempat penulis bertugas. Mereka menganggap bahwa mereka hanya dijadikan “anak tiri” oleh pemerintahan daerah. Mereka masih tetap diingat dan diikutkan oleh pemda, tapi hanya untuk urusan yang “menguntungkan” Pemda, misalnya dalam hal pungut uang atau iuran untuk kegiatan pemda, namun untuk hal-hal yang sifatnya strategis pengembangan mutu pendidikan (madrasah), mereka cendrung diabaikan. Cukup banyak kegiatan-kegiatan pemda, seperti pelatihan guru, penataran, seminar, atau seleksi-seleksi tertentu, yang tidak melibatkan madrasah di daerahnya.
Masalah lainnya adalah terkait dengan birokrasi yang masih panjang berbelit dan cendrung tidak efisien di madrasah. Sebagai contoh, saya sendiri lulus tes CPNS di Departemen Agama Desember 2001, tapi baru menerima SK November 2002, berarti hampir satu tahun. Bandingkan dengan CPNS di Pemda, yang hanya menunggu SK pengangkatan satu atau dua bulan saja setelah kelulusan. Penyebabnya, karena proses administrasi di Depag belum sesederhana (administrasi) pemerintah daerah. Belum lagi kalau berbicara tentang kesejahteraan guru dan karyawan. Ada kesenjangan yang terlalu mencolok antara guru madrasah dengan guru sekolah umum selama otonomi daerah. Pembagian THR, misalnya, guru/karyawan sekolah umum yang berada di bawah pemda bisa menerima melebihi gaji satu bulannya, sementara guru/karyawan madrasah ada yang sama sekali tidak menerima THR. Padahal, secara de facto mereka sama-sama bertugas membina dan mendidik putra-putri daerah yang sama dengan beban tugas dan tanggung jawab yang relatif sama.

Desentralisasi Madrasah: Kado Ultah Itu
Gambaran singkat diatas menunjukkan bahwa sentralisasi madrasah menjadi trigger terhadap rendahnya kualitas madrasah. Mengatasi persoalan yang muncul sebagai dampak kebijakan pengelolaan yang masih sentralistik adalah desentralisasi madrasah. Mencermati filosofi dan ide dasar digulirkannnya kebijakan otonomi pendidikan, madrasah semestinya juga diotonomikan pengelolaannya sebagaimana sekolah umum. Dengan otonomi madrasah, diharapakan permasalahan madrasah bisa diminimalisir, bahkan, kalau bisa, dieliminir serta secara gradual, kualitas madrasahpun bisa ditingkatkan.
Fuad Fahruddin (2003 : 32) menyebutkan beberapa keuntungan yang akan diperoleh madrasah apabila diotonomikan. Pertama, madrasah akan dianggap menjadi bagian yang tak terpisahkan dari sistem pendidikan nasional, dan dengan pengakuan tersebut madrasah akan mendapat perlakuan yang sama dengan sekolah lainnya, baik dalam hal alokasi dana maupun kebijakan pengembangan lainnya.
Kedua, kepala madrasah dan guru akan dapat mengembangkan sumber daya yang ada dan mengembangkan program-program yang sesuai dengan kebutuhan masayarakat. Persoalan yang terkait dengan masayarakat dan sekolah akan dapat diselesaikan dengan segera karena struktur yang ada sudah sangat pendek (debirokratisasi).
Ketiga, iklim akademik akan tumbuh dengan baik karena adanya kebebasan sekolah dalam mengembangkan program dan sumber belajar. Masyarakat bisa langsung memberikan saran, kritikan, masukan, serta ususlan kepada kepala sekolah untuk kemajuan dan kebaikan sekolah.
Pada tataran praktis yang lebih jauh, ide otonomi madrasah ini bisa dimulai dengan mempertimbangkan kembali realisasi ide pendidikan satu atap yang sebenarnya sudah lama disuarakan oleh banyak pihak (Kompas, 26/06/2004). Artinya, urusan pendidikan di negeri ini cukup dikelola oleh satu departemen agar lebih focus dan lebih professional. Tentu saja departemen yang dimaksud di sini adalah Departemen Pendidikan Nasional. Ide desentralisasi madrasah ini, langsung tidak langsung, secara bertahap madrasah akan mengalami perbaikan, sehingga cita-cita awal pendirian madrasah sebagai laboratorium untuk membina para siswa agar punya keimanan yang kuat secara vertikal dan berwawasan luas secara horizontal bisa terwujud.
Akan tetapi, perubahan tersebut adalah persoalan yang sulit. Selalu ada perlawanan terhadap perubahan. Penolakan terhadap perubahan dapat bersumber dari individu (resistensi individual) dan dari kelompok. (Stephen P. Robbins, 2001) Resistensi bisa karena takut kehilangan jabatan, kekuasaan, atau kebiasaan yang telah berlangsung puluhan tahun. Oleh karena itu, diperlukan tindakan radikal dari pemerintah untuk reposisi pengelolaan madrasah dengan diiringi sosialasi tentang manfaatnya. Perlawanan terhadap reposisi ini hanya terjadi didataran elit Departemen Agama, tidak pada tingkat bawah: guru, siswa. Reposisi lembaga Pengadilan Agama ke Mahkamah Agung merupakan contoh paling tepat bagaimana reposisi dapat mendorong perbaikan dalam lembaga: kesejahteraan, fasilitas, dan pelayanan. Itulah yang kado Ultah terindah.
Selengkapnya...