Sunday, October 19

PERTARUNGAN IDENTITAS

Alkisah, di tahun 1870-an, konon hidup seorang bupati yang sangat mengagumi budaya, cara hidup, dan pendidikan Belanda. Bahkan, dia pernah berkata bahwa dia ingin hidup seperti orang Belanda padahal ia seorang muslim. Pada suatu ketika, ada seseorang bertanya apakah dia ingin menjadi kristiani. Bupati itu menjawab, “kalau mau jujur, saya lebih suka memiliki empat orang istri dan satu Tuhan saja dari pada memiliki satu orang istri dan tiga orang Tuhan”. (Kompas, 16 Agustus 2008)
Anekdot yang ditulis M.C. Recklefs dalam Polarising Javanese Society: Islamic and Other Vision (1830-1930), menggambarkan sebuah pertarungan identitas dalam masyarakat dalam semua segi kehidupan. Sang Bupati yang muslim merasa menemukan masa depan yang cerah dalam modernitas yang dibawa oleh Belanda (baca : sekuler). Tampaknya, meskipun Muslim, dia merasa “Islam” tidak dapat memberikan masa depan yang lebih baik. Islam disini bukan dalam makna Islam yang transendental tetapi “Islam” yang telah menyejarah dan menjadi fenomena dalam masyarakat. Sang Bupati tidak pula ingin menjadi seorang Belanda tulen. Baginya doktrin trinitas tidaklah sesuatu yang menarik.
Pertarungan identitas Bupati tersebut terjadi pula dalam dunia pendidikan. Semakin maraknya sekolah-sekolah swasta berlabel Sekolah Islam Terpadu (SIT ) disegala jenjang pendidikan mencerminkan adanya pertarungan identitas dalam dunia pendidikan. Hal pertama yang akan menjadi sorotan adalah mengapa menggunakan label sekolah Islam, bukan madrasah? Ada beberapa dugaan yang muncul. Pertama, bagi pengelola/yayasan, label sekolah Islam diyakini lebih marketable daripada label madrasah. Madrasah, dalam sudut pandang mereka, tidak bisa memberikan image sebagai sekolah yang berkualitas. Dengan kata lain, meskipun secara legal konstitusional sama dengan sekolah, madrasah identik dengan keterbelakangan. Padahal, tidak bisa dipungkiri madrasah adalah pendidikan yang asli bersumber dari masyarakat Islam. Jika image menjadi alasan utama dan terkait dengan pasar, pendidikan Islam sesungguhnya telah berada dalam inferiority complex. Pendidikan Islam merasa berada dalam keterbelakangan dan untuk menjadi superior mereka mengubah identitas diri, dalam hal ini madrasah, menjadi sekolah Islam. Sepertinya, bagi pengelola sekolah Islam menjadi sekolah umum tanpa label Islam bukanlah pilihan yang tepat. Daya jual sekolah tergantung kepada penampilan sekolah, siswa, guru, administrasi, dan hal lain di sekolah itu. (Jaqob E. Adams and M. W. Kirts : 1999) Jelas sekali, itu tidak terkait dengan label.
Kedua, dikotomi pendidikan agama dan pendidikan umum (baca: Dep.Agama dan Diknas) turut andil dalam kasus ini. Sekolah Islam merasa dengan menyandang nama sekolah, mereka mendapat kemudahan dan fasilitas lebih dari pemerintah dalam berbagai hal. Itu, menurut mereka, tidak akan diperoleh mereka jika bernama madrasah swasta dan berada di bawah binaan Dep. Agama. Itu terkait, politic accountability dalam pendidikan. Dalam pendidikan salah satu yang bisa mendukung pengembangan pendidikan adalah political accountabilty, politik adalah tentang allocating values through goverment and educational concerns are not exempt (Wirts and Kirts, 1997). Tidak dibisa dipungkiri, peran kebijakan pemerintah sangat penting dalam perkembangan pendidikan.Kebernilaian dan perhatian pemerintah terhadap pendidikan menjadi poin penting. Politik memisahkan pendidikan dalam beberapa atap langsung atau tidak langsung menciptakan kesenjangan dalam lembaga pendidikan.
Ketiga, meskipun agak ekstrem, saya ingin menggunakan pendekatan sosiologi seperti yang digunakan Al Zaztrouw N.G. ketika melihat fenomena sarjana ilmu umum aktif dalam lembaga keagamaan. Menurutnya, maraknya aktivis yang berasal dari sarjana umum (non IAIN) atau non pesantren yang aktif dalam organisasi bercorak Islam: HTI, FPI, PKS, disebabkan keinginan mereka untuk mendapat legitimasi sebagai aktifis Islam dan berada dalam posisi yang lebih baik. Menurutnya, aktif dalam organsisasi yang sudah mapan: NU atau Muhammadiyah, tidak akan memberi peluang yang cukup besar untuk berada di garda depan karena mereka harus bersaing dengan para kiai atau tokoh muda yang lebih mumpuni ilmu agama Islamnya. Dengan aktif dalam organisasi keislaman tersebut, mereka akan dengan cepat mendapat label seorang ulama atau ustadz.
Dalam sudut pandang, sekolah Islam sebenarnya ingin berada dalam garda terdepan (avant garde) proses Islamisasi pendidikan. Jika mereka memakai nama madrasah tentu saja mereka akan “tidak lebih Islam” daripada madrasah yang memiliki sumber daya: guru, berasal dari lembaga pendidikan Islam. Ada pengalaman menarik ketika saya melakukan riset di sekolah Islam. Dalam satu item pertanyaan dikemukakan satu hal yang sebenarnya menyangkut sebuah penafsiran ayat/hadis. Guru sekolah Islam yang berlatar pendidikan umum itu dengan spontan mengatakan bahwa yang membuat pertanyaan itu tidak tahu dalil. Saya tahu pasti, tentang itu memunculkan banyak pendapat dari para ahli fikih. Saya terkejut, rupanya dia merasa ilmu keislamannya telah seluas samudera, padahal hanya seluas sumur, sehingga dengan mudah mencap orang lain tidak berilmu. Benar kata Al Zastrouw, ada kecenderungan para aktivis yang bukan berlatar belakang pendidikan agama akan menghapal ayat/hadis dan belajar ilmu keagamaan yang mendukung ideologi organisasinya. Mereka tidak mencari perspektif lain yang lebih kaya. Akibatnya, mereka akan dengan mudah mencap orang kafir, salah atau tidak tahu dalil.
Persoalan-persoalan itu sebenarnya bermuara dari adanya pengkotakan pendidikan di negeri ini. Selama masih ada pembedaan antara madrasah dan sekolah secara kelembagaan, meskipun di atas kertas undang-undang berkedudukan sama, akan selalu terjadi pertarungan madrasah dengan sekolah. Kesenjangan kualitas guru, fasilitas, dan kesempatan mengembangkan diri akan selalu ada. Apalagi dalam udara otonomi daerah, pemerintah kabupaten/kota lebih senang mengucurkan uang kepada sekolah yang nota bene tanggung jawab mereka daripada memberi bantuan kepada madrasah.
Pengalihan tanggung jawab pendidikan hanya kepada Departemen Diknas bukan perkara yang mudah. Di situ ada sejuta kepentingan politik dan pribadi. Jika pemerintah memindahkan wewenang pendidikan tersebut, ada ribuan jabatan yang hilang dan akan muncul kesan mengibiri Islam. Secara politis itu akan sangat merugikan. Namun, jika madrasah dan sekolah umum berada dalam satu atap, sekolah umum akan kekurangan siswa karena masyarakat lebih memilih madrasah. Kasus itu banyak di temukan di berbagai pelosok. Hal itu, mungkin sangat ditakutkan.
Masalah dan berbagai paradoks tersebut berpangkal dari adanya pembedaan Islam dan non Islam, madrasah dan sekolah. Padahal, semua itu muncul dalam konteks melawan kebijakan kolonial Belanda yang ingin mengebiri pendidikan Islam. Pemerintah Belanda berpendapat madrasah tidak menguntungkan pengaruh dan kewibawaan mereka sehingga sekolah Islam tidak mendapat subsidi. (Steenbrink, 1986) Madrasah muncul sebagai perlawanan terhadap sekolah Belanda yang eksklusive dan menyebar ideologi kolonial. Di era reformasi ini, semua pihak semestinya dengan jernih bisa merenungi sebuah pertanyaan paling mendasar apakah sekarang kita masih dijajah?
Selengkapnya...